Integrasi Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum di Indonesia: Suatu Kajian Filsafat Hukum
loading...
A
A
A
Keadilan sosial merupakan hal yang terpenting guna mencapai suatu masyarakat yang berkemakmuran dan berkeadilan. Keadilan sosial dalam semesta pemikiran Soekarno adalah kritik paling besar terhadap kapitalisme. Pemikiran Soekarno akan kemandirian bangsa teraktuliasasi dalam nilai keadilan ini atau yang dikatakan Soekarno sebagai sosio-demokrasi yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yang kedua kakinya berdiri dalam masyarakat. Pertanyaannya, apakah Keadilan Sosial sesuai Sila ke-5 Pancasila sudah terwujud?.
Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Ideologi Pancasila mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha.
Sedangkan dalam sistem sosialisme-komunis, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara. Dengan demikian, Pancasila hadir sebagai sintesis antara negara kapitalisme-liberal dan sosialisme-komunis. Dalam hal ini Soekarno mengemukakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua", “satu buat semua, semua buat satu”.
Dalam implementasi saat ini masih ada kesenjangan yang sangat lebar, jurang antara si kaya dan si miskin masih menganga karena berbagai faktor yang ada. Sebagai contoh:
1. Walaupun di dalam pembukaan UUD, frasa keadilan disebut berulang kali, akan tetapi Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menimbulkan perdebatan karena mengedepankan efisiensi dan menomor duakan keadilan.
2. Sementara itu, berbagai UU seperti UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Perkebunan dan UU Kehutanan masih mendapat kritik secara luas karena sebagian masyarakat menganggap UU tersebut lebih memihak kepada modal asing dan kurang berpihak kepada masyarakat. Sehingga hal ini juga dituding sebagai salah satu penyebab melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.
3. Sebagai sekadar contoh kondisi sosial di Bali tentang nasib Pecalang misalnya, di mana mereka ditugaskan oleh desa adat menjaga hutan tanpa bayaran sama sekali, akan tetapi baik Pecalang maupun masyarakat sekitar hutan menghadapi berbagai kesulitan jika mereka hendak memanfaatkan hutan adat tersebut untuk menanam bawang atau cabe misalnya, yang notabene tidak merugikan kelestarian dan efisiensi pemeliharaan hutan. Sehingga keadilan belum dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan dikarenakan mereka hanya dibebani kewajiban, tetapi tidak diberikan hak apa pun juga. Artikel ini disampaikan saat Kuliah Umum di Universitas Brawijaya Malang, pada Minggu, 30 Juni 2024.
Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Ideologi Pancasila mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha.
Sedangkan dalam sistem sosialisme-komunis, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara. Dengan demikian, Pancasila hadir sebagai sintesis antara negara kapitalisme-liberal dan sosialisme-komunis. Dalam hal ini Soekarno mengemukakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua", “satu buat semua, semua buat satu”.
Dalam implementasi saat ini masih ada kesenjangan yang sangat lebar, jurang antara si kaya dan si miskin masih menganga karena berbagai faktor yang ada. Sebagai contoh:
1. Walaupun di dalam pembukaan UUD, frasa keadilan disebut berulang kali, akan tetapi Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menimbulkan perdebatan karena mengedepankan efisiensi dan menomor duakan keadilan.
2. Sementara itu, berbagai UU seperti UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Perkebunan dan UU Kehutanan masih mendapat kritik secara luas karena sebagian masyarakat menganggap UU tersebut lebih memihak kepada modal asing dan kurang berpihak kepada masyarakat. Sehingga hal ini juga dituding sebagai salah satu penyebab melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.
3. Sebagai sekadar contoh kondisi sosial di Bali tentang nasib Pecalang misalnya, di mana mereka ditugaskan oleh desa adat menjaga hutan tanpa bayaran sama sekali, akan tetapi baik Pecalang maupun masyarakat sekitar hutan menghadapi berbagai kesulitan jika mereka hendak memanfaatkan hutan adat tersebut untuk menanam bawang atau cabe misalnya, yang notabene tidak merugikan kelestarian dan efisiensi pemeliharaan hutan. Sehingga keadilan belum dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan dikarenakan mereka hanya dibebani kewajiban, tetapi tidak diberikan hak apa pun juga. Artikel ini disampaikan saat Kuliah Umum di Universitas Brawijaya Malang, pada Minggu, 30 Juni 2024.
(cip)