Indonesia di Tengah Rivalitas Amerika Serikat dengan China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia di Tengah Isu Uighur dan Rivalitas antara Amerika Serikat dengan China menjadi topik diskusi yang digelar ISCS di JW Coffee Garden, Jakarta, Senin, 8 Juli 2024. Tiga pembicara dihadirkan mendalami hubungan internasional dan dinamika geopolitik global.
Mereka adalah Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Imron Rosyadi Hamid, Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Veronika Saraswati, dan Peneliti Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PP Muhammadiyah Fauzan Anwar.
Diskusi tersebut membahas kompleksitas hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan China, serta bagaimana isu-isu global seperti konflik Uighur dan rivalitas antara dua kekuatan besar dunia mempengaruhi posisi dan kebijakan luar negeri Indonesia.
Imron memulai pemaparannya dengan menjelaskan sejarah hubungan Indonesia dengan China dan Amerika Serikat. Pada periode 1950-1965, hubungan Indonesia dengan China sangat baik, namun mengalami kebekuan signifikan pada 1966-1989 akibat faktor politik internal dan eksternal.
Memasuki era reformasi, hubungan kedua negara kembali membaik dengan peningkatan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, investasi, dan budaya. Di sisi lain, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat telah menjadi kemitraan yang kuat sejak era Orde Baru hingga sekarang, mencakup bidang perdagangan, militer, dan pendidikan.
Imron juga menyoroti pentingnya prinsip politik luar negeri bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999. “Indonesia berusaha tidak terikat oleh blok-blok kekuatan besar dunia dan aktif dalam menjaga perdamaian serta stabilitas internasional,” katanya.
Selain itu, dia mengingatkan pentingnya prinsip nonintervensi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, yang melarang campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Veronica Saraswati memaparkan perkembangan ekonomi China sejak 90-an. China kini menjadi investor terbesar di Indonesia. Dirinya menyoroti bagaimana perusahaan-perusahaan besar seperti Tesla dan Apple mendirikan bisnis di China, yang menunjukkan kekuatan dan daya tarik ekonomi negara tersebut.
Veronica juga membahas perjanjian AUKUS antara Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia, yang meningkatkan ketegangan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Perjanjian ini dipandang oleh China sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan upaya AS untuk memperkuat aliansi strategisnya.
Veronica juga menyinggung isu separatisme di Taiwan dan Hong Kong serta bagaimana negara-negara Barat terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah ini. Ia menekankan perlunya ASEAN, termasuk Indonesia untuk lebih sadar dan responsif terhadap isu-isu geopolitik seperti AUKUS yang dapat berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan.
Sementara itu, Fauzan Anwar menyoroti isu Uighur di Xinjiang yang sering menjadi perhatian media internasional. Ia menjelaskan bahwa isu ini berkaitan dengan radikalisme, terorisme, dan separatisme, tiga masalah yang dihadapi banyak negara.
Fauzan mengulas sejarah panjang konflik di Xinjiang, mulai dari masa Dinasti Qing hingga era Partai Komunis China, serta upaya pemerintah China untuk mengatasi masalah ini melalui program reedukasi yang sering disalahpahami sebagai kamp konsentrasi. Fauzan juga menekankan bahwa konflik di Xinjiang tidak hanya soal agama, tetapi juga etnisitas dan identitas budaya.
Pemerintah China menggunakan strategi migrasi etnis Han ke wilayah tersebut untuk memperkuat kendalinya, yang menimbulkan ketegangan dengan etnis Uighur. Ia mengingatkan bahwa isu Uighur sering digunakan sebagai alat propaganda dalam rivalitas antara Amerika Serikat dan China, media Barat cenderung memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan China.
Imron Rosyadi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menilai pemberitaan mengenai Uighur. “Media Barat sering melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan justru beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel terlibat dalam pelanggaran HAM. “Dolkun Isa, Ketua World Uyghur Congress (WUC) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uyghur,” tuturnya.
Dia membeberkan, Nury Turkel, Ketua Uyghur Human Rights Project juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya. Dia berharap, masyarakat Indonesia semakin cermat menyaring informasi agar tidak mudah dimanipulasi.
