Menyelamatkan BPJS, Sebuah Misi Bersama

Jum'at, 30 Agustus 2019 - 07:59 WIB
Menyelamatkan BPJS, Sebuah Misi Bersama
Menyelamatkan BPJS, Sebuah Misi Bersama
A A A
Jeff Budiman

CEO dan Co-founder
The FIT Company

Sejak meluncur pada 2014 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus mendapatkan perhatian besar dari masyarakat Indonesia. Program yang jadi bagian dari agenda Presiden Joko Widodo ini merupakan satu-satunya produk kesehatan pemerintah yang 'berani' memfasilitasi akses pengobatan dan kesehatan tanpa batasan: dari pemeriksaan gigi gratis, penyediaan obat-obatan, fisioterapi, hingga transplantasi organ.

Jika dibandingkan dengan Obamacare yang masih melibatkan dana asuransi pihak swasta untuk membantu pemasaran, BPJS berdiri secara mandiri dengan pengelolaan tunggal dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

Pada kenyataannya, perjalanan BPJS selama kurang lebih delapan tahun memang penuh dengan luka. Tercatat sejak 2014 BPJS terus mengalami defisit sekitar Rp8-9 triliun tiap tahunnya. Hingga ujung tahun nanti total kerugian BPJS diproyeksikan mencapai Rp28 triliun.

Tentu saja sebagai sebuah produk populis yang ditargetkan untuk membantu 240 juta warga negara Indonesia sampai akhir tahun ini, tidak mungkin rasanya untuk langsung mengatakan bahwa BPJS telah gagal, kemudian menghapus program tersebut secara keseluruhan. Jika ditelaah lebih jauh, BPJS telah membantu memenuhi hak kesehatan sebagian besar masyarakat Indonesia melalui skema tarif iuran yang tidak memberatkan.

Mengutip pernyataan Kepala Humas BPJS, M Iqbal Anas Ma’ruf, kerugian BPJS ini berakar pada iuran masyarakat yang dianggap terlalu rendah. Lantas, wacana untuk menaikkan iuran BPJS dianggap sebagai solusi yang bisa mengobati luka BPJS.

Tentu saja rencana tersebut tidak serta-merta mendapatkan respons positif dari seluruh pihak. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga pengawas hak-hak konsumen berpendapat bahwa menaikkan iuran hanya akan membebani para pelanggan yang kemudian malah membuat mereka berhenti dari keanggotaan.

Terlepas dari kenaikan anggaran yang dipilih sebagai solusi utama untuk mengatasi kerugian yang melanda BPJS, ada jalan keluar alternatif yang dapat dilakukan demi membantu BPJS agar dapat terus beroperasi hingga ke tahun-tahun berikutnya.

Menjaga kesehatan diri pada dasarnya adalah tanggung jawab masing-masing individu. Sehat tidaknya jiwa dan raga seorang warga negara bukan cuma menjadi tanggungan pemerintah, apalagi jika harus menimpakan beban tersebut pada BPJS. Pemerintah punya peran untuk menyediakan negara yang aman, layak, dan sejahtera untuk ditinggali oleh warganya.

BPJS sendiri merupakan salah satu manifestasi upaya pemerintah untuk menjamin keberlanjutan proses pengobatan masyarakat yang sakit. Itu berarti kita perlu melibatkan proses preventif dalam usaha menyelamatkan BPJS - dan memang sudah sepantasnya setiap orang menjaga kesehatan dirinya sendiri.

Dilihat dari pengeluaran BPJS sendiri, tercatat 22% biaya dihabiskan untuk pengobatan bagi penyakit katastropik, yaitu penyakit yang membutuhkan

proses perawatan memerlukan keahlian khusus dengan alat kesehatan canggih, dan memerlukan pelayanan kesehatan seumur hidup. Beberapa contohnya penyakit jantung, gagal ginjal, dan kanker. Mereka ini merupakan tiga penyakit yang paling banyak menelan biaya BPJS.

Ironisnya, salah satu penyebab dari penyakit katastropik ini disebabkan oleh gaya hidup yang kurang baik, seperti pola makan tidak sehat, kebiasaan merokok, tidak banyak bergerak secara aktif, dan lain-lain. Berangkat dari penemuan itu, tidak salah jika sebaiknya kita semua sama-sama mengoreksi gaya hidup ke arah yang lebih sehat.

Mengutip laporan International Health, Racquet and Sportsclub Association (IHRSA), penetrasi olahraga dan fitness di Indonesia saat ini masih tergolong sangat rendah, yaitu hanya 0,18%. Kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ranah olahraga dan wellness paling rendah di kawasan Asia Tenggara. Bagi banyak orang, olahraga masih dianggap sebagai kegiatan sekunder, bukan aktivitas krusial dalam keseharian mereka.

Faktanya, menjalani gaya hidup aktif dan sehat tidak sesulit yang dibayangkan karena aspek wellness begitu lekat dengan sendi-sendi kehidupan sehari-hari. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil seperti berolahraga singkat dan membiasakan diri untuk selalu aktif bergerak, mengonsumsi makanan sehat dan bernutrisi, serta menjaga kesehatan mental dan berupaya untuk selalu berpikir positif.

Gerakan seperti ini juga bisa diinisiasi dari komunitas, grup, maupun kelompok-kelompok sosial di segala lini lingkungan. Sesederhana dari mengadakan kegiatan seperti senam warga secara rutin di lingkungan tinggal, pekan olahraga dalam kegiatan sekolah, hingga memasukkan program wellness untuk karyawan-karyawan kantor.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3633 seconds (0.1#10.140)