Budi Santoso: Revisi UU KPK Berhubungan Erat dengan Hasil Pansus Angket DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Santoso menyebutkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 berhubungan erat dengan hasil Pansus Angket DPR terhadap KPK.
"Saya mau mengaitkan atau menghubungkan antara peristiwa Pansus Angket KPK di 2018 sekitar Februari, dengan kemudian munculnya RUU yang sangat mengagetkan kita semua, khususnya bagi kami di internal KPK," kata Budi Santoso saat bersaksi melalui video teleconference, di hadapan hakim panel Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta, Senin (24/8/2020). (Baca juga: Bagir Manan Sebut Revisi UU KPK Meniadakan Prinsip Extra Ordinary)
Kekagetan KPK tersebut, kata dia, karena pada September 2019 sebenarnya KPK secara kelembagaan dan para insan KPK sedang fokus mengamati dan mencermati proses berjalannya seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang sedang berjalan. Ditambah lagi, begitu cepatnya proses pengajuan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pembahasan, hingga disahkan oleh DPR menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
Budi Santoso dihadirkan sebagai saksi oleh kuasa hukum pemohon perkara nomor: 79/PUU-XVII/2019 terkait dengan uji materiil dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU baru KPK. Sebelumnya perkara ini diajukan oleh 14 pemohon yakni Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo dkk. Dalam persidangan yang berlangsung hari ini, hadir juga satu pemohon prinsipal yakni Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode Muhamad Syarif didampingi Muhamad Isnur sebagai kuasa hukum pemohon. (Baca juga: Revisi UU KPK Dinilai Langgar Asas Pembentukan Undang-Undang)
Budi melanjutkan, sebagai penasihat KPK saat itu dia mengetahui rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan dan dibacakan Pansus Angket DPR terhadap KPK yang dibacakan dalam Sidang Paripurna DPR tertanggal 14 Februari 2018. Isi rekomendasi Pansus tersebut, menurut dia, sangat penting disampaikan kembali di hadapan hakim MK karena menyangkut dengan posisi penasihat sebagaimana sebelumnya ada dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. "Saya merasa ini penting untuk saya sampaikan, karena salah satu isi rekomendasi dari Pansus Angket KPK ini terkait dengan status atau posisi atau kedudukan struktur penasihat di dalam institusi atau lembaga KPK," bebernya.
Seingat Budi, secara umum ada delapan rekomendasi pokok yang disodorkan oleh Pansus Angket DPR terhadap KPK. Pertama, KPK diminta menyempurnakan struktur organisasi KPK. Kedua, KPK diminta meningkatkan kerja sama dengan lembaga penegak hukum atau lembaga lainnya seperti BPK, LPSK, PPATK, dan sebagainya.
Ketiga, KPK diminta membentuk lembaga pengawas independen. Keempat, KPK diminta menempatkan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai counter partner yang kondusif. (Baca juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
Kelima, KPK diminta lebih memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mengacu pada hukum acara pidana dan undang-undang lain di dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Keenam, KPK diminta membangun sistem pencegahan yang sistematis. Ketujuh, KPK diminta memperbaiki tata kelola anggaran yang sesuai rekomendasi BPK. Kedelapan, KPK diminta memperbaiki tata kelola SDM dengan memperhatikan aturan di bidang SDM atau kepegawaian.
"Nah, Majelis Hakim yang saya hormati dan hadirin sekalian. Dari kedelapan isi rekomendasi Pansus Angket KPK, praktis ada 7 atau kira-kira 7 itu sesuatu yang normatif dan memang selama ini sudah dikerjakan semua oleh KPK. Jadi, ini sebenarnya tidak ada yang baru ketika kami di internal KPK membaca isi rekomendasi itu," paparnya.
Kecuali tutur Budi, rekomendasi poin yaitu perlunya dibentuk lembaga pengawas independen. Waktu itu memang formulasi lembaga itu tidak terlalu jelas disampaikan oleh Pansus. Di sisi lain, KPK secara kelembagaan maupun para insan KPK membaca pemberitaan-pemberitaan berbagai media massa bahwa lembaga itu terdiri dari internal dan eksternal. "Padahal sebenarnya kalau mau dibedah, pengawas di KPK itu sudah berlapis lapis. Internal juga ada, eksternal pun sudah ada," imbuhnya.
Untuk pengawas internal kata Budi, ada Direktorat Pengawasan Internal (PI) pada Kedeputian Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM). Kemudian atasan juga sekaligus sebagai pengawas bagi anak buahnya. Untuk pengawas eksternal, ujar Budi, di dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 jelas disebutkan bahwa pengawasan dilakukan oleh DPR, BPK, dan publik serta bisa ditambah media massa.
