Pidana Mati Residivis Korupsi

Sabtu, 07 September 2019 - 09:30 WIB
Pidana Mati Residivis Korupsi
Pidana Mati Residivis Korupsi
A A A
Hariman Satria
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

Dalam suatu kesempatan, salah seorang Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan mengungkapkan bahwa komisi antirasuah itu saat ini sedang mempertimbangkan menuntut pidana mati pelaku korupsi. Wacana ini mengemuka seiring tertangkapnya Bupati Kudus Muhammad Tanzil oleh penyidik KPK karena dugaan suap pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.

Perlu diketahui bahwa profil Tanzil memang lekat dengan masalah korupsi. Sebelumnya ia mendekam di penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004. Maka menjadi wajar adanya jika KPK akhirnya mempertimbangkan ancaman pidana mati kepada Tanzil. Adapun rujukan KPK adalah Pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi).

Ketentuan dalam Pasal 2 tersebut memang menekankan dapat dipidana matinya seseorang jika melakukan korupsi dengan empat keadaan. Pertama, dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya. Kedua, pada waktu terjadi bencana alam nasional. Ketiga, negara sedang mengalami keadaan krisis ekonomi dan moneter. Keempat, pengulangan melakukan tindak pidana korupsi.

Khusus Tanzil, kasusnya bertalian dengan pengulangan tindak pidana korupsi. Terlepas dapat-tidaknya seseorang dikenai pidana mati--termasuk karena alasan hak asasi manusia (HAM)--, tulisan ini akan mengupas lebih jauh wacana pidana mati pada koruptor dalam hubungannya dengan pengulangan tindak pidana korupsi.

Makna Pengulangan Tindak Pidana
Pada dasarnya ada tiga dasar pemberatan pidana (strafverhogingsgronden), yakni kedudukan sebagai pegawai negeri, pengulangan tindak pidana, dan gabungan perbuatan pidana (Jonkers, 1987). Terkait dengan itu, pada bagian ini secara khusus saya akan mengulas pengulangan tindak pidana atau recidive .

Secara sistematis, mengenai recidive diatur pada Pasal 486-488 KUHP di bawah Bab XXXI Buku II tentang Kejahatan. Jan Remmelink (2003) menyatakan bahwa ada tiga bentuk recidive. Pertama, general recidive, artinya jika seseorang melakukan kejahatan, telah dijatuhi pidana oleh hakim atau masa pidana telah usai, tetapi kembali melakukan kejahatan, maka hal itu menjadi dasar pemberatan pidana.

Kedua, special recidive, yaitu jika seseorang melakukan kejahatan, telah dijatuhi pidana oleh hakim, kemudian ia kembali melakukan kejahatan yang sama, hal itu menjadi dasar pemberatan pidana. Ketiga, tussen stelsel, yaitu jika seseorang melakukan kejahatan semisal pencurian, telah menyelesaikan masa pidana, tetapi kemudian kembali melakukan tindak pidana dalam golongan delik yang sama menurut undang-undang, misalnya penggelapan atau penipuan, maka untuk perbuatan pidana yang diputus terakhir dapat diperberat oleh hakim.

Terkait dengan Pasal 486-488 KUHP tersebut, ada tiga hal menyangkut recidive. Pertama, pelaku telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan hakim atau ketika ia melakukan kejahatan untuk kedua kalinya, hak negara untuk menjalankan pidana belum kedaluwarsa. Kedua, pengulangan dilakukan dalam kurun waktu belum lewat lima tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang dijatuhkan. Ketiga, sanksi pidana ditambah sepertiga dari ancaman maksimum.

Pengulangan tindak pidana tidak hanya berkaitan dengan kejahatan semata, tetapi bisa juga menyangkut pelanggaran. Dalam hal ini terjadi recidive terhadap pelanggaran. Pengaturannya dapat ditemui pada Buku III KUHP. Hal itu disebutkan secara tegas pada pasal-pasal berikut: Pasal 492, 495, 512, Pasal 516-517, Pasal 530, Pasal 544 dan 549 KUHP.

Merujuk pada beberapa pasal tersebut, bila diabstraksi, ada tiga syarat agar bisa disebut sebagai recidive pelanggaran. Pertama, telah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran sebelumnya. Ketiga, tenggang waktunya belum lewat satu tahun.

Selain recidive terhadap kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP, dikenal pula istilah recidive yang diatur di luar KUHP. Dalam hal ini ketentuan mengenai recidive justru diatur tersendiri dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP. Model inilah yang diadopsi dalam Pasal 2 ayat (2) UU Antikorupsi. Pengaturan yang serupa dapat ditemukan juga pada beberapa peraturan lain. Misalnya Pasal 72 UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Pasal 144 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adanya ketentuan khusus mengenai pengulangan pada ketiga peraturan di luar KUHP tersebut, berlakulah prinsip lex specialis derogate legi generali . Bahwa peraturan yang khusus mengesampingkan yang umum. Karena itu jika terjadi pengulangan tindak pidana korupsi, narkotika, dan psikotropika, rujukannya adalah pada ketiga peraturan tersebut. Meskipun demikian, harus dikatakan bahwa induk pengaturan recidive pada awalnya terdapat dalam KUHP.

