Murur, Ikhtiar Menjaga Keselamatan Jemaah di Masa Puncak Haji
loading...
A
A
A
Moh. Hasan Afandi
Kasubdit Siskohat Kementerian Agama
SEBELUM tahun 2024, sebagian jemaah haji Indonesia menempati Maktab 1-9. Lokasi maktab ini dikenal sebagai Mina Jadid (Mina Baru). Dinamakan demikian karena secara wilayah, daerah tersebut adalah wilayah Muzdalifah yang berbatasan langsung dengan Mina.
Padatnya wilayah Mina, membuat wilayah ini menjadi wilayah tambahan/limpahan karena Mina sudah tidak lagi dapat menampung jemaah saat melaksanakan ibadah haji.
Setelah Wukuf di Arafah, jemaah bergerak ke Muzdalifah, termasuk jemaah yang menempati Maktab 1-9. Saat jemaah lain diturunkan di area Muzdalifah yang dibatasi dengan pagar, jemaah Maktab 1-9 diturunkan di tenda maktabnya, wilayah Mina Jadid.
Jemaah non maktab 1-9 mengumpulkan kerikil dan melakukan mabit di area Muzdalifah. Menjelang tengah malam mereka diantarkan dengan bus ke masing-masing tenda maktabnya di Mina.
Sudah lama jadi pembahasan fiqih, tentang status mabit jemaah di Mina Jadid. Saat 9 Dzulhijjah malam menjadi tempat mabit Muzdalifah, tapi esoknya menjadi tempat mabit Mina.
Berulang kali diusulkan agar jemaah Indonesia tidak lagi ditempatkan di Mina Jadid, namun tak kunjung tercapai. Alasannya, terbatasnya ruang di Mina.
Kalaupun dipindahkan, berarti kepadatan di Mina akan menjadi-jadi. Keinginan ini tercapai di tahun 2024. Mina Jadid tidak lagi dipergunakan untuk jemaah Indonesia.
Jemaah haji Indonesia dipindahkan ke area sekitar Maktab 73. Dengan cara ini diskusi fiqih tentang polemik Mina Jadid sebagai tempat mabit di Mina menjadi tidak perlu lagi.
Namun muncul persoalan lain. Total jemaah yang biasanya menempati Maktab 1-9 berjumlah sekitar 27.000 jemaah. Karena tidak lagi menempati wilayah Mina Jadid, berarti mereka seharusnya turun di lapangan Muzdalifah.
Akan ada tambahan jemaah sebanyak 27.000 di lapangan tersebut. Menambah kepadatan di Muzdalifah. Dan semakin bertambah dengan adanya kuota tambahan 10.000 jemaah pada tahun 2024.
Kepadatan Muzdalifah semakin bertambah dengan berkurangnya ruang yang ada. Berkurang karena ada pembangunan toilet yang memakan ruang 20.000 m2.
Persoalan lainnya, banyaknya jemaah yang masuk lapangan Muzdalifah berpotensi memperlambat pergerakan jemaah dari Arafah-Muzdalifah dan Muzdalifah-Mina.
Sekitar 213 ribu jemaah turun di Muzdalifah, dan menjelang tengah malam diberangkatkan lagi ke Mina. Tahun lalu saja, ketika masih ada penempatan di Mina Jadid, Muzdalifah baru dinyatakan bersih sekitar jam 13.30 siang.
Dengan pertimbangan keamanan dan keselamatan jemaah, pada tahun 2024 diperkenalkan skema baru pergerakan jemaah. Dari semula Arafah-Muzdalifah-Mina, menjadi Arafah-Mina. Hanya melintas (murur) di Muzdalifah.
Namun, tidak semua jemaah menjadi target skema ini. Skema ini diprioritaskan bagi jemaah risti, lansia, disabilitas, dan pendampingnya. Kategori jemaah yang memiliki udzur syar’i.
