Generasi Muda Jangan Apatis pada Politik

Senin, 11 Maret 2019 - 09:01 WIB
Generasi Muda Jangan Apatis pada Politik
Generasi Muda Jangan Apatis pada Politik
A A A
Fajriattul Aris
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta

REFORMASI 1998 merupakan gerakan pemuda untuk menegakkan demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia. Reformasi bertujuan untuk menjamin kebebasan bersuara bagi rakyat meskipun ada yang menilai kebebasan yang ada saat ini masih sebatas jargon. Kebebasan yang diperjuangkan dengan susah payah seharusnya dapat menjadi jalan untuk ikut serta dalam memperbaiki birokrasi yang ada di Indonesia, tapi ironisnya malah buah dari reformasi itu tidak digunakan dengan baik.

Pemilu langsung termasuk salah satu hasil perjuangan dari reformasi. Dengan reformasi ada kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung agar pemimpin yang terpilih merupakan dia yang diinginkan rakyat. Namun muncul kejanggalan lantaran angka golput (golongan putih) di setiap pemilu langsung setelah reformasi semakin meningkat. Kenyataannya, angka partisipasi pemilu setelah era reformasi semakin menurun. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilpres 2014 angka golput mencapai 29,01%. Golput tertinggi pada Pileg 2009, yaitu 29,10%. Adapun pada era Orde Baru angka golput hanya 3% sampai 6% saja. Hal yang mengejutkan lagi, angka golput tersebut sebagian besar adalah dari suara kalangan muda.

Keinginan golput oleh para pemuda memang menimbulkan pertanyaan tersendiri karena pemuda yang selama ini menjadi agent of change malah menjadi apatis terhadap politik. Banyak faktor yang mendorong terjadinya golput. Misalnya tidak terdaftar atau tidak memiliki kartu undangan, memilih untuk bekerja, tidak mengenal calon pemimpinnya, atau trauma politik.

Alasan di atas seyogianya jadi bahan evaluasi bagi KPU dan pemerintah karena faktor terbesar yang menyebabkan sikap apatis itu muncul dari pemerintah yang tidak menunjukkan kemajuan dalam penyelenggaraan pemilu. Akibatnya banyak generasi muda yang memilih tak acuh terhadap politik.

Pemuda adalah sosok yang realistis dan memiliki idealisme yang tinggi. Mereka akan melihat calon pemimpin dari berbagai aspek. Jika tidak mengenal calon pemimpinnya dan tidak memiliki alasan yang kuat untuk memilih, mereka lebih memilih untuk golput.

Sikap itu muncul lantaran mereka tidak merasakan perubahan dari adanya pemilu itu sendiri. Menurut mereka pemilu justru menambah masalah seperti konflik politik yang berkepanjangan, kampanye hitam yang saling menghujat, atau isu SARA yang memecah belah. Ini yang membuat mereka semakin tak acuh terhadap dunia politik.

Pemilu pun dilihat hanya jadi arena pertarungan partai politik untuk menguasai pemerintahan sehingga calon-calon yang nantinya terpilih akan mementingkan partai politiknya. Inilah pentingnya masa kampanye untuk mengenalkan calon pemimpin dan visi misi yang realistis, bukan janji-janji palsu yang akan menimbulkan trauma politik. Dari situ persepsi positif masyarakat terhadap partai politik dapat dibangun. Diharapkan pemilu mendatang ini melahirkan pemimpin yang hebat, bukan partai yang kuat.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4799 seconds (0.1#10.140)