Alquran dan Larangan Rasisme

Sabtu, 07 September 2019 - 09:01 WIB
Alquran dan Larangan...
Alquran dan Larangan Rasisme
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Saat ini di Tanah Air isu tentang rasisme dan rasialisme mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan hangat di berbagai media massa. Peristiwanya bermula dari dugaan ucapan rasis dan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Masyarakat Papua sangat tersinggung dan marah mendengar ucapan semacam itu. Akibatnya, meletus demonstrasi massa secara besar-besaran yang diikuti perusakan dan pembakaran yang menyebabkan kericuhan, kekacauan, dan kerusuhan di beberapa kota di Papua, misalnya di Sorong.

Tulisan ini tidak akan membicarakan siapa orang atau pemantik ucapan rasis dan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya itu. Biarlah petugas kepolisian yang menangani dan membawa kasusnya ke pengadilan jika memang ada bukti-bukti kuat tentang rasisme itu. Tulisan ini lebih memfokuskan perhatian dan pembahasannya bahwa Alquran sudah sejak 14,5 abad silam melarang keras rasisme dan rasialisme. Untuk membahas poin ini lebih detail, perlu terlebih dulu dikemukakan definisi rasisme/rasialisme.

Patrick Hans, dalam kamus akademiknya yang terkenal, Encyclopedic World Dictionary (terbitan Librairie du Liban, Beirut, 1974, hlm 1289), secara tepat dan akurat mengartikan kata racism/racialism sebagai: (1) kepercayaan bahwa sekelompok ras manusia mempunyai karakteristik khas yang menentukan kebudayaan mereka, biasanya melibatkan ide bahwa kebudayaan mereka lebih super dan memiliki hak untuk memerintah atau menguasai kebudayaan lain; (2) perilaku ofensif atau agresif terhadap kelompok ras lain yang ditimbulkan oleh kepercayaan seperti itu; (3) suatu kebijakan atau sistem pemerintahan dan masyarakat yang didasarkan pada kepercayaan seperti itu.

Larangan Rasisme
Dapat disimpulkan bahwa rasisme dan rasialisme adalah paham, cara berpikir, dan pandangan dari seseorang/sekelompok orang (ras, etnis, atau suku) yang merasa dan mengklaim dirinya lebih super, lebih bermartabat, lebih terhormat, dan lebih mulia dari orang/kelompok orang lain. Kelompok orang yang berpandangan seperti ini bersifat arogan dan mencibir, mengolok-olok, mencemooh, melecehkan, dan merendahkan orang-orang dari suku, etnis, dan ras lain.

Sudah 14,5 abad silam Alqur'an memperingatkan dan melarang ucapan, perilaku, dan perbuatan rasis dan rasialis ini. Secara gamblang Allah dalam Alquran mengingatkan dan menyadarkan manusia bahwa manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan tujuan agar manusia saling mengenal (QS Al-Hujurat ayat 13): "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu kenal mengenal."

Jadi perbedaan kebangsaan, etnis, dan suku yang ditandai dengan perbedaan warna kulit dan rambut sebenarnya bukan merupakan lambang supremasi dan superioritas, tetapi sebagai identitas untuk saling mengenal.

Setelah mengingatkan dan menyadarkan manusia tentang ide kesamaan dan prinsip persamaan derajat manusia di hadapan-Nya, Allah melarang manusia berbuat rasis dan bertindak rasialis: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (kaum yang diperolok-olok itu) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan yang diperolok-olok itu lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan janganlah memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman (QS Al-Hujurat: 11).

Rasisme sudah terjadi sejak zaman dulu. Di zaman Jahiliyah (zaman Arab pra-Islam), misalnya, rasisme terasa sangat mencolok di kalangan masyarakat Arab. Suatu suku Arab sudah terbiasa mengklaim dirinya lebih super daripada suku-suku Arab lain. Superioritas suku dilambangkan dengan membanggakan asal usul keturunan, kemuliaan status sosial, dan kebesaran nenek moyang yang mereka klaim melebihi suku-suku Arab lainnya.

Suku-suku Arab lain yang tidak memiliki karakteristik khas seperti itu dianggap rendah dan harus dikuasai. Bersamaan dengan keberhasilan Nabi Muhammad melaksanakan misinya, segala bentuk sukuisme, tribalisme, dan rasisme itu dihapuskan. Dalam khotbah yang disampaikan setelah melaksanakan haji wada’ Nabi menegaskan, tidak ada perbedaan antara ras Arab dan ras non-Arab (’ajam). Alqur’an juga menegaskan, Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar manusia saling mengenal. Di hadapan Tuhan, manusia adalah sama, tidak berbeda; yang membedakan hanyalah kualitas dan bobot takwanya.

Kolonialisme dan imperialisme Barat yang berlangsung puluhan tahun, bahkan ratusan tahun atas bangsa-bangsa Asia dan Afrika pada masa lalu adalah suatu bentuk rasisme. Di samping motif menguasai ekonomi, politik, dan militer, kolonialisme Barat adalah juga lambang arogansi dan dominasi budaya kaum kolonialis-rasis atas bangsa-bangsa jajahannya.

Terjadi eksploitasi manusia atas manusia, dominasi pemerintahan kolonial atas negeri-negeri jajahan, dan dominasi budaya pemerintah kolonial atas budaya bangsa-bangsa terjajah. Bangsa-bangsa terjajah dilecehkan, diperbudak, dan dihinakan serta menjadi sapi perah demi kepentingan sang penjajah, hasil-hasil bumi dan hasil-hasil kekayaan alam bangsa-bangsa terjajah dikuras dan dibawa ke negara-negara sang penjajah. Pemerintahan Apartheid kaum kulit putih atas kaum kulit hitam di Afrika Selatan pada masa lalu adalah juga pemerintahan rasis-rasialis.

Karena itu, Nelson Mandela dan kawan-kawan seperjuangannya menentangnya mati-matian dan akhirnya berhasil mengakhiri pemerintahan rasis-rasialis kaum kulit putih yang sudah bercokol bertahun-tahun lamanya di Afrika Selatan.

Rasisme dewasa ini ternyata belum juga berakhir. Rasisme menyusup ke dalam sukuisme. Kita harus menjauhi prasangka rasis-rasialis, tidak mengucapkan kata-kata rasis dan tidak melakukan perbuatan yang bermotif rasis kepada siapa pun. Rasisme harus dikutuk keras. Tepat sekali apabila Pancasila (sila kedua) yang mengajarkan pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kita harus berbudaya dan beradab kepada sesama manusia. Kita lawan rasisme sampai ke akar-akarnya. Perbedaan warna kulit dan etnisitas harus kita terima sebagai sosok identitas untuk saling mengenal dan menghargai, bukan untuk saling membenci dan memusuhi. Manusia harus saling menghargai dan menghormati karena semua manusia adalah sama: sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4798 seconds (0.1#10.140)