Munculnya ketentuan mengenai recidive ini sesungguhnya bertalian dengan postulat, humanum enim est peccare, angelicum se emendare, diabolicum preservare. Artinya recidive sama tuanya dengan kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan niat jahat. Inilah yang mendasari adanya pemberatan pidana kepada recidive. Terlebih lagi pada kejahatan luar biasa seperti korupsi.

Mesti Memberi Efek Jera
Tidak bisa dinafikan bahwa korupsi yang terjadi di negeri ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terselubung, dan menggunakan modus operandi yang sulit nan canggih sehingga pengungkapannya membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Koruptor hampir setiap hari dijatuhi hukuman pidana, tetapi semakin banyak pula yang melakukan korupsi. Maka pidana yang dikenakan rasanya tidak terlalu berpengaruh atau kurang memberi efek jera. Bahkan ada yang "nekat" mengulangi tindak pidana korupsi.
Fenomena tersebut bila dikorelasikan dengan tujuan pidana tentu berlawanan secara diametral. Dalam perspektif pemidanaan, ada teori relatif atau tujuan yang menekankan bahwa seseorang dijatuhi pidana dengan harapan agar pelaku bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Acap kali pandangan ini disebut juga sebagai teori prevensi khusus, yakni mencegah pelaku agar tidak lagi mengulangi tindak pidana. Dalam kosakata lain, perlu ada efek jera kepada pelaku sehingga ia tidak lagi mengulangi perbuatannya.

Dalam kondisi yang demikian, saya termasuk yang berpendapat bahwa dibutuhkan sanksi yang lebih "terasa" bagi pelaku korupsi, misalnya pidana mati. Sanksi yang demikian, selain dapat "menakut-nakuti" pelanggar sehingga lebih condong pada prevensi khusus, juga mencegah orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang serupa sehingga bisa juga menjadi prevensi umum.

Jadi pidana mati bisa dikatakan sebagai balasan atas pengulangan tindakan korupsi yang dilakukan seseorang sehingga mampu memberi efek jera. Hal ini sejalan dengan postulat nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur bahwa seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa.

Mempertahankan Pidana Mati
Sebelum diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU Antikorupsi, ihwal pidana mati jauh-jauh hari telah ada dalam Pasal 10 KUHP. Pelaksanaan teknis operasionalnya malah diatur dalam satu peraturan tersendiri, yakni UU No 5 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peadilan umum dan militer. Pada level yang lebih teknis ada pula Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Inti dari peraturan tersebut adalah pidana mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati oleh regu tembak.

Meskipun demikian pidana mati selalu menjadi komoditas yang tetap saja diperdebatkan. Banyak yang setuju, tetapi tidak sedikit juga yang menolak. Antara penganut paham retensionis dan abolisionis tidak pernah berakhir perdebatannya. Terlepas dari perdebatan itu, saya termasuk yang berpandangan bahwa pidana mati dalam pengulangan tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan pada saat ini.

Ada tiga alasan yang ingin saya sampaikan. Pertama , jika pidana yang telah dijalani pelaku dianggap tidak memberi efek jera karena kembali melakukan korupsi, dibutuhkan sanksi yang lebih "keras". Dalam hal ini pidana mati menjadi sanksi pidana yang lebih relevan. Kedua, terhadap kejahatan yang berdampak luar biasa pada pembangunan, kesejahteraan, dan ketertiban masyarakat seperti korupsi, pidana mati adalah pilihan yang rasional.

Ketiga, bila merujuk pada Pasal 111 ayat (1) Rancangan Undang-Undang KUHP 2015, pidana mati dapat saja ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus. Jadi pidana mati tidak mutatis mutandis dilaksanakan setelah vonis dibacakan atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkract van gewijsde), tetapi bisa saja ditunda selama kurun waktu tertentu, dengan syarat tertentu. Misalnya terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan diperbaiki.

Dalam bayangan saya, seorang yang kembali melakukan tindak pidana korupsi sama saja telah mengkhianati komitmen bernegara. Maka berlakulah postulat reus laesae majestatis punitur ut pereat unus ne pereant omnes. Artinya menjatuhkan pidana mati kepada penjahat jauh lebih penting daripada semua pihak menjadi binasa.
Pidana mati juga selaras dengan postulat crimina morte extinguuntur. Artinya kejahatan dipadamkan oleh kematian. Derivasi dari postulat tersebut adalah actio personalis moritur cum persona, artinya tindakan pribadi mati bersama dengan pelakunya.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3840 seconds (0.1#10.140)