Sarbumusi: Kesepakatan Tim Perumus RUU Cipta Kerja Tak Ada yang Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesepakatan yang dihasilkan tim perumus RUU Cipta Kerja tidak ada yang baru. Apa yang disepakati sudah termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebagian telah dimasukan ke dalam draf RUU Cipta Kerja.
Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi, Syaiful Bahri Anshori mengatakan, jauh sebelum tim perumus yang terdiri dari pimpinan DPR, Badan Legislasi, dan serikat buruh menghasilkan apa yang disebut hasil kesepakatan, sebagian besar konfederasi dan federasi serikat pekerja atau serikat buruh bersama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sudah menghasilkan hal-hal yang disepakati.
Adapun kesepakatan itu juga mencakup pasal tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), pasal tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pasal tentang waktu kerja dan waktu istirahat, pasal tentang pesangon, pasal tentang pengupahan dan jaminan sosial.
(Baca: Rapat RUU Cipta Kerja Bareng Serikat Buruh di Hotel, Ini Penjelasan DPR)
Dia melanjutkan, terkait dengan sanksi pidana, konfederasi dan federasi serikat buruh yang membahas cukup panjang di tim bersama dengan pemerintah dan APINDO cukup keukeuh untuk mengembalikan sanksi pidana ini ke Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
"Menurut kami apa yang dihasilkan tim perumus bukan hal yang baru, sama seperti yang menjadi kegelisahan semua serikat pekerja atau serikat buruh yang lain yang sama-sama membahas dengan pemerintah serta APINDO," ujar Syaiful Bahri Anshori, Senin (24/8/2020).
Menurut Syaiful, malah ada kelebihan dalam konsep yang diajukannya, yakni memberikan solusi kesepakatan secara dialog sosial, bukan hanya kehendak satu pihak. Karena, dia merasakan betul RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan banyak merugikan pekerja atau buruh.
"Maka sudah seyogyanya kita dialogkan secara tripartit untuk mencari rumusan terbaik agar ada kesepakatan-kesepakatan untuk menghasilkan regulasi yang menguntungkan semua pihak," ungkapnya.
(Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Demo Besar-besaran 25 Agustus 2020)
Soal pasal-pasal yang tidak bisa dikompromikan seperti pengupahan, dia setuju dengan sistem upah tunggal. Sebaliknya dia menolak konsep dualisme system, ada UMP dan upah padat karya.
Sarbumusi ingin harus tetap ada pengupahan tunggal yakni UMP dan memperbaiki rumusannya agar tidak terjadi disparitas upah dan merugikan pekerja atau buruh, khusus untuk pasal PKWT. "Ini harus dikembalikan ke aturan UU 13/2003," katanya.
Dia membeberkan ada dua hal yang harus disepakati bersama. Pertama, konsepsi dan rumusan dalam usulan kluster ketenagakerjaan versi serikat pekerja atau serikat buruh sudah disepakati antara serikat pekerja atau serikat buruh, pemerintah sebagai pengusul draf RUU Cipta Kerja dan APINDO.
"Dan ini sudah sesuai mekanisme yang di inginkan oleh sebagain konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang bertemu dengan presiden serta presiden sudah menangguhkan atau menunda. Pembahasan kluster ketenagakerjaan untuk kembali di dialogkan bersama stake holder ketenagakerjaan," imbuhnya.
(Baca: Serikat Buruh Tetap Minta Klaster Ketenagakerjaan Dihapus)
Kedua, hasil dialog dengan pemangku kepentingan ketenagakerjaan telah diajukan ke DPR. Karena itu DPR harus bijak dalam menyusun daftar inventaris masalah (DIM).
"Dan tim perumus bentukan DPR tidak hanya memperhatikan sebagain masukan serikat pekerja/serikat buruh tersebut, akan tetapi harus juga memperhatikan sebagain besar serikat pekerja atau serikat buruh diluar mainstream yang ada," pungkasnya.
Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi, Syaiful Bahri Anshori mengatakan, jauh sebelum tim perumus yang terdiri dari pimpinan DPR, Badan Legislasi, dan serikat buruh menghasilkan apa yang disebut hasil kesepakatan, sebagian besar konfederasi dan federasi serikat pekerja atau serikat buruh bersama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sudah menghasilkan hal-hal yang disepakati.
Adapun kesepakatan itu juga mencakup pasal tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), pasal tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pasal tentang waktu kerja dan waktu istirahat, pasal tentang pesangon, pasal tentang pengupahan dan jaminan sosial.
(Baca: Rapat RUU Cipta Kerja Bareng Serikat Buruh di Hotel, Ini Penjelasan DPR)
Dia melanjutkan, terkait dengan sanksi pidana, konfederasi dan federasi serikat buruh yang membahas cukup panjang di tim bersama dengan pemerintah dan APINDO cukup keukeuh untuk mengembalikan sanksi pidana ini ke Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
"Menurut kami apa yang dihasilkan tim perumus bukan hal yang baru, sama seperti yang menjadi kegelisahan semua serikat pekerja atau serikat buruh yang lain yang sama-sama membahas dengan pemerintah serta APINDO," ujar Syaiful Bahri Anshori, Senin (24/8/2020).
Menurut Syaiful, malah ada kelebihan dalam konsep yang diajukannya, yakni memberikan solusi kesepakatan secara dialog sosial, bukan hanya kehendak satu pihak. Karena, dia merasakan betul RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan banyak merugikan pekerja atau buruh.
"Maka sudah seyogyanya kita dialogkan secara tripartit untuk mencari rumusan terbaik agar ada kesepakatan-kesepakatan untuk menghasilkan regulasi yang menguntungkan semua pihak," ungkapnya.
(Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Demo Besar-besaran 25 Agustus 2020)
Soal pasal-pasal yang tidak bisa dikompromikan seperti pengupahan, dia setuju dengan sistem upah tunggal. Sebaliknya dia menolak konsep dualisme system, ada UMP dan upah padat karya.
Sarbumusi ingin harus tetap ada pengupahan tunggal yakni UMP dan memperbaiki rumusannya agar tidak terjadi disparitas upah dan merugikan pekerja atau buruh, khusus untuk pasal PKWT. "Ini harus dikembalikan ke aturan UU 13/2003," katanya.
Dia membeberkan ada dua hal yang harus disepakati bersama. Pertama, konsepsi dan rumusan dalam usulan kluster ketenagakerjaan versi serikat pekerja atau serikat buruh sudah disepakati antara serikat pekerja atau serikat buruh, pemerintah sebagai pengusul draf RUU Cipta Kerja dan APINDO.
"Dan ini sudah sesuai mekanisme yang di inginkan oleh sebagain konfederasi serikat pekerja atau serikat buruh yang bertemu dengan presiden serta presiden sudah menangguhkan atau menunda. Pembahasan kluster ketenagakerjaan untuk kembali di dialogkan bersama stake holder ketenagakerjaan," imbuhnya.
(Baca: Serikat Buruh Tetap Minta Klaster Ketenagakerjaan Dihapus)
Kedua, hasil dialog dengan pemangku kepentingan ketenagakerjaan telah diajukan ke DPR. Karena itu DPR harus bijak dalam menyusun daftar inventaris masalah (DIM).
"Dan tim perumus bentukan DPR tidak hanya memperhatikan sebagain masukan serikat pekerja/serikat buruh tersebut, akan tetapi harus juga memperhatikan sebagain besar serikat pekerja atau serikat buruh diluar mainstream yang ada," pungkasnya.
(muh)