"Saya mau mengaitkan atau menghubungkan antara peristiwa Pansus Angket KPK di 2018 sekitar Februari, dengan kemudian munculnya RUU yang sangat mengagetkan kita semua, khususnya bagi kami di internal KPK," kata Budi Santoso saat bersaksi melalui video teleconference, di hadapan hakim panel Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta, Senin (24/8/2020). (Baca juga: Bagir Manan Sebut Revisi UU KPK Meniadakan Prinsip Extra Ordinary)
Kekagetan KPK tersebut, kata dia, karena pada September 2019 sebenarnya KPK secara kelembagaan dan para insan KPK sedang fokus mengamati dan mencermati proses berjalannya seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang sedang berjalan. Ditambah lagi, begitu cepatnya proses pengajuan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pembahasan, hingga disahkan oleh DPR menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
Budi Santoso dihadirkan sebagai saksi oleh kuasa hukum pemohon perkara nomor: 79/PUU-XVII/2019 terkait dengan uji materiil dan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU baru KPK. Sebelumnya perkara ini diajukan oleh 14 pemohon yakni Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo dkk. Dalam persidangan yang berlangsung hari ini, hadir juga satu pemohon prinsipal yakni Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode Muhamad Syarif didampingi Muhamad Isnur sebagai kuasa hukum pemohon. (Baca juga: Revisi UU KPK Dinilai Langgar Asas Pembentukan Undang-Undang)
Budi melanjutkan, sebagai penasihat KPK saat itu dia mengetahui rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan dan dibacakan Pansus Angket DPR terhadap KPK yang dibacakan dalam Sidang Paripurna DPR tertanggal 14 Februari 2018. Isi rekomendasi Pansus tersebut, menurut dia, sangat penting disampaikan kembali di hadapan hakim MK karena menyangkut dengan posisi penasihat sebagaimana sebelumnya ada dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. "Saya merasa ini penting untuk saya sampaikan, karena salah satu isi rekomendasi dari Pansus Angket KPK ini terkait dengan status atau posisi atau kedudukan struktur penasihat di dalam institusi atau lembaga KPK," bebernya.
Seingat Budi, secara umum ada delapan rekomendasi pokok yang disodorkan oleh Pansus Angket DPR terhadap KPK. Pertama, KPK diminta menyempurnakan struktur organisasi KPK. Kedua, KPK diminta meningkatkan kerja sama dengan lembaga penegak hukum atau lembaga lainnya seperti BPK, LPSK, PPATK, dan sebagainya.
Ketiga, KPK diminta membentuk lembaga pengawas independen. Keempat, KPK diminta menempatkan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai counter partner yang kondusif. (Baca juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
Kelima, KPK diminta lebih memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan mengacu pada hukum acara pidana dan undang-undang lain di dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Keenam, KPK diminta membangun sistem pencegahan yang sistematis. Ketujuh, KPK diminta memperbaiki tata kelola anggaran yang sesuai rekomendasi BPK. Kedelapan, KPK diminta memperbaiki tata kelola SDM dengan memperhatikan aturan di bidang SDM atau kepegawaian.
"Nah, Majelis Hakim yang saya hormati dan hadirin sekalian. Dari kedelapan isi rekomendasi Pansus Angket KPK, praktis ada 7 atau kira-kira 7 itu sesuatu yang normatif dan memang selama ini sudah dikerjakan semua oleh KPK. Jadi, ini sebenarnya tidak ada yang baru ketika kami di internal KPK membaca isi rekomendasi itu," paparnya.
Kecuali tutur Budi, rekomendasi poin yaitu perlunya dibentuk lembaga pengawas independen. Waktu itu memang formulasi lembaga itu tidak terlalu jelas disampaikan oleh Pansus. Di sisi lain, KPK secara kelembagaan maupun para insan KPK membaca pemberitaan-pemberitaan berbagai media massa bahwa lembaga itu terdiri dari internal dan eksternal. "Padahal sebenarnya kalau mau dibedah, pengawas di KPK itu sudah berlapis lapis. Internal juga ada, eksternal pun sudah ada," imbuhnya.
Untuk pengawas internal kata Budi, ada Direktorat Pengawasan Internal (PI) pada Kedeputian Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM). Kemudian atasan juga sekaligus sebagai pengawas bagi anak buahnya. Untuk pengawas eksternal, ujar Budi, di dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 jelas disebutkan bahwa pengawasan dilakukan oleh DPR, BPK, dan publik serta bisa ditambah media massa.