Ganjil Genap (Bukan) Solusi

Rabu, 14 Agustus 2019 - 08:30 WIB
Ganjil Genap (Bukan) Solusi
Ganjil Genap (Bukan) Solusi
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian polusi udara memperluas dan menambah jam berlakunya zonasi daerah ganjil genap untuk kendaraan roda empat milik pribadi. Instruksi Gubernur ini perlu diapresiasi sebagai upaya untuk mengurangi polusi dan mengurai kemacetan di DKI Jakarta.

Perlu diapresiasi karena dalam hal ini gubernur responsif pada keadaan mendesak terkait buruknya kualitas udara ibu kota Jakarta, sebagaimana data yang dilaporkan oleh Air Visual setiap harinya. Data Air Visual menunjukkan indeks polusi udara di Jakarta belakangan ini selalu masuk dalam lima besar terburuk.

Namun, selain perlu diapresiasi, Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 juga perlu dikritisi, khususnya jika itu dimaksudkan sebagai solusi untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Ada dua hal yang berbeda antara pengendalian polusi udara dan pengendalian kemacetan di Ibu Kota, maka kini pertanyaannya adalah apakah kebijakan ganjil genap bagi kendaraan pribadi merupakan solusi bagi perbaikan kualitas udara di Jakarta secara keseluruhan? Jawabannya belum tentu.

Studi yang ada di berbagai negara terkait kebijakan ganjil dan genap adalah guna mengurai kemacetan, sedangkan terkait dengan pengurangan polusi udara, sebagaimana dijelaskan oleh Nielsen (2015) bahwa polusi udara di kota metropolitan pasti memiliki banyak faktor. Artinya, dalam hal ini kebijakan perluasan rute dan penambahan jam berlakunya ganjil genap tidak akan berkorelasi langsung dan menjamin perbaikan kualitas udara.

Dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memiliki data penyebab buruknya kualitas udara. Karena itu, belum tentu berasal dari kuantitas jumlah kendaraan roda empat milik pribadi. Bisa saja kualitas udara yang buruk justru berasal dari asap kendaraan umum atau berasal dari faktor lainnya, semisal penataan kawasan industri. Sehingga dalam hal ini, perbaikan kualitas udara tidak akan maksimal jika hanya berharap dari kebijakan ganjil genap.

Justru dampak negatif yang perlu dimitigasi adalah kebijakan ganjil genap justru hanya memindahkan lokasi polusi udara, artinya bisa saja daerah strategis perkantoran berkurang polusinya, tetapi kualitas udara akan lebih buruk di area lain yang tidak terkena kebijakan ganjil genap.

Solusi Komprehensif

Secara paralel guna menyempurnakan Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019, Pemprov DKI Jakarta harus membenahi persoalan kualitas udara di Ibu Kota dari setidaknya tiga faktor, yakni pertama, perbaikan kualitas layanan kendaraan umum. Perbaikan kualitas kendaraan umum ini termasuk aspek kelayakan lingkungan dari kendaraan tersebut. Pemerintah harus memastikan bahwa kendaraan umum seperti bus, angkot maupun moda transportasi umum lainnya bukan menjadi penyebab dari polusi udara. Uji kir berkala harus dilakukan secara objektif (tidak koruptif).

Di samping itu, pemerintah perlu menata kenyamanan dari penggunaan kendaraan umum tersebut, termasuk memberantas kriminalitas yang terjadi di moda transportasi umum. Sebagaimana dijelaskan oleh Hueis (2017), dalam penelitiannya bahwa umumnya kendaraan umum di negara berkembang menjadi tempat potensial terjadinya kejahatan konvensional.

Penelitian Rama (2014) menyebutkan bahwa hak-hak konsumen angkutan umum sering kali diabaikan di negara berkembang. Sehingga dalam hal ini, jika tujuan pemerintah mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi, dengan mengharapkan masyarakat menggunakan kendaraan umum, maka secara paralel pemerintah harus menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di atas.

Kedua, persoalannya terkait penegakan hukum pada aspek lingkungan yang berhubungan dengan kendaraan umum dan industri. Dalam hal ini, penerbitan izin operasional harus benar-benar objektif dan melalui standar kelayakan lingkungan, seperti uji emisi. Pemerintah harus tegas menindak kendaraan maupun industri yang tidak lolos uji ambang emisi. Sebagaimana dijelaskan oleh Friedman (1976) bahwa penegakan hukum merupakan faktor penting dalam mengubah perilaku manusia untuk mencapai hasil yang diharapkan sehingga sanksi yang tegas pada pelanggaran uji emisi akan berkorelasi pada perbaikan kualitas udara.

Ketiga, dalam upaya perbaikan kualitas udara adalah tata ruang yang mengacu pada perspektif ekologis, seperti syarat kewajiban adanya ruang terbuka hijau di daerah industri. Tata ruang yang mengacu pada perspektif ekologis adalah konsep tata ruang yang menghadirkan kualitas udara yang baik bagi masyarakat. Sehingga dalam kaitannya dengan kebijakan ganjil genap, perlu diuji kualitas udara pada jalur alternatif yang tidak terkena kebijakan ganjil genap dibandingkan dengan kualitas udara di rute yang terkena ganjil genap.

Budaya Ekologis

Dalam hal ini dapat dikatakan jika upaya gubernur melalui Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian polusi udara hanya menyelesaikan sebagian kecil dari persoalan buruknya kualitas udara di Ibu Kota. Memang menciptakan kualitas udara yang sehat memerlukan partisipasi dan kesadaran dari seluruh masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat perlu mengubah gaya hidup dengan berpedoman pada budaya ekologis. Budaya ekologis yang perlu diciptakan di tengah masyarakat adalah gaya hidup yang berorientasi pada lingkungan hidup.

Budaya ekologis yang dapat ditumbuhkan di tengah masyarakat, misalnya mengubah penggunaan mobil dengan bahan bakar minyak dengan penggunaan mobil non-BBM seperti mobil listrik, mobil gas (BBG), atau dalam skala kecil misalnya mempersempit ruang merokok atau tidak memberi ruang bagi perokok. Secara makro, ini terkait pembangunan kawasan industri yang mengakomodasi kecukupan ruang terbuka hijau guna perbaikan kualitas udara. Mewujudkan budaya masyarakat berbasis ekologis tersebut, di satu sisi memang memerlukan peran serta masyarakat. Tetapi di sisi lain, pemerintah perlu menyiapkan regulasi dan prasarana serta sarananya.

Taksi daring, misalnya, tentu akan menjadi alternatif masyarakat pascaberlakunya aturan ganjil genap tersebut. Maka dampak negatifnya adalah tetap terjadi polusi udara. Namun, jika dalam hal ini semua atau sebagian besar kendaraan berbahan bakar non-BBM (berbasis listrik dan gas), maka apapun alternatif solusi yang dipilih masyarakat tidak akan berkorelasi dengan memburuknya kualitas udara.

Sehingga dalam hal ini, selain kebijakan ganjil genap sebagaimana tertuang dalam Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019, maka secara simultan pemerintah harus menyiapkan regulasi bagi faktor-faktor lainnya guna memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota. Artinya, dalam hal ini, budaya ekologis yang dibangun akan berdampak pada perilaku berbasis ekologis, namun dalam hal ini pemerintah perlu menunjang dengan menyediakan payung hukum serta pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4538 seconds (0.1#10.140)