Fintech Bukukan Kredit Macet Tinggi

Senin, 01 April 2019 - 08:45 WIB
Fintech Bukukan Kredit Macet Tinggi
Fintech Bukukan Kredit Macet Tinggi
A A A
Penyedia jasa keuangan digital atau lebih akrab di telinga dengan sebutan teknologi finansial (financial technology/fintech) tumbuh bak jamur di musim hujan. Fintech yang menawarkan berbagai kemudahan transaksi keuangan membuat industri perbankan berbenah serius. Tengok saja pertumbuhan fintech peer to peer lending (pinjaman online) melaju kencang dengan total pinjaman outsanding , baik yang sudah lunas maupun belum menembus sebesar Rp7,05 triliun per Februari lalu atau meningkat 600% lebih secara tahunan.

Perkembangan yang pesat tersebut di satu sisi menunjukkan aktivitas positif dalam bidang keuangan. Namun di sisi lain, juga menimbulkan kekhawatiran sebab di balik angka penyaluran pinjaman yang tinggi tersebut juga dibarengi peningkatan kredit macet sebesar 3,18%. Pada akhir 2018, kredit macet masih berada pada kisaran 1,8%. Rasio kredit tidak lancar berada di level 3,17%. Diperkirakan rasio kredit bermasalah sudah menembus sebesar Rp44,77 miliar. Dan berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang fintech peer to peer lending menghapus buku (write off) pinjaman macet.

Salah satu pemicu tingginya rasio kredit macet pada fintech peer to peer lending karena tingginya risiko penyaluran kredit yang melalui platform pinjaman online tersebut. Sampai saat ini Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia yang menaungi fintech peer to peer lending belum memiliki batasan wajar tingkat NPF seperti diperbankan. Tak kurang dari lima juta rekening pengguna pinjaman online.

Penyelenggara pinjaman online yang terdaftar di OJK ternyata tidak seberapa dibandingkan dengan penyelenggara pinjaman online ilegal. Keberadaan penyelenggara ilegal itu jelas merugikan khususnya penyedia layanan yang resmi atau terdaftar pada OJK dan umumnya industri keuangan dalam negeri. Pihak asosiasi tak menutup mata atas menjamurnya fintech peer to peer lending ilegal dengan berkoordinasi pada otoritas yang berwenang. Pihak asosiasi juga sudah menerbitkan kesepakatan penerapan bunga dana tata cara penagihan yang disesuaikan ketentuan berlaku.

Pihak OJK mengakui sangat kesulitan dalam memberantas fintech peer to peer lending ilegal. Meminjam istilah Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santosom, bahwa fintech peer to peer lending ilegal tak ada matinya dan bangkit terus meski aplikasi atau lamannya diblokir berkali-kali. Namun, pihak OJK tidak kehilangan solusi dengan meminta masyarakat yang merasa dirugikan penyedia jasa pinjaman online bisa melaporkan kepada Satgas Waspada Investasi (SWI).

Sebelumnya, pihak SWI telah meminta perbankan memblokir seluruh rekening yang terkait fintech peer to peer lending ilegal sebagai solusi memutus mata rantai penyedia pinjaman online tidak berizin. Sebenarnya dari awal perbankan sudah bisa menolak fintech bodong sejak awal pendaftaran rekening baru. Caranya, seperti disarankan pihak SWI bahwa pihak perbankan memeriksa lebih ketat saat pembukaan rekening baru, misalnya meminta menunjukkan surat izin terdaftar sebagai fintech peer to peer lending dari OJK. Saat ini sebanyak 78 fintech peer to peer lending yang terdaftar di OJK hingga akhir tahun lalu.

Data terbaru yang dipublikasikan SWI tercatat telah dihentikan 215 fintech dan investasi ilegal. Rinciannya 168 entitas fintech peer to peer lending ilegal dan 47 entitas investasi ilegal. Ketua SWI Tongam L Tobing menyebut, fintech ilegal tersebut sebagai tindakan kejahatan finansial online karena tidak sesuai peraturan perundang-undangan berlaku. Pihak SWI memperkirakan 803 entitas yang melakukan kegiatan pinjaman online tak terdaftar, sebanyak 404 entitas pada akhir tahun lalu dan sekitar 399 dari Januari hingga Maret 2019.

Tak bisa dimungkiri bahwa keberadaan fintech peer to peer lending telah "menolong" masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk mendapatkan pinjaman secara cepat tanpa perlu repot dengan agunan segala. Namun, di balik kemudahan tersebut fintech peer to peer lending mengenakan tingkat bunga pinjaman lebih tinggi dari perbankan.

Saking mudahnya mendapatkan pinjaman, tak sedikit masyarakat lalu tergiur yang sering kali berakhir dengan lilitan utang besar karena meminjam pada beberapa penyedia pinjaman online. Karena itu, masyarakat wajib juga diberi edukasi dengan baik untuk tidak tergiur tawaran pinjaman online terutama yang tidak terdaftar di OJK.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5291 seconds (0.1#10.140)