Tak Ada Urgensi Menaikkan Tarif Listrik
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada
PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui penurunan subsidi energi hingga mencapai Rp12,6 triliun, yang terdiri dari penurunan subsidi listrik Rp7,4 triliun, subsidi BBM Rp115,6 miliar, subsidi LPG Rp2,6 triliun, dan kurang bayar Rp2,5 triliun. Penurunan subsidi energi sebesar itu memang berpotensi menaikkan tarif listrik, harga BBM Premium, dan harga LPG.
Namun, bisa juga pemerintah tidak harus menaikkan tarif listrik, harga premium, dan harga LPG. Pasalnya, penurunan subsidi itu lebih disebabkan adanya koreksi terhadap asumsi harga minyak dunia yang mempengaruhi Indonesia Crude Price (ICP). Semula ICP ditetapkan sebesar USD 65 per barel dikoreksi menjadi USD63 per barel. Koreksi itu berpengaruh terhadap postur pendapatan dan belanja dalam RAPBN 2020, termasuk penurunan alokasi subsidi energi.
Selain koreksi itu, mulai awal tahun depan PT PLN (Pesero) akan menerapkan kembali automatic adjustment bagi 12 golongan pelanggan listrik, termasuk seluruh pelanggan 900 VA. Automatic adjustment adalah mekanisme penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yang digunakan PLN dalam menetapkan penaikan atau penurunan tarif listrik. Dasar yang digunakan dalam adalah varibel pembentuk Harga Pokok Penyediaan (HPP) listrik, terdiri: ICP, inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan harga energi primer, yang membentuk HPP.
Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel pembentuk HPP tersebut bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun, tergantung besaran variabel pembentuk HPP. Kalau mencermati variabel pembentuk HPP listrik pada 2019, ada kecenderungan mengalami penurunan dan penguatan.
ICP cenderung turun pada kisaran US$ 63 per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar USD65 per barel. Kurs tengah rupiah terhadap dolar (AS) hingga Agustus 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp14.148 per satu dollar AS, lebih kuat ketimbang asumsi APBN 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp15.000 per satu dollar AS. Inflasi Agustus 2019 diprediksikan hanya 0,12% per bulan, atau sekitar 3,12% YOY sepanjang 2019.
Selain ketiga indikator itu, variabel biaya energi primer yang menentukan HPP listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer mengalami penurunan. Berdasarkan keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar USD70 per metric ton, yang diberlakukan per 12 Maret 2018 hingga Desember 2019. Dengan DMO harga Batubara sebesar itu, beban HPP listrik dapat diturunkan, mengingat PLN masih menggunakan batu bara sebesar 57% dari total bauran energi primer.
Demikian juga dengan harga gas, yang proporsi energi primer digunakan PLN sebesar 8%, juga cenderung menurun. PLN sudah menggunakan energi primer gas di mulut sumur sebesar maksimum 14,5% di plant gate pembangkit listrik, sehingga harganya lebih lebih rendah. Efisiensi yang dilakukan PLN, seperti susut jaringan dan operasional keuangan, juga telah menurunkan HPP listrik selama 2019.
Berdasarkan kecenderungan penurunan ICP, penguatan kurs rupiah terhadap Dollar AS, dan stabilitas inflasi, penurunan harga energi primer, utamanya harga Batu bara dan Gas, serta efisiensi yang dilakukan PLN selama ini, maka HPP listrik mestinya mengalami penurunan yang signifikan. Dengan penurunan HPP listrik itu, penetapan tarif dengan menggunakan automatic adjustment mestinya tidak ada kenaikkan tarif listrik pada 2020.
Dengan demikian tidak ada urgensi bagi Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik, bahkan dengan penerapan automatic adjustment, tarif listrik berpeluang diturunkan pada tahun depan. Agar tidak ada kenaikkan tarif listrik sepanjang 2020, Kepmen ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang penetapan DMO harga batu bara sebesar USD70 per metric ton harus diperpanjang hingga akhir Desember 2020.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada
PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui penurunan subsidi energi hingga mencapai Rp12,6 triliun, yang terdiri dari penurunan subsidi listrik Rp7,4 triliun, subsidi BBM Rp115,6 miliar, subsidi LPG Rp2,6 triliun, dan kurang bayar Rp2,5 triliun. Penurunan subsidi energi sebesar itu memang berpotensi menaikkan tarif listrik, harga BBM Premium, dan harga LPG.
