Hukum di antara Akal dan Nurani

Jum'at, 12 Juli 2024 - 21:24 WIB
loading...
Hukum di antara Akal...
Romli Atmasasmita. FOTO/IST
A A A
Romli Atmasasmita

BERHUKUM di dalam sistem hukum manapun, baik sistem hukum civil law maupun sistem hukum common law pada hakikatnya sama, tidak berbeda. Yang berbeda hanya cara pandang orang-orangnya, baik itu masyarakat awam hukum maupun pemilik kekuasaan hukumnya; baik itu si kaya maupun si miskin. Sepanjang manusia diberikan akal dan budi oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka selama dua kunci kehidupan itu dipelihara dan dijaga serta digunakan secara berimbang niscaya setiap langkah hukum yang ditegakkan oleh khusus aparat penegak hukum akan membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi setiap orang, termasuk orang yang terlibat dalam lembah kejahatan.

Capaian hasil tersebut hanya dapat diraih oleh manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak lain. Namun demikian di dalamkenyataan kehidupan keseharian manusia, tidak luput dari kehilafan, kesalahan disengaja ataupun tidak disengaja; manusiawi. Keinsyafan diri atau introspeksi diri dengan keyakinan bahwa Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, Maha Adil dan Bijaksana, Pengasih dan Penyayang terhadap manusia niscaya kebaikan dan keberuntungan akan berpihak kepada yang iman dan benar serta kehidupan yang lurus seperti penggaris.

Bagaimana relevansinya tentang akal dan budi dengan hukum? Hukum yang kita ketahui berasal dari perbuatan manusia yang dilandasi itikad baik untuk mengatur kehidupan sesama manusia dengan tertib dan tidak mengganggu lingkungan kehidupan sesamanya, termasuk juga lingkungan hidup manusia yang pada gilirannya akan berdampak terhadap masa depan dan nasib manusia. Namun demikian karena hukum selalu bergerak dinamis jika dalam genggaman kekuasaan, maka hukum tanpa kekuasaan jelas hanya angan-angan semata, akan tetapi jika kekuasaan dijalankan tanpa hukum maka akan timbul anarkhi; hukum dan kekuasaan itu selalu berkelindan layaknya dua sisi dari satu mata uang.

Karakter hukum dan kekuasaan itulah yang seharusnya diiringi oleh keseimbangan antara akal dan budi; hukum harus selalu dijaga dan diawasi oleh keduanya karena tanpa pengawasan dan pengendalian terhadapnya niscaya akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kezaliman oleh manusia terhadap sesamanya; antara pemilik kekuasaan dan yang tidak memiliknya dan juga hukum digunakan sekedar alat saja (tools) untuk mencapai tujuan pemilik kepentingan (law as a tools of the powerfull) melawan si lemah against the powerless.

Dalam praktik hukum sehari-hari terdapat keadaan sedemikian dan peristiwa itu bisa terjadi bukan hanya karena hakim dikenalkan kekuasaan melainkan juga tidak adanya keseimbangan antara akal dan budi/nurani. Pertanyaan mengapa terjadi ketidakseimbangan antaraakal dan nurani dalam mengelola hukum. Tidak pelak lagi jawaban atas pertanyaan tersebut dikembalikan kepada sejarah kolonialisme di negeri ini selama 350 tahun. Kolonialisme telah mempengaruhi cara pandang kira tentang hakikat dan tujuan hukum serta bagaimana menormakan hukum yang dapat menjamin terciptanya tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatannya, baik bagi hidup orang per orangan, keluarga maupun masyarakat luas.

Pola hukum dalam kolonialisme selalu berwarna otoritarian, di mana kepatuhan dan disiplin ketiga subjek hukum tersebut dituntut maksimal tanpa ada kesempatan untuk mewujudkan haknya sebagai warga merdeka. Pengaruh warna otoritarian tersebut masih melekat di dalam tata pemerintahan negara yang telah merdeka 78 tahun yang lampau. Hal ini bisa bertahan dalam kehidupan rakyat dan bangsa initelah dibekali landasan filosofi Pancasila, yang menjunjung tinggi kelima sila Pancasila yang sarat dengan kandungan moral, etika, dan jiwa kaum merdeka, baik dalam kehidupan spiritual maupun sosial.

