Pelajaran Berharga bagi Pertamina dalam Insiden ONWJ
A
A
A
Fahmy Radhi/Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada
dan
Y. Nindito Adisuryo/Analis Kerja Sama di Kementerian ESDM
INSIDEN kebocoran minyak dan gas, yang terjadi pada pertengahan pekan lalu di wilayah Offshore North West Java (ONWJ) menjadi perhatian serius industri migas di Tanah Air. Pertamina saat ini berjuang keras untuk menanggulangi kebocoran gas di ONWJ.
Upaya Pertamina dalam penanganan insiden tersebut, yang melibatkan kolaborasi berbagai pihak dan pemangku kepentingan melalui Incident Management Team (IMT), patut diapresiasi. Insiden tersebut saat ini tengah ditanggulangi melalui upaya penanganan lintas sektoral. PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ melakukansegenap langkah penanganan dan respons darurat (emergency response).
Keselamatan dan keamanan menjadi prioritas bagi PHE ONWJ pasca-insiden ini. Dari segi keamanan, PHE ONWJ telah menutup akses wilayah yang terdampak dari jangkauan nelayan dan masyarakat. Langkah-langkah ini melibatkan peran serta TNI AL serta Satuan Polisi Air dan Udara (Satpolairud). PHE ONWJ juga telah mengevakuasi seluruh pekerja dari platform dan fasilitasoffshore yang terdampak.
Upaya selanjutnya adalah menangani dampak lingkungan akibat insiden tersebut. Pertamina telah mengerahkan 27 kapal dan 12 perangkat peralatan dimobilisasi untuk membatasi agar tumpahan minyak (oil spill) tidak meluas. Pertamina juga telah mengoordinasikan dan mengomunikasikan perkembangan kejadian tersebutsecara intensif denganSKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian LHK, pemerintah daerah, Dinas Lingkungan Hidup Daerah, TNI dan kepolisian, Ditjen Perhubungan Laut, KSOP, Kementerian KKP, Pushidros AL, KKKS dan berbagai instansi lainnya. Bahkan, Pertamina juga telah mendatangkan tim dari AS untuk membantu percepatan penanganan.
Namun, insiden yang mendatangkan kerugian ekonomi, sosial serta lingkungan tersebut juga patut disesalkan. Insiden tersebut menyebabkan kebocoran minyak dan gelembung gas di Sumur YYA-1 ONWJ. Skala insiden tersebut berpotensi menyamai Tragedi Macondo Field yang dikelola oleh BPdi kawasan Teluk Meksiko, AS, yang terjadi hampir satu dekade lalu. Insiden tersebut telah mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sangat besar.
Pengelolaan ONWJ merupakan proyek strategis bernilai fantastis. Nilai kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (Engineering and Procurement Contract/EPC) proyek ini mencapai sekitar USD50,7 juta, dengan kapasitas produksi gas di ONWJ mencapai 40 juta kaki kubik per hari (MMscfd) atau 0,7 juta barel minyak ekuivalen per hari (Mboepd). Proyek ONWJ ini merupakan salah satu dari lima proyek migas yang beroperasi sejak 2018.
Menurut SKK Migas, lapangan tersebut merupakan salah satu andalan untuk peningkatan produksi migas pada 2019. Insidentersebut sudah menurunkan produksi migas tahun ini. Dari data Kementerian ESDM, dengan total produksi gas nasional tahun 2018 yang mencapai 1,107 Mboepd, yang di bawah target 2018 sebesar 1,2 Mboepd, dapat diperkirakan total produksi tahun ini akan tidak tercapai dengan lumpuhnya wilayah ONWJ.
Insiden ini mestinya menjadi lesson-learned bagi Pertamina mengenai pentingnya upaya preventif. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebenarnya sudah mengingatkan bahwa anjungan di Lapangan YYA-1 telah 3 kali mengalami kemiringan. Berdasarkan peringatan tersebut, Pertamina seharusnya segera melakukan upaya perbaikan setelah pertama kali diketahui adanya kemiringan itu.
Upaya perbaikan, dengan penghentian operasi sementara, memang akan merugikan dan memakan biaya. Namun, lebih mahal lagi biayanya jika Pertamina harus menanggulangi dampak terjadinya kebocoran migas, yang mencakup upaya pembersihan tumpahan minyak, pemulihan area-area yang terdampak, dan penghentian produksi dalam waktu yang lebih lama.
