Mengembalikan Spirit UU Desa
loading...
A
A
A
Ketiga, alokasi Dana Desa (DD) langsung dari Pemerintah Pusat. Perubahan paradigma dari “membangun desa” ke “desa membangun” dan penguatan kewenangan Pemdes dalam pembangunan desa, mengharuskan alokasi dana khusus kepada desa. UU Desa memerintahkan pemerintah pusat mengalokasikan anggaran 10 % dari Dana Transfer yang bersumber dari APBN.
Besaran DD fluktuatif tergantung postur APBN dan dana transfer ke daerah. Saat ini dana transfer berkisar Rp700 - 800 triliun, artinya besaran DD secara nasional di angka Rp70 - 80 triliun. DD ini ditransfer langsung oleh Kementerian Keungan RI ke rekening 83.763 desa di Indonesia.
Alokasi DD mempertimbangkan jumlah penduduk, jumlah warga miskin, luas daerah dan lain-lain. Sehingga besaran alokasi DD di masing-masing desa tidak sama, mulai dari Rp700 juta hingga Rp1 miliar lebih. Alokasi DD sebagai upaya membantu pelaksanaan pembangunan desa.
Keempat, desa sebagai ujung tombak pemerataan pembangunan. Desa bisa menggerakkan perekonomian warga secara langsung. Desa memiliki potensi ekonomi yang beragam seperti pertanian, perikanan, kerajinan dan potensi wisata. Kalau dikelola dengan serius, desa menjadi kekuatan ekonomi local yang berbasis potensi asli desa.
Desa bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang tidak akan terjangkau akibat krisis ekonomi global. Karena itu, desa menjadi startegis, terutama untuk misi pemerataan pembangunan mulai dari bawah.
Mengejawantahkan spirit UU Desa tidaklah mudah, banyak kendala yang harus diurai. Kewenangan Pemdes seringkali dibatasi (distortif) kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Bupati/Walikota (KDH). Proses pencairan DD tergantung pada hasil evaluasi APBDes oleh KDH, selanjutnya KDH mengeluarkan Peraturan KDH tentang APBDes dan KDH menerbitkan Surat Kuasa pencarian.
Proses-proses ini menimbulkan banyak masalah, terutama kewenangan evaluasi seorang KDH. Praktek "titip program dan proyek" sering mewarnai proses ini. Akibatnya, banyak Kepala Desa harus menuruti kemauan KDH, meski titipan program itu tidak sesuai kebutuhan desanya. Perlu dikaji ulang tentang kewenangan KHD terutama yang berkaitan kewenangan "evaluasi" terhadap APBDes.
Selain itu, kapasitas seorang Kepala Desa yang tidak memadai, seringkali menggangu, seperti merumuskan dan mengesahkan RPJMDes, menyusun RKP Desa setiap tahun, dan mengesahkan APBDes setiap tahun. Kendala-kendala ini harus segera diatasi lewat pendampingan, baik oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) maupun oleh Pendamping Desa.
Besaran DD fluktuatif tergantung postur APBN dan dana transfer ke daerah. Saat ini dana transfer berkisar Rp700 - 800 triliun, artinya besaran DD secara nasional di angka Rp70 - 80 triliun. DD ini ditransfer langsung oleh Kementerian Keungan RI ke rekening 83.763 desa di Indonesia.
Alokasi DD mempertimbangkan jumlah penduduk, jumlah warga miskin, luas daerah dan lain-lain. Sehingga besaran alokasi DD di masing-masing desa tidak sama, mulai dari Rp700 juta hingga Rp1 miliar lebih. Alokasi DD sebagai upaya membantu pelaksanaan pembangunan desa.
Keempat, desa sebagai ujung tombak pemerataan pembangunan. Desa bisa menggerakkan perekonomian warga secara langsung. Desa memiliki potensi ekonomi yang beragam seperti pertanian, perikanan, kerajinan dan potensi wisata. Kalau dikelola dengan serius, desa menjadi kekuatan ekonomi local yang berbasis potensi asli desa.
Desa bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang tidak akan terjangkau akibat krisis ekonomi global. Karena itu, desa menjadi startegis, terutama untuk misi pemerataan pembangunan mulai dari bawah.
Anomali Kewenangan
Mengejawantahkan spirit UU Desa tidaklah mudah, banyak kendala yang harus diurai. Kewenangan Pemdes seringkali dibatasi (distortif) kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Bupati/Walikota (KDH). Proses pencairan DD tergantung pada hasil evaluasi APBDes oleh KDH, selanjutnya KDH mengeluarkan Peraturan KDH tentang APBDes dan KDH menerbitkan Surat Kuasa pencarian.
Proses-proses ini menimbulkan banyak masalah, terutama kewenangan evaluasi seorang KDH. Praktek "titip program dan proyek" sering mewarnai proses ini. Akibatnya, banyak Kepala Desa harus menuruti kemauan KDH, meski titipan program itu tidak sesuai kebutuhan desanya. Perlu dikaji ulang tentang kewenangan KHD terutama yang berkaitan kewenangan "evaluasi" terhadap APBDes.
Selain itu, kapasitas seorang Kepala Desa yang tidak memadai, seringkali menggangu, seperti merumuskan dan mengesahkan RPJMDes, menyusun RKP Desa setiap tahun, dan mengesahkan APBDes setiap tahun. Kendala-kendala ini harus segera diatasi lewat pendampingan, baik oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) maupun oleh Pendamping Desa.
(rca)