Memberangus Kemerdekaan Pers?

Minggu, 09 Juni 2024 - 18:02 WIB
loading...
Memberangus Kemerdekaan Pers?
Jamalul Insan, Anggota Dewan Pers 2019-2022. Foto/Dok
A A A
Jamalul Insan
Anggota Dewan Pers 2019-2022

SETIDAKNYA ada dua hal yang cukup menyita perhatian masyarakat pers Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, kasus gugatan perdata yang dilayangkan mantan staf khusus Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman terhadap dan dua media siber dan dua jurnalisnya, Inikita.co.id dan herald.id.

Gugatan ini tidak tanggung-tanggung sebesar 700 miliar rupiah, sehingga muncul penilaian bahwa langkah hukum ini sebagai upaya memiskinkan jurnalis dan membangkrutkan media. Namun, Selasa (21 Mei 2024) lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas I Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard), dengan pertimbangan hakim dalam pokok perkara bahwa gugatan Penggugat tidak jelas dan bersifat kabur (Obscuur libel). Para Penggugat sebagai pihak yang kalah juga dihukum membayar biaya perkara sebagaimana disebutkan dalam amar putusan, sebesar Rp362 ribu.

Gugatan perdata dilayangkan terkait pemberitaan yang dinilai menyudutkan para penggugat, yakni berita ‘ASN yang dinon-jobkan di era kepemimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman diduga ada campur tangan Stafsus’ yang terbit 19 September 2023. Sebelumnya para penggugat telah mengadukan kedua media ke Dewan Pers.

Hasil kajian Dewan Pers menilai kedua media melanggar Kode Etik Jurnalistik yakni Pasal 1 dan 3 yakni berita yang ditulis tidak akurat dan tidak berimbang. Sanksinya adalah kedua media tersebut wajib memuat Hak Jawab dari Pengadu, yang disertai permintaan maaf kepada pengadu dan masyarakat pembaca. Hal ini sesuai Pasal 15 Ayat (2d) UU Pers Nomor 40 tahun 1999 bahwa Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud Ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Sayangnya, meski telah diberikan hak jawab dan permintaaan maaf, ternyata penggugat bersikukuh meneruskan keberatannya dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

Sengketa Pers


Keputusan Majelis Hakim yang tidak dapat menerima gugatan para penggugat ini, dapat dijadikan yurisprudensi dalam setiap proses penanganan sengketa pers, dengan mengedepankan penyelesaian secara etik di Dewan Pers.

Kedua, yang menjadi perhatian masyarakat pers Indonesia belakangan ini adalah soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Sebagian isi pasalnya dinilai banyak kalangan 'membahayakan kemerdekaan pers', sehingga menimbulkan penolakan mulai dari Dewan Pers dan konstituennya, serta organisasi profesi wartawan yang menggelar aksi di berbagai daerah. Salah satu isu penting adalah soal penyelesaian sengketa pers.

Dalam naskah Badan Legislasi 27 Maret 2024 Pasal 8A poin q terkait KPI yang diberi kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran. Hal yang sama ditegaskan di Pasal 42 Ayat 2; "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Pasal ini tentu saja “bertabrakan” alias tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 15 UU Pers dengan tegas telah memberi mandat kepada Dewan Pers sebagai salah satu fungsinya yakni menyelesaikan sengketa pers. Bahkan bila lebih luas Undang-undang Pers juga memberikan mandat swaregulasi untuk pers dan diserahkan pengaturannya ke Dewan Pers.

Fungsi Dewan Pers antara lain melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.

Jurnalistik investigasi


Pasal lain yang berbahaya bagi kemerdekaan pers adalah Pasal 50 B poin 2c yakni larangan "penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Pasal ini jelas bertetangan dengan UU Pers pasal 4 yang berbunyi terhadap pers tidak dilakukan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Dari pernyataan sejumlah anggota DPR belum ada yang menjelaskan landasan berfikir dan alasan bertenggernya pasal semacam ini di RUU. Justru ada pernyataan yang menunjukkan kerancuan pemahaman soal jurnalistik investigasi dengan tayangan hiburan belaka.

"Latar belakang mengapa dalam draf revisi UU penyiaran dicantumkan larangan lembaga penyiaran untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja. Padahal setiap media penyiaran memiliki kesempatan untuk menyiarkan suatu konten.”

Jurnalistik investigatif adalah karya jurnalis yang secara khusus penggarapannya, sehingga nilai eksklusifnya pasti melekat hanya pada mereka yang terlibat. Bisa saja, liputan investigasi dilakukan oleh satu media atau melibatkan beberapa organisasi media. Laporannya melampaui siklus berita harian, karena menggali isu-isu kompleks dan mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1324 seconds (0.1#10.140)
pixels