Di tengah-tengah pencarian bentuk dan warna yang benar dan utuh sejalan filosofi Pancasila, kehidupan sosial ekonomi dan hukum telah digempur habis-habisan oleh perkembangan teknologi modern yang belum dapat terjangkau oleh kaum teknokrat pribumi, apalagi kaum awam dan tuna pendidikan. BPIP yang dibentuk pemerintah dan diharapkan dapat menjadi lembaga penjaga dan pemelihara kelanggengan dankelangsungan kehidupan jati diri bangsa.

Berhukum di dalam sistem hukum manapun, baik sistem hukum civil law maupun sistem hukum common law pada hakikatnya sama tidak berbeda;yang berbeda hanya cara pandang orang-orangnya, baik itu masyarakat awam hukum maupun pemilik kekuasaan hukumnya; baik itu si kaya maupun si miskin. Sepanjang manusia diberikan akal dan budi oleh Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, maka selama dua kunci kehidupan itu dipelihara dan dijaga serta digunakan secara berimbang niscaya setiap langkah hukum yang ditegakkan oleh khusus aparat penegak hukum akan membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi setiap orang termasuk orang yang terlibat dalam lembah kejahatan.

Capaian hasil tersebut hanya dapat diraih oleh manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak lain. Namun demikian di dalamkenyataan kehidupan keseharian manusia, tidak luput dari kehilafan, kesalahan disengaja ataupun tidak disengaja; manusiawi. Keinsyafan diri atau introspeksi diri dengan keyakinan bahwa Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Adil dan Bijaksana, Pengasih dan Penyayang terhadap manusia, niscaya kebaikan dan keberuntungan akan berpihak kepada yang iman dan benar serta kehidupan yang lurus seperti penggaris.

Bagaimana relevansinya tentang akal dan budi dengan hukum? Hukum yang kita ketahui berasal dari perbuatan manusia yang dilandasi itikad baik untuk mengatur kehidupan sesama manusia dengan tertib dan tidak mengganggu lingkungan kehidupan sesamanya, termasuk juga lingkungan hidup manusia yang pada gilirannya akan berdampak terhadap masa depan dan nasib manusia. Namun demikian karena hukum selalu bergerak dinamis jika dalam genggaman kekuasaan, maka hukum tanpa kekuasaan jelas hanya angan-angan semata, akan tetapijika kekuasaan dijalankan tanpa hukum maka akan timbul anarkhi; hukum dan kekuasaan itu selalu berkelindan layaknya dua sisi dari satu mata uang.

Karakter hukum dan kekuasaan itulah yang seharusnya diiringi oleh keseimbangan antara akal dan budi; hukum harus selalu dijaga dan diawasi oleh keduanya karena tanpa pengawasan dan pengendalian terhadapnya niscaya akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kezaliman oleh manusia terhadap sesamanya; antara pemilik kekuasaan dan yang tidak memiliknya dan juga hukum digunakan sekedar alat saja (tools) untuk mencapai tujuan pemilik kepentingan, sehingga kesan dan wajah hukum menjadi kusut.

Karena itu sebaik-baiknya hukum dinormakan dan diundangkan melalui pembahasan yang alot antara pemerintah dan DPR, undang-undang tersebut tidak akan tampak jernih dan memiliki aura yang memberikan kenyamanan, ketentraman, kepastian, dan keadilan apalagi kemanfaatan jika pemegang kekuasaan yang menjalankan hukum tidak lagi dikuasai oleh syahwat otoritarian yang lebih besar daripada mempertahankan dan memelihara keseimbangan antara akal dan nurani di dalam menjalankan hukum itu.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2322 seconds (0.1#10.140)