Murur, Ikhtiar Menjaga Keselamatan Jemaah di Masa Puncak Haji
loading...
A
A
A
Didapat angka 55 ribu jemaah, sekitar 25 persen dari total jemaah. Selain pertimbangan operasional, diperlukan pula pertimbangan fiqih karena ada implikasi hukum haji.
Umum diketahui, dalam buku panduan manasik haji Kemenag, mabit di Muzdalifah dikatakan sebagai wajib haji. Jika ditinggalkan, maka ada kewajiban membayar dam.
Hal ini kemudian dikonsultasikan ke ormas keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa ormas lainnya. Bahkan Kemenag mengadakan acara Ijtima Ulama untuk membahas perkara ini.
Secara fiqih ada berbagai pendapat. PBNU memperbolehkan jika murur lewat tengah malam. Sembari menyampaikan ada yang berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah adalah sunnah.
Sejalan, Muhammadiyah, Persis, dan Al Washliyah memperbolehkan murur setelah terbenamnya matahari. Sedangkan MUI memperbolehkan murur jika berhenti sejenak di Muzdalifah, tanpa perlu turun dari bus.
Dengan pertimbangan peruntukan bagi jemaah yang udzur syar’i, menjaga keselamatan jemaah di Muzdalifah, serta pertimbangan kebolehan dari beberapa fatwa, Kemenag yakin dengan pelaksanaan murur.
Awalnya ada 3 opsi murur. Pertama, berangkat pada trip awal langsung ke Mina. Hanya ada satu pergerakan hingga murur selesai. Baru dilanjutkan dengan pergerakan non murur.
Sekalipun mengurangi kebingungan di lapangan, namun berpotensi keterlambatan transportasi non murur. Kedua, murur diberangkatkan menjelang tengah malam agar melewati tengah malam di Muzdalifah.
Risikonya, terjadi pertemuan arus di Mina antara arus Muzdalifah-Mina dan Arafah-Mina, yang akan menghambat pergerakan seluruh jemaah.
Ketiga, murur dan non murur diberangkatkan secara bersamaan dengan menggunakan jalur yang berbeda. Diperkirakan sebelum trip keempat, murur sudah selesai. Sehingga tidak ada pertemuan arus di Mina. Diputuskan opsi ketiga yang memiliki risiko operasional terendah.
Umum diketahui, dalam buku panduan manasik haji Kemenag, mabit di Muzdalifah dikatakan sebagai wajib haji. Jika ditinggalkan, maka ada kewajiban membayar dam.
Hal ini kemudian dikonsultasikan ke ormas keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa ormas lainnya. Bahkan Kemenag mengadakan acara Ijtima Ulama untuk membahas perkara ini.
Secara fiqih ada berbagai pendapat. PBNU memperbolehkan jika murur lewat tengah malam. Sembari menyampaikan ada yang berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah adalah sunnah.
Sejalan, Muhammadiyah, Persis, dan Al Washliyah memperbolehkan murur setelah terbenamnya matahari. Sedangkan MUI memperbolehkan murur jika berhenti sejenak di Muzdalifah, tanpa perlu turun dari bus.
Dengan pertimbangan peruntukan bagi jemaah yang udzur syar’i, menjaga keselamatan jemaah di Muzdalifah, serta pertimbangan kebolehan dari beberapa fatwa, Kemenag yakin dengan pelaksanaan murur.
Awalnya ada 3 opsi murur. Pertama, berangkat pada trip awal langsung ke Mina. Hanya ada satu pergerakan hingga murur selesai. Baru dilanjutkan dengan pergerakan non murur.
Sekalipun mengurangi kebingungan di lapangan, namun berpotensi keterlambatan transportasi non murur. Kedua, murur diberangkatkan menjelang tengah malam agar melewati tengah malam di Muzdalifah.
Risikonya, terjadi pertemuan arus di Mina antara arus Muzdalifah-Mina dan Arafah-Mina, yang akan menghambat pergerakan seluruh jemaah.
Ketiga, murur dan non murur diberangkatkan secara bersamaan dengan menggunakan jalur yang berbeda. Diperkirakan sebelum trip keempat, murur sudah selesai. Sehingga tidak ada pertemuan arus di Mina. Diputuskan opsi ketiga yang memiliki risiko operasional terendah.