Selain itu, skema ini sifatnya sukarela. Jemaah dipersilakan untuk mendaftar ke masing-masing ketua kloternya. Jumlah optimalnya kemudian dihitung agar kepadatannya tidak berbeda dengan tahun sebelumnya.
Setidaknya 27 ribu jemaah (sejumlah jemaah Maktab 1-9), sepuluh ribu jemaah (sejumlah kuota tambahan), dan 18 ribu jemaah untuk kompensasi berkurangnya ruang karena pembangunan toilet.
Didapat angka 55 ribu jemaah, sekitar 25 persen dari total jemaah. Selain pertimbangan operasional, diperlukan pula pertimbangan fiqih karena ada implikasi hukum haji.
Umum diketahui, dalam buku panduan manasik haji Kemenag, mabit di Muzdalifah dikatakan sebagai wajib haji. Jika ditinggalkan, maka ada kewajiban membayar dam.
Hal ini kemudian dikonsultasikan ke ormas keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa ormas lainnya. Bahkan Kemenag mengadakan acara Ijtima Ulama untuk membahas perkara ini.
Secara fiqih ada berbagai pendapat. PBNU memperbolehkan jika murur lewat tengah malam. Sembari menyampaikan ada yang berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah adalah sunnah.
Sejalan, Muhammadiyah, Persis, dan Al Washliyah memperbolehkan murur setelah terbenamnya matahari. Sedangkan MUI memperbolehkan murur jika berhenti sejenak di Muzdalifah, tanpa perlu turun dari bus.
Dengan pertimbangan peruntukan bagi jemaah yang udzur syar’i, menjaga keselamatan jemaah di Muzdalifah, serta pertimbangan kebolehan dari beberapa fatwa, Kemenag yakin dengan pelaksanaan murur.
Awalnya ada 3 opsi murur. Pertama, berangkat pada trip awal langsung ke Mina. Hanya ada satu pergerakan hingga murur selesai. Baru dilanjutkan dengan pergerakan non murur.
Sekalipun mengurangi kebingungan di lapangan, namun berpotensi keterlambatan transportasi non murur. Kedua, murur diberangkatkan menjelang tengah malam agar melewati tengah malam di Muzdalifah.
Risikonya, terjadi pertemuan arus di Mina antara arus Muzdalifah-Mina dan Arafah-Mina, yang akan menghambat pergerakan seluruh jemaah.
Ketiga, murur dan non murur diberangkatkan secara bersamaan dengan menggunakan jalur yang berbeda. Diperkirakan sebelum trip keempat, murur sudah selesai. Sehingga tidak ada pertemuan arus di Mina. Diputuskan opsi ketiga yang memiliki risiko operasional terendah.
Dari sisi operasional diperlukan koordinasi yang kuat antara PPIH, Kementerian Haji, Masyariq, maktab, dan sektor. Dijumpai laporan tidak tersampaikannya pola pergerakan ini ke maktab. Padahal Masyariq dan Kementerian Haji sudah menyepakati pola pergerakan ini.
Di sisi lain, jemaah masih perlu diberikan pemahaman berulang. Bahwa murur adalah pilihan, beberapa pendapat memperbolehkan, dan diutamakan bagi yang memiliki udzur syar’i. Dengan begini, tidak ada perselisihan permasalahan fiqih.
Hasilnya, pergerakan di Muzdalifah dilakukan lebih cepat dan dinyatakan selesai mobilisasi jemaah pada jam 07.37 WAS. Lebih cepat 30 menit dari target.
Dan jauh lebih cepat dari mobilisasi tahun lalu yang selesai pada 13.30 WAS. Pola pergerakan ini akan menjadi sejarah baru dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Dan pertama kalinya tidak ada lagi penempatan jemaah Indonesia di Mina Jadid.
Tahun-tahun mendatang, pola ini diharapkan akan lebih matang persiapannya, yakni penjelasan lengkap saat manasik haji, pelatihan petugas, dan koordinasi dengan pihak Arab Saudi.
