Brexit di Tangan Boris Johnson

Jum'at, 26 Juli 2019 - 07:45 WIB
Brexit di Tangan Boris Johnson
Brexit di Tangan Boris Johnson
A A A
Ali Rama
Penerima Beasiswa Kementerian Agama untuk Studi S-3 di Universitas Aberdeen, Inggris, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BORIS Johnson akhirnya terpilih menjadi ketua Partai Konservatif dan secara otomatis akan menduduki posisi perdana menteri Inggris menggantikan Theresa May yang pada Rabu (24/7) resmi mengundurkan diri. Boris menang sebanyak 66,4% dari pesaingnya, Jeremy Hunt, dari seluruh anggota Tory pada pemilihan, Selasa (23/7).

Mantan wali kota London ini memang sudah difavoritkan bakal menjadi perdana menteri Britania Raya pascapengunduran diri Theresa May. Perbincangan dalam mencari sang perdana menteri baru kali ini memang relatif menyita banyak perhatian publik Inggris. Terutama dipicu oleh sosok Boris Johnson, yang dianggap sebagai politikus yang sangat kontroversial. Dia dijuluki sebagai Donald Trump-nya Inggris. Maka itu, Trump termasuk pemimpin dunia pertama yang mengucapkan selamat atas keterpilihan Boris sebagai perdana menteri.

Julukan sebagai “Britain’s Trump” yang disematkan ke Boris bukan hanya karena kesamaan gaya rambut, melainkan juga sejumlah kesamaan pandangan terutama terkait dengan pernyataan kontroversial tentang Islam. Dalam artikel opininya di The Telegraph, Boris menyebut perempuan bercadar (burqa) seperti kotak surat (letter box) dan menyamakannya mirip perampok bank (bank robber).

Meskipun sebenarnya tulisan Boris ini sebagai kritik terhadap pemerintah Denmark yang melarang penggunaan burqa di depan publik yang dianggapnya terlalu opresif dan memalukan. Tulisan tersebut telah memicu terjadinya sejumlah sikap anti-Islam, terutama bagi kalangan wanita di Inggris. Media setempat memberitakan setidaknya terjadi lima kasus penyerangan dan pelecehan verbal terhadap wanita muslim karena menggunakan niqab, mereka dilecehkan dengan dipanggil sebagai “letter box”, sebuah istilah yang diciptakan oleh Boris, ketika mereka berada di atas kendaraan umum.

Jauh sebelumnya, Boris juga punya pandangan kontroversial tentang Islam yang dia tuangkan dalam bukunya berjudul “The Dream of Rome” terbit pada 2006. Dia menyatakan bahwa Islam-lah yang menjadi penyebab dunia muslim terbelakang dibandingkan dengan dunia Barat. Dari pandangan-pandangan tersebut, sejumlah komunitas muslim di Inggris menilai Boris sebagai politikus yang fobia Islam.

Selama ini, masyarakat Inggris dan komunitas-komunitas muslim secara umum sudah hidup damai dan saling menghormati. Bahkan, wali kota London saat ini adalah merupakan seorang muslim moderat yang umumnya disukai oleh masyarakat London. Olehnya, dengan terpilihnya Boris sebagai perdana menteri, diharapkan tidak mengusik kedamaian dan toleransi agama yang sudah dibangun bertahun-tahun di kalangan masyarakat Inggris selama ini.

Jangan seperti Trump yang justru menggunakan “isu anti-Islam” sebagai jualan politik dan kampanye. Salah satunya terlihat baru-baru ini yang menyerang anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Ilham Omar, yang notabene sebagai salah satu wanita muslim di Kongres dengan menyuruhnya untuk pulang kembali ke negara asalnya, yaitu Somalia. Boris Johnson juga dianggap kontroversi terkait dengan Brexit. Dia termasuk pendukung kuat Brexit atau disebut hardline Brexiter.

Saat kampanye agar Inggris meninggalkan Uni Eropa pada 20016, dia dianggap berbohong kepada publik dengan mengatakan bahwa Inggris terbebani dengan harus membayar sekitar 350 miliar poundsterling setiap pekan sebagai konsekuensi menjadi anggota Uni Eropa. Pernyataan ini dikampanyekan berulang-ulang di berbagai media, termasuk ditulis di sejumlah bus umum yang ada di London.

Kampanye ini akhirnya sukses mengubah opini publik untuk menyatakan “yes” untuk Brexit saat referendum. Anehnya, saat dia bergabung sebagai menteri luar negeri di kabinet pemerintahan Theresa May, justru dia mengundurkan diri di tengah jalan di saat politik Brexit mengalami kebuntuan dan penolakan di parlemen Inggris.

Saat kampanye untuk menjadi ketua Partai Konservatif dan perdana menteri, dia menjanjikan Brexit akan benar-benar terjadi pada 31 Oktober tahun ini dengan slogan “doordie”. Jika Uni Eropa tidak mau melakukan negosiasi ulang atas draf Brexit yang sudah ditandatangani dengan perdana menteri sebelumnya, dia menjanjikan UK keluar dengan status tanpa perjanjian, atau “no deal Brexit”.

Boris menggunakan “biaya perceraian” sebayak 39 triliun poundsterling yang harus dibayar oleh UK pascakeluar dari UE sebagai daya tawar. Dia mengirim sinyal kalau UK tidak akan bayar biaya tersebut jika UE tidak mau mengubah draf kesepakan Brexit. Bahkan lebih jauh, dia akan menyuspensi parlemen jika menolak rencananya keluar dari UE pada 31 Oktober tersebut.

Rencana “no deal Brexit” yang diinginkan oleh Boris Johnson saat terpilih jadi perdana menteri akan menjadi mimpi buruk bagi perekonomian Inggris. Hampir semua analis ekonomi memperkirakan ekonomi Inggris akan mengalami guncangan kuat dalam jangka pendek jika kebijakan ini terjadi. Bank Sentral Inggris mengingatkan akan adanya ancaman resesi ekonomi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan krisis keuangan pada 2008 jika Inggris keluar tanpa ada kesepakatan yang jelas dengan Uni Eropa terutama terkait dengan lalu lintas barang, uang, dan manusia.

Dampak dari ketidakpastian Brexit dan sosok calon perdana menteri Inggris sudah terlihat pada pergerakan poundsterling yang mengalami depresiasi tajam selama pascapengumuman pengunduran diri Theresa May. Nilai tukar poundsterling terhadap dolar Amerika turun sekitar 6% selama tiga bulan ini. Ini baru sentimen awal atas respons dari keinginan perdana menteri baru untuk keluar dari pasar tunggal Eropa dengan status tanpa kesepakatan.

Namun di sisi lain, sosok Boris Johnson ini dianggap sebagai antitesis dari Theresa May yang lebih mengedepankan perundingan dan kesepakatan, sementara Boris lebih mirip Trump yang lebih agresif dan berani ambil risiko. Boleh jadi Boris Johnson adalah sosok yang tepat untuk keluar dari kemelut Brexit yang tidak jelas kapan terealisasinya. Boris bisa mengangkat harga diri UK dalam negosiasi dengan Uni Eropa.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5041 seconds (0.1#10.140)