Biaya penanggulangan kebocoran migas itu jauh lebih besar ketimbang biaya pencegahan. Dalam studinya, Michel dan Fingas (2016) mengungkapkan mahalnya biaya pembersihan (cleanup) tumpahan minyak yang terjadi di wilayah AS dapat mencapai USD300 untuk setiap liter yang tumpah ke laut. Dikatakan juga bahwa biaya pembersihan dapat mencapai USD900 untuk setiap liter tumpahan jika dimasukkan pula biaya kerusakan pada sumber daya alam serta dampak sosial-ekonomi lainnya.
Untuk tumpahan minyak yang mencemari wilayah pantai, biaya pembersihannya dapat mencapai USD120 per meter persegi. Biaya ini belum termasuk dengan ongkos pemulihan (recovery) lingkungan terhadap area-area yang tercemar. Sedangkan untuk melakukan upaya preventif dengan memperkuat early warning system, biaya yang ditimbulkan dapat bervariasi tanpa harus menanggung kerugian yang lebih jauh akibat kerusakan lingkungan.
Upaya preventif berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang mencakup pelatihan, pengujian dan sebagainya dalam rangka mengidentifikasi dan menganalisis potensi kebocoran dari gejala awal yang timbul, termasuk terjadinya kemiringan anjungan Lapangan YYA-1 yang berpotensi menimbulkan kebocoran.
Insiden ONWJ memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi Pertamina pada dua sisi. Pertama, insiden ini menunjukkan best practices Pertamina dalam mengaktifkan IMT dan melakukan emergency quick response, serta langkah-langkah penanganan baik dalam aspek keselamatan pekerja dan pencemaran lingkungan.
Kedua, insiden ini mengingatkan kembali akan pentingnya sistem pencegahan (preventive efforts) terhadap gejala yang menyebabkan kebocoran yang mungkin terjadi dalam aktivitas pengelolaan migas. Bak pepatah, “mencegah lebih baik daripada menanggulangi.”
dan
Y. Nindito Adisuryo/Analis Kerja Sama di Kementerian ESDM
INSIDEN kebocoran minyak dan gas, yang terjadi pada pertengahan pekan lalu di wilayah Offshore North West Java (ONWJ) menjadi perhatian serius industri migas di Tanah Air. Pertamina saat ini berjuang keras untuk menanggulangi kebocoran gas di ONWJ.
Upaya Pertamina dalam penanganan insiden tersebut, yang melibatkan kolaborasi berbagai pihak dan pemangku kepentingan melalui Incident Management Team (IMT), patut diapresiasi. Insiden tersebut saat ini tengah ditanggulangi melalui upaya penanganan lintas sektoral. PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ melakukansegenap langkah penanganan dan respons darurat (emergency response).
Keselamatan dan keamanan menjadi prioritas bagi PHE ONWJ pasca-insiden ini. Dari segi keamanan, PHE ONWJ telah menutup akses wilayah yang terdampak dari jangkauan nelayan dan masyarakat. Langkah-langkah ini melibatkan peran serta TNI AL serta Satuan Polisi Air dan Udara (Satpolairud). PHE ONWJ juga telah mengevakuasi seluruh pekerja dari platform dan fasilitasoffshore yang terdampak.
Upaya selanjutnya adalah menangani dampak lingkungan akibat insiden tersebut. Pertamina telah mengerahkan 27 kapal dan 12 perangkat peralatan dimobilisasi untuk membatasi agar tumpahan minyak (oil spill) tidak meluas. Pertamina juga telah mengoordinasikan dan mengomunikasikan perkembangan kejadian tersebutsecara intensif denganSKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian LHK, pemerintah daerah, Dinas Lingkungan Hidup Daerah, TNI dan kepolisian, Ditjen Perhubungan Laut, KSOP, Kementerian KKP, Pushidros AL, KKKS dan berbagai instansi lainnya. Bahkan, Pertamina juga telah mendatangkan tim dari AS untuk membantu percepatan penanganan.
