Indonesia di Tengah Rivalitas Amerika Serikat dengan China
loading...
A
A
A
Sementara itu, Fauzan Anwar menyoroti isu Uighur di Xinjiang yang sering menjadi perhatian media internasional. Ia menjelaskan bahwa isu ini berkaitan dengan radikalisme, terorisme, dan separatisme, tiga masalah yang dihadapi banyak negara.
Fauzan mengulas sejarah panjang konflik di Xinjiang, mulai dari masa Dinasti Qing hingga era Partai Komunis China, serta upaya pemerintah China untuk mengatasi masalah ini melalui program reedukasi yang sering disalahpahami sebagai kamp konsentrasi. Fauzan juga menekankan bahwa konflik di Xinjiang tidak hanya soal agama, tetapi juga etnisitas dan identitas budaya.
Pemerintah China menggunakan strategi migrasi etnis Han ke wilayah tersebut untuk memperkuat kendalinya, yang menimbulkan ketegangan dengan etnis Uighur. Ia mengingatkan bahwa isu Uighur sering digunakan sebagai alat propaganda dalam rivalitas antara Amerika Serikat dan China, media Barat cenderung memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan China.
Imron Rosyadi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menilai pemberitaan mengenai Uighur. “Media Barat sering melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan justru beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel terlibat dalam pelanggaran HAM. “Dolkun Isa, Ketua World Uyghur Congress (WUC) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uyghur,” tuturnya.
Dia membeberkan, Nury Turkel, Ketua Uyghur Human Rights Project juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya. Dia berharap, masyarakat Indonesia semakin cermat menyaring informasi agar tidak mudah dimanipulasi.
Fauzan mengulas sejarah panjang konflik di Xinjiang, mulai dari masa Dinasti Qing hingga era Partai Komunis China, serta upaya pemerintah China untuk mengatasi masalah ini melalui program reedukasi yang sering disalahpahami sebagai kamp konsentrasi. Fauzan juga menekankan bahwa konflik di Xinjiang tidak hanya soal agama, tetapi juga etnisitas dan identitas budaya.
Pemerintah China menggunakan strategi migrasi etnis Han ke wilayah tersebut untuk memperkuat kendalinya, yang menimbulkan ketegangan dengan etnis Uighur. Ia mengingatkan bahwa isu Uighur sering digunakan sebagai alat propaganda dalam rivalitas antara Amerika Serikat dan China, media Barat cenderung memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan China.
Imron Rosyadi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menilai pemberitaan mengenai Uighur. “Media Barat sering melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan justru beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel terlibat dalam pelanggaran HAM. “Dolkun Isa, Ketua World Uyghur Congress (WUC) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uyghur,” tuturnya.
Dia membeberkan, Nury Turkel, Ketua Uyghur Human Rights Project juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya. Dia berharap, masyarakat Indonesia semakin cermat menyaring informasi agar tidak mudah dimanipulasi.
(rca)