Pengembaraan Tak Pernah Usai Seniman Nurhidayat

Jum'at, 26 Juli 2024 - 10:45 WIB
loading...
A A A
Atau yang lain, dengan dominan warna hitam-putih yang tak menutup kesan eksotis, yakni di karya Flanerie #2, 2024, Drawing on canvas, 125 x 150 cm, perempuan yang merebahkan diri di sofa benar-benar menjadi “penguasa semesta” atas laki-laki. Yang mana laki-laki di sana menjadi pelayan; laki-laki bertelanjang dada dan terlihat macho, serta dayang-dayang serta musisi di sekeliling memulai memainkan nada-nada, sementara pelayan terdepan membungkuk siap diperintah.

baca juga: Hukum Gambar dan Lukisan, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi

“Saya memang sengaja menempatkan perempuan secara terhormat. Itu adalah simbol bagaimana budaya patriarki dulunya ditentang, menggejala dominan pada abad ke-20, yang tak teruji waktu; dan berangsur-angsur terkoreksi di abad ke-21 ini. Saya merasakannya sebagai laki-laki dengan dua perempuan dominan di keluarga saya, yakni anak perempuan semata wayang dan isteri terkasih,” jelas Nurhidayat.

Ia dengan memilih judul seperti Flanerie dalam sejumlah serial lukisan-lukisannya, sebagai para pelaku pengembara tak hanya laki-laki namun sejatinya perempuan-perempuan terhormat. Aristokrasi Eropa menempatkan sebagian masa lalu para bangsawan dan ratu penakluk menyeruak muncul dalam ingatan.

Sementara itu, karya lainnya, berjuluk Portrait de Famille, 2024, Drawing on canvas, 80 x 70 cm jelas-jelas Nurhidayat merujuk keluarga kecilnya, yang mana “singgasana kursi keluarga” diduduki seorang perempuan.

Pengembaraan Tak Pernah Usai Seniman Nurhidayat


Ia duduk di tengah dengan gestur maskulin dan suasana bagai setting panggung opera, kain-berenda. Sang laki-laki nampaknya memakai sarung-batik. Tapi kita segera sadar bahwa di kiri dan kanan bidang kanvas adalah dirinya, dan siapa lagi yang lain jika bukan anak perempuannya.

Pertanyaan menyembul di benak, memandang karya hitam-putih yang indah ini, menyisakan misteri makna topeng-topeng dan diatasnya tumbuh kaktus, Nurhidayat dalam wawancara menukas, “Saya sadar bahwa dalam berkesenian di Perancis, saya yang jauh merantau, teralienasi; keluarga kecil ini sebenar-benarnya adalah para pengembara jarak-jauh”.

Nurhidayat mengaku, mereka bersiap mengarungi “gurun sahara”, tahan-banting dan “hemat air”, bagai tumbuhan kaktus-kaktus. Juga menyiapkan topeng-topeng, sebagai karakter tiap orang untuk bertahan hidup yang bisa jadi, seperti kata Nurhidayat, mereka mungkin tak mau terlalu dikenali.

Baudelaire, sang panyair besar abad ke-20 itu, mungkin menambahkan dengan menukil dari esai di The Painter of Modern Life, “Seorang flaneur yang sejati, juga para pengamat yang bergairah, mendapati kebahagiaan tersendiri menemui lokasi yang mengagumkan di jantung kota. Di tengah pasang surut dinamika hidup itu, diantaranya tersembul para buron dan mereka yang tak dikenali".
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)