Mereka adalah Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Imron Rosyadi Hamid, Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Veronika Saraswati, dan Peneliti Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PP Muhammadiyah Fauzan Anwar.
Diskusi tersebut membahas kompleksitas hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan China, serta bagaimana isu-isu global seperti konflik Uighur dan rivalitas antara dua kekuatan besar dunia mempengaruhi posisi dan kebijakan luar negeri Indonesia.
Imron memulai pemaparannya dengan menjelaskan sejarah hubungan Indonesia dengan China dan Amerika Serikat. Pada periode 1950-1965, hubungan Indonesia dengan China sangat baik, namun mengalami kebekuan signifikan pada 1966-1989 akibat faktor politik internal dan eksternal.
Memasuki era reformasi, hubungan kedua negara kembali membaik dengan peningkatan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, investasi, dan budaya. Di sisi lain, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat telah menjadi kemitraan yang kuat sejak era Orde Baru hingga sekarang, mencakup bidang perdagangan, militer, dan pendidikan.
Imron juga menyoroti pentingnya prinsip politik luar negeri bebas aktif yang diabadikan untuk kepentingan nasional berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999. “Indonesia berusaha tidak terikat oleh blok-blok kekuatan besar dunia dan aktif dalam menjaga perdamaian serta stabilitas internasional,” katanya.
Selain itu, dia mengingatkan pentingnya prinsip nonintervensi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, yang melarang campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Perjanjian AUKUS dan Ketegangan Geopolitik
Veronica Saraswati memaparkan perkembangan ekonomi China sejak 90-an. China kini menjadi investor terbesar di Indonesia. Dirinya menyoroti bagaimana perusahaan-perusahaan besar seperti Tesla dan Apple mendirikan bisnis di China, yang menunjukkan kekuatan dan daya tarik ekonomi negara tersebut.
Veronica juga membahas perjanjian AUKUS antara Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia, yang meningkatkan ketegangan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Perjanjian ini dipandang oleh China sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan upaya AS untuk memperkuat aliansi strategisnya.
Veronica juga menyinggung isu separatisme di Taiwan dan Hong Kong serta bagaimana negara-negara Barat terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah ini. Ia menekankan perlunya ASEAN, termasuk Indonesia untuk lebih sadar dan responsif terhadap isu-isu geopolitik seperti AUKUS yang dapat berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan.
Sementara itu, Fauzan Anwar menyoroti isu Uighur di Xinjiang yang sering menjadi perhatian media internasional. Ia menjelaskan bahwa isu ini berkaitan dengan radikalisme, terorisme, dan separatisme, tiga masalah yang dihadapi banyak negara.
Fauzan mengulas sejarah panjang konflik di Xinjiang, mulai dari masa Dinasti Qing hingga era Partai Komunis China, serta upaya pemerintah China untuk mengatasi masalah ini melalui program reedukasi yang sering disalahpahami sebagai kamp konsentrasi. Fauzan juga menekankan bahwa konflik di Xinjiang tidak hanya soal agama, tetapi juga etnisitas dan identitas budaya.
Pemerintah China menggunakan strategi migrasi etnis Han ke wilayah tersebut untuk memperkuat kendalinya, yang menimbulkan ketegangan dengan etnis Uighur. Ia mengingatkan bahwa isu Uighur sering digunakan sebagai alat propaganda dalam rivalitas antara Amerika Serikat dan China, media Barat cenderung memanfaatkan isu ini untuk mendiskreditkan China.
Imron Rosyadi menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menilai pemberitaan mengenai Uighur. “Media Barat sering melaporkan bahwa Uighur mengalami penindasan, namun fakta-fakta tersebut sulit dibuktikan,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan justru beberapa tokoh yang mengklaim memperjuangkan HAM Uighur seperti Dolkun Isa dan Nury Turkel terlibat dalam pelanggaran HAM. “Dolkun Isa, Ketua World Uyghur Congress (WUC) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Uyghur,” tuturnya.
Dia membeberkan, Nury Turkel, Ketua Uyghur Human Rights Project juga dituduh melakukan hal serupa dan akhirnya mundur dari jabatannya. Dia berharap, masyarakat Indonesia semakin cermat menyaring informasi agar tidak mudah dimanipulasi.
(rca)