Pemilu Serentak dan Nasib Multipartai

Selasa, 14 Mei 2019 - 07:40 WIB
Pemilu Serentak dan Nasib Multipartai
Pemilu Serentak dan Nasib Multipartai
A A A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI

PEMILU serentak saat ini dianggap tidak ramah kepada partai-partai menengah dan kecil. Partai-partai itu merasa tertekan karena pemilu ini telah memaksa mereka berada pada sebuah titik yang demikian memberatkan untuk dapat eksis dan bertahan dalam kontestasi elektoral. Tidak mengherankan opini beberapa politisi mengisyaratkan bahwa pemilu serentak harus dikaji ulang, digantikan dengan sistem lama (tidak serentak). Opini semacam ini sebenarnya sudah disuarakan, bahkan tak lama ketika sistem ini diberlakukan.

Terkait dengan keberatan partai-partai itu, persoalan pokok sebenarnya tidak saja terkait dengan keserentakan itu sendiri, namun hal-hal lain yang melingkupinya. Sebelum membahas hal-hal lainnya itu, keserentakan (pilpres dan pileg secara simultan) memang membawa persoalan bagi banyak partai. Hal ini terutama pada partai-partai yang telah mengikatkan diri untuk mendukung seorang kandidat presiden.

Konsentrasi mereka menjadi terpecah antara memenangkan kandidat presiden yang dibelanya dan memenangkan kandidat-kandidatnya dalam pemilu legislatif (pileg). Dengan kondisi ini, segalanya menjadi tidak maksimal dan serba terburu-buru. Keterpecahan konsentrasi ini menyebabkan partai pada umumnya dan calon anggota legislatif (caleg) yang ada tidak benar-benar dikenal oleh masyarakat. Apalagi dengan intensitas pemberitaan pemilihan presiden (pilpres) yang lebih masif, menguasai jagat pemberitaan di berbagai lini.

Pengenalan masyarakat akhirnya banyak bergantung pada kekuatan “promosi individual” caleg, namun secara umum berlangsung lebih baik di partai-partai yang memiliki basis finansial dan jaringan akar rumput yang kuat. Untuk partai-partai menengah atau kecil dengan kekuatan finansial terbatas dan jaringan yang tidak sekuat partai besar, persoalan keterasingan itu akan amat terasakan. Di sinilah “saringan” pertama bagi partai-partai menengah dan kecil terjadi.

Selain itu, keharusan partai-partai memenuhi ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% mulai membuat kekhawatiran tersendiri. Sekali lagi, yang akan menjadi korban adalah partai-partai menengah dan terutama kecil. Dari beberapa survei termasuk yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2018 dengan diberlakukan ketentuan tersebut, hampir separuh lebih dari peserta pemilu berpotensi tereliminasi dengan ketentuan ini.

Situasi ini diperburuk dengan diterapkannya metode penghitungan suara Sainte Lage yang bernuansakan divisor dalam pemilu kali ini. Mekanisme ini secara konsep maupun praktis jelas lebih menguntungkan partai-partai besar. Sementara mekanisme Kuota Hare yang selama ini banyak memberikan kesempatan partai menengah dan kecil untuk tetap eksis di parlemen, tidak lagi digunakan.

Di sisi lain, dengan diterapkannya presidential threshold/PT (20% total Kursi DPR/25% total suara Pileg 2014), telah menutup peluang munculnya kandidat alternatif. Banyak partai terutama yang tidak memiliki kandidat presiden ataupun wakil presiden mulai merasakan tidak mudahnya “menjual partai” tanpa figur kandidat presiden. Beberapa partai merasa lebih percaya diri jika partainya memiliki kandidat presiden atau setidaknya figur yang benar-benar mewakili jati diri partainya. Peluang coattail effect tampak mulai diterima oleh kebanyakan partai.