Kasubdit Siskohat Kementerian Agama
SEBELUM tahun 2024, sebagian jemaah haji Indonesia menempati Maktab 1-9. Lokasi maktab ini dikenal sebagai Mina Jadid (Mina Baru). Dinamakan demikian karena secara wilayah, daerah tersebut adalah wilayah Muzdalifah yang berbatasan langsung dengan Mina.
Padatnya wilayah Mina, membuat wilayah ini menjadi wilayah tambahan/limpahan karena Mina sudah tidak lagi dapat menampung jemaah saat melaksanakan ibadah haji.
Setelah Wukuf di Arafah, jemaah bergerak ke Muzdalifah, termasuk jemaah yang menempati Maktab 1-9. Saat jemaah lain diturunkan di area Muzdalifah yang dibatasi dengan pagar, jemaah Maktab 1-9 diturunkan di tenda maktabnya, wilayah Mina Jadid.
Jemaah non maktab 1-9 mengumpulkan kerikil dan melakukan mabit di area Muzdalifah. Menjelang tengah malam mereka diantarkan dengan bus ke masing-masing tenda maktabnya di Mina.
Sudah lama jadi pembahasan fiqih, tentang status mabit jemaah di Mina Jadid. Saat 9 Dzulhijjah malam menjadi tempat mabit Muzdalifah, tapi esoknya menjadi tempat mabit Mina.
Berulang kali diusulkan agar jemaah Indonesia tidak lagi ditempatkan di Mina Jadid, namun tak kunjung tercapai. Alasannya, terbatasnya ruang di Mina.
Kalaupun dipindahkan, berarti kepadatan di Mina akan menjadi-jadi. Keinginan ini tercapai di tahun 2024. Mina Jadid tidak lagi dipergunakan untuk jemaah Indonesia.
Jemaah haji Indonesia dipindahkan ke area sekitar Maktab 73. Dengan cara ini diskusi fiqih tentang polemik Mina Jadid sebagai tempat mabit di Mina menjadi tidak perlu lagi.
Namun muncul persoalan lain. Total jemaah yang biasanya menempati Maktab 1-9 berjumlah sekitar 27.000 jemaah. Karena tidak lagi menempati wilayah Mina Jadid, berarti mereka seharusnya turun di lapangan Muzdalifah.
Akan ada tambahan jemaah sebanyak 27.000 di lapangan tersebut. Menambah kepadatan di Muzdalifah. Dan semakin bertambah dengan adanya kuota tambahan 10.000 jemaah pada tahun 2024.
Kepadatan Muzdalifah semakin bertambah dengan berkurangnya ruang yang ada. Berkurang karena ada pembangunan toilet yang memakan ruang 20.000 m2.
Persoalan lainnya, banyaknya jemaah yang masuk lapangan Muzdalifah berpotensi memperlambat pergerakan jemaah dari Arafah-Muzdalifah dan Muzdalifah-Mina.
Sekitar 213 ribu jemaah turun di Muzdalifah, dan menjelang tengah malam diberangkatkan lagi ke Mina. Tahun lalu saja, ketika masih ada penempatan di Mina Jadid, Muzdalifah baru dinyatakan bersih sekitar jam 13.30 siang.
Dengan pertimbangan keamanan dan keselamatan jemaah, pada tahun 2024 diperkenalkan skema baru pergerakan jemaah. Dari semula Arafah-Muzdalifah-Mina, menjadi Arafah-Mina. Hanya melintas (murur) di Muzdalifah.
Namun, tidak semua jemaah menjadi target skema ini. Skema ini diprioritaskan bagi jemaah risti, lansia, disabilitas, dan pendampingnya. Kategori jemaah yang memiliki udzur syar’i.
Selain itu, skema ini sifatnya sukarela. Jemaah dipersilakan untuk mendaftar ke masing-masing ketua kloternya. Jumlah optimalnya kemudian dihitung agar kepadatannya tidak berbeda dengan tahun sebelumnya.
