Mengembalikan Spirit UU Desa

Kamis, 08 Agustus 2024 - 15:56 WIB
loading...
Mengembalikan Spirit...
Abdul Malik Haramain, Anggota Pansus UU Desa (2014). Foto/Istimewa
A A A
Abdul Malik Haramain
Anggota Pansus UU Desa (2014)

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memasuki usia 11 tahun. UU ini mengalami perubahan menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024. Meski banyak kemajuan telah dicapai, namun sebagian besar desa belum bergerak maju sesuai semangat UU Desa.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberikan catatan pelaksanaan UU ini; pertama, pengelolaan Dana Desa (DD) belum sepenuhnya dinikmati oleh warga; kedua, DD belum mampu mengangkat (membangkitkan) perekonomian desa; ketiga DD belum maksimal memberdayakan kapasitas masyarakat desa.

Spirit UU Desa


UU Desa setidaknya memiliki empat semangat utama, pertama, mengubah paradigma (shifting paradigm) tentang Desa dari "Membangun Desa" menjadi "Desa Membangun". Pergeseran ini bermakna substansial. "Membangun Desa" menempatkan desa sebagai obyek atau sasaran pembangunan (locus).

Desa hanya menerima program dari pemerintah di atasnya dari kabupaten/kota, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Seringkali mobililisasi program tidak berbasis kebutuhan masing-masing desa. Gelontoran program ini hanya sekadar memenuhi "program formalitas" dari pemerintah.

Sementara paradigma "Desa Membangun" menempatkan desa sebagai subjek, aktor, dan pelaku utama dari proses perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, evaluasi program, hingga pertanggungjawaban program. Perubahan pola pikir dan cara pandang tentang desa mengharuskan tambahan kewenangan kepada Pemerintahan Desa (Pemdes).

Kedua, penguatan kewenangan Pemdes. Kewenangan Pemdes di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Beberapa kewenangan utama itu di antaranya, pertama: kewenangan hak asal usul desa. Pemdes berhak mengelola kepentingan masyarakat desa berdasar tradisi, budaya, dan adat istiadat yang masih berlaku.

Kedua, kewenangan penyelenggaraan pemerintahan desa. Kewenangan ini berkaitan dengan pelaksanaan urusan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, kewenangan pengelolaan keuangan desa. Kewenangan ini termasuk perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa, terutama DD yang bersumber dari APBN dan ADD dari Pemkab atau Pemkot.

Keempat, Pemdes juga berwenang mengembangkan desa dan membangun Kawasan Perdesaan. Kewenangan ini mencakup pembangunan infrastruktur kawasan perdesaan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi warga.

Selain kewenangan-kewenangan di atas, Pemdes memiliki kewenangan tambahan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan tambahan kewenangan ini Pemdes dapat melaksanakan program atau proyek dari pemerintahan di atasnya. Singkatnya, Pemdes memiliki kewenangan besar mulai perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan hingga pertanggungjawaban pembangunan.

Ketiga, alokasi Dana Desa (DD) langsung dari Pemerintah Pusat. Perubahan paradigma dari “membangun desa” ke “desa membangun” dan penguatan kewenangan Pemdes dalam pembangunan desa, mengharuskan alokasi dana khusus kepada desa. UU Desa memerintahkan pemerintah pusat mengalokasikan anggaran 10 % dari Dana Transfer yang bersumber dari APBN.

Besaran DD fluktuatif tergantung postur APBN dan dana transfer ke daerah. Saat ini dana transfer berkisar Rp700 - 800 triliun, artinya besaran DD secara nasional di angka Rp70 - 80 triliun. DD ini ditransfer langsung oleh Kementerian Keungan RI ke rekening 83.763 desa di Indonesia.

Alokasi DD mempertimbangkan jumlah penduduk, jumlah warga miskin, luas daerah dan lain-lain. Sehingga besaran alokasi DD di masing-masing desa tidak sama, mulai dari Rp700 juta hingga Rp1 miliar lebih. Alokasi DD sebagai upaya membantu pelaksanaan pembangunan desa.

Keempat, desa sebagai ujung tombak pemerataan pembangunan. Desa bisa menggerakkan perekonomian warga secara langsung. Desa memiliki potensi ekonomi yang beragam seperti pertanian, perikanan, kerajinan dan potensi wisata. Kalau dikelola dengan serius, desa menjadi kekuatan ekonomi local yang berbasis potensi asli desa.

Desa bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang tidak akan terjangkau akibat krisis ekonomi global. Karena itu, desa menjadi startegis, terutama untuk misi pemerataan pembangunan mulai dari bawah.

Anomali Kewenangan


Mengejawantahkan spirit UU Desa tidaklah mudah, banyak kendala yang harus diurai. Kewenangan Pemdes seringkali dibatasi (distortif) kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam hal ini Bupati/Walikota (KDH). Proses pencairan DD tergantung pada hasil evaluasi APBDes oleh KDH, selanjutnya KDH mengeluarkan Peraturan KDH tentang APBDes dan KDH menerbitkan Surat Kuasa pencarian.

Proses-proses ini menimbulkan banyak masalah, terutama kewenangan evaluasi seorang KDH. Praktek "titip program dan proyek" sering mewarnai proses ini. Akibatnya, banyak Kepala Desa harus menuruti kemauan KDH, meski titipan program itu tidak sesuai kebutuhan desanya. Perlu dikaji ulang tentang kewenangan KHD terutama yang berkaitan kewenangan "evaluasi" terhadap APBDes.

Selain itu, kapasitas seorang Kepala Desa yang tidak memadai, seringkali menggangu, seperti merumuskan dan mengesahkan RPJMDes, menyusun RKP Desa setiap tahun, dan mengesahkan APBDes setiap tahun. Kendala-kendala ini harus segera diatasi lewat pendampingan, baik oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) maupun oleh Pendamping Desa.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1184 seconds (0.1#10.140)