Kualitas Multipartai
Dengan kondisi seperti ini, memang potensi terjadinya reduksi jumlah partai cukup besar. Namun, hal itu tidak berarti sistem multipartai benar-benar selesai. Tren survei belakangan ini masih menunjukkan partai-partai menengah tetap memiliki kesempatan untuk eksis bahkan membuat kejutan. Tren perhitungan suara baik quick count ataupun real count menunjukkan setidaknya sembilan partai akan tetap dapat bertahan. Ini tentu saja akan menjadi tantangan bagi partai-partai untuk terus menggenjot performanya dalam hitungan hari ini dan ke depannya untuk semakin memperbaiki diri.

Namun demikian, di sisi lain, situasi ini akan meminimalkan alternatif pilihan politik bagi masyarakat, baik dalam konteks ketersediaan kandidat caleg atau capres alternatif ataupun dalam hal keberagaman ide dan program. Selain itu, peluang terjadinya kartel politik pun akan semakin terbuka, mengingat pola komunikasi akan mudah terbangun dengan jumlah partai yang sedikit; di samping karakteristik partai-partai yang pada umumnya pragmatis.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa multipartai sederhana akan lebih bermakna manakala ada peluang yang sama bagi partai-partai untuk dapat menampilkan kandidatnya berkontestasi dalam pilpres. Hal ini akan lebih menyemangati partai untuk mencetak kader-kader bermutu dan bertarung lebih bersungguh-sungguh dan menunjukkan performa terbaiknya. Sehubungan dengan itu maka PT, sekali lagi, harus dihapus.

Apalagi, PT sudah jelas-jelas melawan hakikat keserentakan itu sendiri dan upaya untuk mengurangi kebergantungan presiden pada “politik dagang sapi” di awal kandidasinya. Dengan kata lain, peluang seorang tokoh, yang tidak tersandera dengan sejarah maupun jebakan koalisi, untuk dapat berkontestasi semakin besar manakala PT dihilangkan.

Keterbelahan Masyarakat
Selain membuka peluang hadirnya darah segar kandidat yang selama ini terpinggirkan oleh sistem, pelaksanaan pemilu tanpa PT memberikan peluang mencarinya ketegangan yang berlebih akibat pengubuan dikotomis. Dengan semakin banyak kandidat maka potensi keterbelahan masyarakat kita yang dirasakan selama beberapa tahun belakangan ini dapat terkurangi.

Adanya tiga atau lima kandidat seperti yang terjadi pada pilpres 2009 dan 2004, terbukti tidak mengarahkan masyarakat menjadi demikian terbelah menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan. Ada pilihan-pilihan alternatif yang dapat dijadikan harapan. Golput bisa jadi akan berpotensi berkurang karena adanya harapan lain dari sekadar dua pilihan.

Dalam upaya untuk menghindari munculnya dua kandidat, pelaksanaan pilpres tahap dua (second round) harus ditiadakan. Jika ini tetap diterapkan, pada akhirnya tetap pilpres akan tetap memunculkan dua kandidat yang berhadapan. Selain itu, terbuka peluang terjadinya transaksi politik pragmatis di antara partai-partai menjelang diselenggarakannya tahap kedua.

Selain hal-hal itu, kematangan partai juga harus ditingkatkan. Pelaksanaan pemilihan serentak yang telah disepakati bersama ini dapat saja dilaksanakan dengan baik manakala partai-partai dapat eksis di tengah masyarakat. Partai tidak perlu merasa kehabisan waktu dan menjadi berat seandainya sejak dini mereka telah mampu menjaga “ritme kedekatan” dengan konstituen.

Tidak itu saja partai harus mulai mempersiapkan kandidatnya secara serius sejak jauh-jauh hari agar akseptabilitasnya tinggi, sehingga dapat masuk bursa kandidat yang diperhitungkan. Hal yang kerap terjadi adalah sebagian partai tidak cukup berani dan bersungguh-sungguh mencanangkan kandidatnya sehingga menjelang hari H tidak cukup dikenal, menjual, dan apalagi diperhitungkan. Jika ini kembali terjadi, bukan tidak mungkin munculnya hanya dua kandidat akan terulang lagi.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5654 seconds (0.1#10.140)