Namun, insiden yang mendatangkan kerugian ekonomi, sosial serta lingkungan tersebut juga patut disesalkan. Insiden tersebut menyebabkan kebocoran minyak dan gelembung gas di Sumur YYA-1 ONWJ. Skala insiden tersebut berpotensi menyamai Tragedi Macondo Field yang dikelola oleh BPdi kawasan Teluk Meksiko, AS, yang terjadi hampir satu dekade lalu. Insiden tersebut telah mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sangat besar.
Pengelolaan ONWJ merupakan proyek strategis bernilai fantastis. Nilai kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (Engineering and Procurement Contract/EPC) proyek ini mencapai sekitar USD50,7 juta, dengan kapasitas produksi gas di ONWJ mencapai 40 juta kaki kubik per hari (MMscfd) atau 0,7 juta barel minyak ekuivalen per hari (Mboepd). Proyek ONWJ ini merupakan salah satu dari lima proyek migas yang beroperasi sejak 2018.
Menurut SKK Migas, lapangan tersebut merupakan salah satu andalan untuk peningkatan produksi migas pada 2019. Insidentersebut sudah menurunkan produksi migas tahun ini. Dari data Kementerian ESDM, dengan total produksi gas nasional tahun 2018 yang mencapai 1,107 Mboepd, yang di bawah target 2018 sebesar 1,2 Mboepd, dapat diperkirakan total produksi tahun ini akan tidak tercapai dengan lumpuhnya wilayah ONWJ.
Insiden ini mestinya menjadi lesson-learned bagi Pertamina mengenai pentingnya upaya preventif. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebenarnya sudah mengingatkan bahwa anjungan di Lapangan YYA-1 telah 3 kali mengalami kemiringan. Berdasarkan peringatan tersebut, Pertamina seharusnya segera melakukan upaya perbaikan setelah pertama kali diketahui adanya kemiringan itu.
Upaya perbaikan, dengan penghentian operasi sementara, memang akan merugikan dan memakan biaya. Namun, lebih mahal lagi biayanya jika Pertamina harus menanggulangi dampak terjadinya kebocoran migas, yang mencakup upaya pembersihan tumpahan minyak, pemulihan area-area yang terdampak, dan penghentian produksi dalam waktu yang lebih lama.
Biaya penanggulangan kebocoran migas itu jauh lebih besar ketimbang biaya pencegahan. Dalam studinya, Michel dan Fingas (2016) mengungkapkan mahalnya biaya pembersihan (cleanup) tumpahan minyak yang terjadi di wilayah AS dapat mencapai USD300 untuk setiap liter yang tumpah ke laut. Dikatakan juga bahwa biaya pembersihan dapat mencapai USD900 untuk setiap liter tumpahan jika dimasukkan pula biaya kerusakan pada sumber daya alam serta dampak sosial-ekonomi lainnya.
Untuk tumpahan minyak yang mencemari wilayah pantai, biaya pembersihannya dapat mencapai USD120 per meter persegi. Biaya ini belum termasuk dengan ongkos pemulihan (recovery) lingkungan terhadap area-area yang tercemar. Sedangkan untuk melakukan upaya preventif dengan memperkuat early warning system, biaya yang ditimbulkan dapat bervariasi tanpa harus menanggung kerugian yang lebih jauh akibat kerusakan lingkungan.
Upaya preventif berkaitan dengan aktivitas-aktivitas yang mencakup pelatihan, pengujian dan sebagainya dalam rangka mengidentifikasi dan menganalisis potensi kebocoran dari gejala awal yang timbul, termasuk terjadinya kemiringan anjungan Lapangan YYA-1 yang berpotensi menimbulkan kebocoran.
Insiden ONWJ memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi Pertamina pada dua sisi. Pertama, insiden ini menunjukkan best practices Pertamina dalam mengaktifkan IMT dan melakukan emergency quick response, serta langkah-langkah penanganan baik dalam aspek keselamatan pekerja dan pencemaran lingkungan.
Kedua, insiden ini mengingatkan kembali akan pentingnya sistem pencegahan (preventive efforts) terhadap gejala yang menyebabkan kebocoran yang mungkin terjadi dalam aktivitas pengelolaan migas. Bak pepatah, “mencegah lebih baik daripada menanggulangi.”
(thm)