Setidaknya 27 ribu jemaah (sejumlah jemaah Maktab 1-9), sepuluh ribu jemaah (sejumlah kuota tambahan), dan 18 ribu jemaah untuk kompensasi berkurangnya ruang karena pembangunan toilet.
Didapat angka 55 ribu jemaah, sekitar 25 persen dari total jemaah. Selain pertimbangan operasional, diperlukan pula pertimbangan fiqih karena ada implikasi hukum haji.
Umum diketahui, dalam buku panduan manasik haji Kemenag, mabit di Muzdalifah dikatakan sebagai wajib haji. Jika ditinggalkan, maka ada kewajiban membayar dam.
Hal ini kemudian dikonsultasikan ke ormas keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, dan beberapa ormas lainnya. Bahkan Kemenag mengadakan acara Ijtima Ulama untuk membahas perkara ini.
Secara fiqih ada berbagai pendapat. PBNU memperbolehkan jika murur lewat tengah malam. Sembari menyampaikan ada yang berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah adalah sunnah.
Sejalan, Muhammadiyah, Persis, dan Al Washliyah memperbolehkan murur setelah terbenamnya matahari. Sedangkan MUI memperbolehkan murur jika berhenti sejenak di Muzdalifah, tanpa perlu turun dari bus.
Dengan pertimbangan peruntukan bagi jemaah yang udzur syar’i, menjaga keselamatan jemaah di Muzdalifah, serta pertimbangan kebolehan dari beberapa fatwa, Kemenag yakin dengan pelaksanaan murur.
Awalnya ada 3 opsi murur. Pertama, berangkat pada trip awal langsung ke Mina. Hanya ada satu pergerakan hingga murur selesai. Baru dilanjutkan dengan pergerakan non murur.
Sekalipun mengurangi kebingungan di lapangan, namun berpotensi keterlambatan transportasi non murur. Kedua, murur diberangkatkan menjelang tengah malam agar melewati tengah malam di Muzdalifah.
Risikonya, terjadi pertemuan arus di Mina antara arus Muzdalifah-Mina dan Arafah-Mina, yang akan menghambat pergerakan seluruh jemaah.
Ketiga, murur dan non murur diberangkatkan secara bersamaan dengan menggunakan jalur yang berbeda. Diperkirakan sebelum trip keempat, murur sudah selesai. Sehingga tidak ada pertemuan arus di Mina. Diputuskan opsi ketiga yang memiliki risiko operasional terendah.
Dari sisi operasional diperlukan koordinasi yang kuat antara PPIH, Kementerian Haji, Masyariq, maktab, dan sektor. Dijumpai laporan tidak tersampaikannya pola pergerakan ini ke maktab. Padahal Masyariq dan Kementerian Haji sudah menyepakati pola pergerakan ini.
Di sisi lain, jemaah masih perlu diberikan pemahaman berulang. Bahwa murur adalah pilihan, beberapa pendapat memperbolehkan, dan diutamakan bagi yang memiliki udzur syar’i. Dengan begini, tidak ada perselisihan permasalahan fiqih.
Hasilnya, pergerakan di Muzdalifah dilakukan lebih cepat dan dinyatakan selesai mobilisasi jemaah pada jam 07.37 WAS. Lebih cepat 30 menit dari target.
Dan jauh lebih cepat dari mobilisasi tahun lalu yang selesai pada 13.30 WAS. Pola pergerakan ini akan menjadi sejarah baru dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Dan pertama kalinya tidak ada lagi penempatan jemaah Indonesia di Mina Jadid.
Tahun-tahun mendatang, pola ini diharapkan akan lebih matang persiapannya, yakni penjelasan lengkap saat manasik haji, pelatihan petugas, dan koordinasi dengan pihak Arab Saudi.
(shf)