Namun, bisa juga pemerintah tidak harus menaikkan tarif listrik, harga premium, dan harga LPG. Pasalnya, penurunan subsidi itu lebih disebabkan adanya koreksi terhadap asumsi harga minyak dunia yang mempengaruhi Indonesia Crude Price (ICP). Semula ICP ditetapkan sebesar USD 65 per barel dikoreksi menjadi USD63 per barel. Koreksi itu berpengaruh terhadap postur pendapatan dan belanja dalam RAPBN 2020, termasuk penurunan alokasi subsidi energi.
Selain koreksi itu, mulai awal tahun depan PT PLN (Pesero) akan menerapkan kembali automatic adjustment bagi 12 golongan pelanggan listrik, termasuk seluruh pelanggan 900 VA. Automatic adjustment adalah mekanisme penyesuaian tarif listrik secara otomatis, yang digunakan PLN dalam menetapkan penaikan atau penurunan tarif listrik. Dasar yang digunakan dalam adalah varibel pembentuk Harga Pokok Penyediaan (HPP) listrik, terdiri: ICP, inflasi, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan harga energi primer, yang membentuk HPP.
Penyesuaian tarif listrik otomatis itu berdasarkan variabel pembentuk HPP tersebut bisa menyebabkan tarif listrik naik, tetapi bisa pula tarif listrik turun, tergantung besaran variabel pembentuk HPP. Kalau mencermati variabel pembentuk HPP listrik pada 2019, ada kecenderungan mengalami penurunan dan penguatan.
ICP cenderung turun pada kisaran US$ 63 per barel, lebih rendah dibandingkan dengan harga asumsi ICP di APBN yang ditetapkan sebesar USD65 per barel. Kurs tengah rupiah terhadap dolar (AS) hingga Agustus 2019 cenderung menguat mencapai rata-rata Rp14.148 per satu dollar AS, lebih kuat ketimbang asumsi APBN 2019 dan RKAP PLN yang ditetapkan sebesar Rp15.000 per satu dollar AS. Inflasi Agustus 2019 diprediksikan hanya 0,12% per bulan, atau sekitar 3,12% YOY sepanjang 2019.
Selain ketiga indikator itu, variabel biaya energi primer yang menentukan HPP listrik cenderung tetap, bahkan beberapa beberapa harga energi primer mengalami penurunan. Berdasarkan keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 yang menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga Batubara yang dijual kepada PLN ditetapkan sebesar USD70 per metric ton, yang diberlakukan per 12 Maret 2018 hingga Desember 2019. Dengan DMO harga Batubara sebesar itu, beban HPP listrik dapat diturunkan, mengingat PLN masih menggunakan batu bara sebesar 57% dari total bauran energi primer.
Demikian juga dengan harga gas, yang proporsi energi primer digunakan PLN sebesar 8%, juga cenderung menurun. PLN sudah menggunakan energi primer gas di mulut sumur sebesar maksimum 14,5% di plant gate pembangkit listrik, sehingga harganya lebih lebih rendah. Efisiensi yang dilakukan PLN, seperti susut jaringan dan operasional keuangan, juga telah menurunkan HPP listrik selama 2019.
Berdasarkan kecenderungan penurunan ICP, penguatan kurs rupiah terhadap Dollar AS, dan stabilitas inflasi, penurunan harga energi primer, utamanya harga Batu bara dan Gas, serta efisiensi yang dilakukan PLN selama ini, maka HPP listrik mestinya mengalami penurunan yang signifikan. Dengan penurunan HPP listrik itu, penetapan tarif dengan menggunakan automatic adjustment mestinya tidak ada kenaikkan tarif listrik pada 2020.
Dengan demikian tidak ada urgensi bagi Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik, bahkan dengan penerapan automatic adjustment, tarif listrik berpeluang diturunkan pada tahun depan. Agar tidak ada kenaikkan tarif listrik sepanjang 2020, Kepmen ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang penetapan DMO harga batu bara sebesar USD70 per metric ton harus diperpanjang hingga akhir Desember 2020.
(kri)