P2KB IDI Versus Kerancuan dalam Kerancuan
loading...
A
A
A
Program P2KB dievalusi dan dibenahi setiap saat. Minimal dua kali dalam tiga tahun (Mukernas/Rakernas dan Muktamar) program P2KB dievalusi. Setiap Mukernas/Rakernas dan Muktamar P2KB ini dibahas oleh komisi tersendiri, yaitu Komisi Pendidikan Profesi dan P2KB. Hasil dari komisi ini kemudian di bawah kemudian diputuskan di dalam sidang pleno. Keputusan tertinggi ada di dalam sidang pleno muktamar.
Memang, orang yang bukan pengurus IDI apalagi bukan anggota IDI tidak akan tahu kalau sistem P2KB IDI dievaluasi diperdebatkan setiap saat oleh ahlinya. Mereka juga tidak akan pernah tahu kalau pekerjaan pengelola P2KB itu cukup berat dan sangat teknis.
Penyelenggaraan P2KB menjadi efektif bila didukung oleh: (a) Adanya kebutuhan untuk mempelajari suatu tema/topik; (b) Cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan; (c) Kesempatan untuk menerapkannya. Banyak cara untuk menempatkan kebutuhan belajar seseorang, mulai dari ujian formal sampai ke cara yang umum dalam kehidupan sehari-hari seperti penilaian atasan atau teman sekerja, audit medik, juga perenungan (refleksi) diri. Berdasarkan kebutuhan pembelajaran tersebut seorang dokter diharapkan dapat menyusun sendiri rencana pengembangan dirinya dalam bentuk “Rencana Pengembangan Diri” (RPD).
Hal penting lain dari P2KB adalah bagaimana agar kurikulum dan modul pembelajarannya dikembangkan terus-menerus. Di lingkungan IDI hal ini merupakan tugas dari masing-masing perhimpunan dan kolegium masing-masing.
P2KB adalah salah satu wilayah otonomi profesi dokter untuk meningkatkan mutu layanan kedokteran. Karena, P2KB sering disebut kewajiban profesi atau kewajiban etik. Profesi yang tahu persis apa kebutuhan P2KB anggotanya. Profesil pula yang membuat, mengevalusi, dan mengembangkan kurikulum dan modul P2KB tersebut. Mereka tidak pernah menyontek atau memplagiat kurikulum dan modul P2KB profesi lain, apalagi milik pemerintah.
Program P2KB bukan sekadar mencukupi nilai SKP, melainkan untuk memantau apakah kelima ranahnya itu telah terpenuhi, sehingga seorang dokter dapat dinyatakan laik atau kompeten melayani masyarakat. Kompeten dalam hal: ilmu, keterampilan, dan perilaku (etik). Perilaku ini sangat penting, sehingga setiap penyelenggaraan P2KB diisyaratkan adanya penyajian etik kedokteran.
Lalu, bagaimana mengetahui bahwa dokter itu masih kompeten dan beretik? Kompeten diketahui melalui verifikasi dan validasi akhir berkas P2KB-nya oleh perhimpunan dan penerbitan Sekom sebagai garansi dari kolegium pengampu ilmu. Terkait dengan soal etik, biasanya ada pernyataan tidak bermasalah secara etik dari komite etik atau majelis kehormatan etik.
Sekalipun P2KB merupakan otonomi profesi dan kewajiban etik, namun kini penyelenggaraannya telah diambil alih kementerian kesehatan, dengan berbekal surat edaran (SE). Walau banyak ahli hukum berpendapat bahwa SE itu tidak memiliki kekuatan hukum, apalagi bila hanya SE Dirjen, tapi itu soal lain.
Kita tidak tahu persis seperti masa depan P2KB di bawah Kementerian Kesehatan. Apa menjadi lebih baik atau justru menemui kemunduran dan kerancuan. Kita juga belum tahu bagaimana Kementerian Kesehatan memperlakukan nilai SKP yang diperoleh dari sebuah kegiatan pembelajaran. Pun belum tahu bagaimana memperlakukan sertifikat yang diperoleh dari pertemuan ilmiah di luar negeri maupun di dalam negeri yang tidak memiliki SKP.
