Memerdekakan Petani Sawit
loading...
A
A
A
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies
75 tahun merdeka, Indonesia masih mencari format yang tepat untuk menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan. Pemerintah melalui Kemenko Perekonomian mengklaim sedang menyiapkan informasi dan dokumen setiap kawasan hutan yang sudah ditanami sawit. Hanya saja, pemerintah perlu memperhatikan kemampuan instrumen penyelesaian masalah sawit dalam kawasan hutan, khususnya pada implementasi dan jangkauan kebijakannya.
Mimpi pemerintah terhadap sawit adalah membuatnya menjadi perkebunan sawit yang berkelanjutan. Hal ini diketahui melalui landasan filosofis Perpres 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Akan tetapi, masalah fundamental dari mimpi pemerintah tersebut adalah tentang legalitas lahan sawit.
Kelemahan Instrumen
Untuk menyelesaikan sengakarut legalitas lahan, pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen regulasi dan kebijakan. Semua regulasi dikelompokkan berdasarkan sifat dan karakter penyelesaiannya: koersif, afirmatif, dan moderat. Sayangnya, semua karakter itu memiliki kelemahan yang kontra-produktif dengan upaya penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
Misalnya, karakter koersif ditunjukkan oleh UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Karakter afirmatif disandang oleh Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Sedangkan untuk karakter moderat dimiliki oleh Permen LHK P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
Karakter koersif yang melekat di UU 18/2013 karena undang-undang tersebut seolah mengenyampingkan aspek historis-kultural sawit. Regulasi ini memandang pilihan rakyat untuk menanam sawit adalah bentuk eksplorasi hutan. Padahal, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Rakyat menanam sawit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sifat penyelesaian struktural UU 18/2013 tidak dapat menyentuh akar permasalahan masuknya lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan. Apabila instrumen ini diterapkan, justru akan melahirkan marginalisasi terhadap tata kelola lahan sawit rakyat.
Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Perpres 88/2017. Karakter instrumen hukum ini lebih soft ketimbang UU 18/2013. Perpres ini berupaya mengakomodasi kebutuhan rakyat yang menawarkan pola penyelesaian pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, perhutanan sosial, dan resetlement.
Hanya saja, pola penyelesaian yang ditawarkan Perpres 88/2017 adalah pola berbiaya mahal. Sebab, untuk tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan, pelaku usaha harus menempuh jalan penyelesaian secara mandiri dan menempuh jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Selain itu, pola penyelesaian ini tidak bisa diakses oleh petani sawit rakyat karena lahan sawit tidak masuk dalam definisi 'lahan garapan'.
Direktur HICON Law & Policy Strategies
75 tahun merdeka, Indonesia masih mencari format yang tepat untuk menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan. Pemerintah melalui Kemenko Perekonomian mengklaim sedang menyiapkan informasi dan dokumen setiap kawasan hutan yang sudah ditanami sawit. Hanya saja, pemerintah perlu memperhatikan kemampuan instrumen penyelesaian masalah sawit dalam kawasan hutan, khususnya pada implementasi dan jangkauan kebijakannya.
Mimpi pemerintah terhadap sawit adalah membuatnya menjadi perkebunan sawit yang berkelanjutan. Hal ini diketahui melalui landasan filosofis Perpres 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Akan tetapi, masalah fundamental dari mimpi pemerintah tersebut adalah tentang legalitas lahan sawit.
Kelemahan Instrumen
Untuk menyelesaikan sengakarut legalitas lahan, pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen regulasi dan kebijakan. Semua regulasi dikelompokkan berdasarkan sifat dan karakter penyelesaiannya: koersif, afirmatif, dan moderat. Sayangnya, semua karakter itu memiliki kelemahan yang kontra-produktif dengan upaya penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
Misalnya, karakter koersif ditunjukkan oleh UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Karakter afirmatif disandang oleh Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Sedangkan untuk karakter moderat dimiliki oleh Permen LHK P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.
Karakter koersif yang melekat di UU 18/2013 karena undang-undang tersebut seolah mengenyampingkan aspek historis-kultural sawit. Regulasi ini memandang pilihan rakyat untuk menanam sawit adalah bentuk eksplorasi hutan. Padahal, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Rakyat menanam sawit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sifat penyelesaian struktural UU 18/2013 tidak dapat menyentuh akar permasalahan masuknya lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan. Apabila instrumen ini diterapkan, justru akan melahirkan marginalisasi terhadap tata kelola lahan sawit rakyat.
Selanjutnya, pemerintah juga menerbitkan Perpres 88/2017. Karakter instrumen hukum ini lebih soft ketimbang UU 18/2013. Perpres ini berupaya mengakomodasi kebutuhan rakyat yang menawarkan pola penyelesaian pelepasan kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, perhutanan sosial, dan resetlement.
Hanya saja, pola penyelesaian yang ditawarkan Perpres 88/2017 adalah pola berbiaya mahal. Sebab, untuk tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan, pelaku usaha harus menempuh jalan penyelesaian secara mandiri dan menempuh jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Selain itu, pola penyelesaian ini tidak bisa diakses oleh petani sawit rakyat karena lahan sawit tidak masuk dalam definisi 'lahan garapan'.