Andai menemui kemajuan tentu sangat baik, namun bila terjadi kemunduran dan kerancuan maka tentu penulis khawatir program P2KB terjebak dengan perbuatan sia-sia, seperti wanita pemintal benang yang terekam di dalam QS. An-Nahl: 92: “Janganlah kamu berbuat seperti wanita pemintal benang ini, yang setelah menenungnya ia mencerai-beraikannya kembali.”
Memang, orang yang bukan pengurus IDI apalagi bukan anggota IDI tidak akan tahu kalau sistem P2KB IDI dievaluasi diperdebatkan setiap saat oleh ahlinya. Mereka juga tidak akan pernah tahu kalau pekerjaan pengelola P2KB itu cukup berat dan sangat teknis.
Penyelenggaraan P2KB menjadi efektif bila didukung oleh: (a) Adanya kebutuhan untuk mempelajari suatu tema/topik; (b) Cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan; (c) Kesempatan untuk menerapkannya. Banyak cara untuk menempatkan kebutuhan belajar seseorang, mulai dari ujian formal sampai ke cara yang umum dalam kehidupan sehari-hari seperti penilaian atasan atau teman sekerja, audit medik, juga perenungan (refleksi) diri. Berdasarkan kebutuhan pembelajaran tersebut seorang dokter diharapkan dapat menyusun sendiri rencana pengembangan dirinya dalam bentuk “Rencana Pengembangan Diri” (RPD).
Hal penting lain dari P2KB adalah bagaimana agar kurikulum dan modul pembelajarannya dikembangkan terus-menerus. Di lingkungan IDI hal ini merupakan tugas dari masing-masing perhimpunan dan kolegium masing-masing.
Catatan Akhir
P2KB adalah salah satu wilayah otonomi profesi dokter untuk meningkatkan mutu layanan kedokteran. Karena, P2KB sering disebut kewajiban profesi atau kewajiban etik. Profesi yang tahu persis apa kebutuhan P2KB anggotanya. Profesil pula yang membuat, mengevalusi, dan mengembangkan kurikulum dan modul P2KB tersebut. Mereka tidak pernah menyontek atau memplagiat kurikulum dan modul P2KB profesi lain, apalagi milik pemerintah.
Program P2KB bukan sekadar mencukupi nilai SKP, melainkan untuk memantau apakah kelima ranahnya itu telah terpenuhi, sehingga seorang dokter dapat dinyatakan laik atau kompeten melayani masyarakat. Kompeten dalam hal: ilmu, keterampilan, dan perilaku (etik). Perilaku ini sangat penting, sehingga setiap penyelenggaraan P2KB diisyaratkan adanya penyajian etik kedokteran.
Lalu, bagaimana mengetahui bahwa dokter itu masih kompeten dan beretik? Kompeten diketahui melalui verifikasi dan validasi akhir berkas P2KB-nya oleh perhimpunan dan penerbitan Sekom sebagai garansi dari kolegium pengampu ilmu. Terkait dengan soal etik, biasanya ada pernyataan tidak bermasalah secara etik dari komite etik atau majelis kehormatan etik.
Sekalipun P2KB merupakan otonomi profesi dan kewajiban etik, namun kini penyelenggaraannya telah diambil alih kementerian kesehatan, dengan berbekal surat edaran (SE). Walau banyak ahli hukum berpendapat bahwa SE itu tidak memiliki kekuatan hukum, apalagi bila hanya SE Dirjen, tapi itu soal lain.
Kita tidak tahu persis seperti masa depan P2KB di bawah Kementerian Kesehatan. Apa menjadi lebih baik atau justru menemui kemunduran dan kerancuan. Kita juga belum tahu bagaimana Kementerian Kesehatan memperlakukan nilai SKP yang diperoleh dari sebuah kegiatan pembelajaran. Pun belum tahu bagaimana memperlakukan sertifikat yang diperoleh dari pertemuan ilmiah di luar negeri maupun di dalam negeri yang tidak memiliki SKP.
Andai menemui kemajuan tentu sangat baik, namun bila terjadi kemunduran dan kerancuan maka tentu penulis khawatir program P2KB terjebak dengan perbuatan sia-sia, seperti wanita pemintal benang yang terekam di dalam QS. An-Nahl: 92: “Janganlah kamu berbuat seperti wanita pemintal benang ini, yang setelah menenungnya ia mencerai-beraikannya kembali.”