P2KB IDI Versus Kerancuan dalam Kerancuan

Selasa, 28 Mei 2024 - 07:01 WIB
loading...
P2KB IDI Versus Kerancuan...
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015. Foto/Istimewa
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015

Perintah P2KB termaktub di dalam Sumpah Dokter: “Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisisi luhur profesi kedokteran” dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) Pasal 21: “Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.” Karena itu, P2KB merupakan kewajiban profesi (professional imperative) setiap dokter dalam rangka meningkatkan mutu layanannya.

Saat pembahasan RUU Omnibus Kesehatan, acapkali Menteri Kesehatan melontarkan pernyataan yang menyudutkan profesi dokter. P2KB IDI adalah salah satu yang sering disorot karena dianggap mahal dan rancu, sehingga pihaknya merasa perlu mengambil alih dan membenahinya.

Terkait soal rancu atau kerancuan ini, penulis teringat ketika Imam Al Gazali (1058-1111) menentang pandang filosof Ibnu Sina dan Al Farabi terkait teologi atau ilmu kalam dengan menulis risalah, “Tahafut Al-Falasifah” (Kerancuan para Filsuf). Lalu, Ibnu Rusyd yang datang belakangan (1126-1198) membela pandangan filosof (Ibu Sina dan Al Farabi) dengan risalah, “Tahafut Al Tahafut” (Kerancuan dalam Kerancuan).

Sebelum UU Nomor 29 Tahun 2004


Sebelum terbitnya UU Praktik Kedokteran 2004, program BP2KB yang dijalankan IDI dan dikuti oleh seluruh dokter hanya berupa “Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan” (PKB/ (CME). Pengelolaanya sederhana, oleh departemen/seksi: Ilmiah dan Pengembangan Profesi.

Kebijakan IDI saat itu jumlah SKP yang wajib dikumpulkan tidak banyak, hanya sekitar 10 SKP dalam tiga tahun untuk melakukan praktik swasta. SKP ini merupakan syarat bagi IDI Cabang untuk menerbitkan rekomendasi bagi dokter ingin mengurus Surat Izin Praktik (SIP) di Kantor Departemen Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai PP No.1/1998 dan Permenkes No.916/Mekes/Per/VIII/1997 tentang Izin Praktik bagi Tenaga Medis.

SKP-nya pun masih disebut “satuan kredit partisipasi”, yang dapat diperoleh melalui ranah ilmiah, yaitu: kegiatan ilmiah lisan dan kegiatan ilmiah tulisan. Kegiatan ilmiah lisan meliputi: pertemuan klinik/malam klinik/siang klinik, simposium, seminar, diskusi panel, lokakarya, latihan keterampilan (bed side teaching), dan sebagainya.

Sedangkan kegiatan ilmiah tulisan meliputi: karya tulis yang dipublikasikan dan mengisi jawaban pertanyaan PKB tulisan Uji Diri. Akreditasi dan pemberian SKP dikeluarkan oleh IDI (PB IDI dan IDI Wilayah).

Setelah UU 29 Tahun 2004


Setelah terbitnya UU Praktik Kedokteran 2004, lahir istilah Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). STR diperbarui setiap lima tahun. Untuk terbitnya STR disyaratkan adanya Sertifikat Kompetensi (Serkom) dari kolegium pengampu ilmu di organisasi profesi (IDI).

Untuk dapat mengeluarkan Serkom, kolegium mensyaratkan uji kompetensi (bukan ujian), melalui pengupulan nilai SKP. Artinya kolegium tidak mau memberi garansi atau jaminan kompeten kepada seorang dokter tanpa ada bukti berupa nilai SKP yang terverifiksi dan tervalidasi. Sebutan SKP bukan lagi satuan kredit partisipasi melainkan satuan kredit profesi.

Setelah Muktamar IDI di Semarang 2006 (PB IDI 2006-2009), pengelolaan P2KB bukan lagi oleh departemen/seksi Ilmiah dan Pengembangan Profesi, melainkan oleh sebuah badan, “Badan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan” (BP2KB) sesuai ART IDI. BP2KB (PB IDI dan IDI Wilayah), Tim P2KB (IDI Cabang), Komisi P2KB (Perhimpunan).

IDI pertama kali menjalankan program P2KB tahun 2007. Sejak itu pula IDI dan seluruh perhimpunan serta kolegium terus-menerus berbenah. Nama programnya berubah dari PKB/CME menjadi “Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan” (P2KB/CPD). Jumlah SKP juga berubah menjadi 50 SKP per tahun atau (250 SKP perlima tahun).

SKP dapat diperoleh melalui lima ranah: (1) Pembelajaran (kegiatan pribadi, internal dan ekternal); (2) Profesional (pribadi dan internal); (3) Pengabdian masyarakat/profesi (pribadi dan eksternal); (4) Publikasi ilmiah/populer (pribadi dan ekternal); (5) Pengembangan ilmu dan pendidikan (internal) seperti meneliti, menulis jurnal, menelia jurnal, mengajar, menguji dan membuat soal ujian, dan membimbing mahasiswa kedokteran, membimbing karya ilmiah mahasiswa, dan sebagainya.

Awal pemberlakuan P2KB dengan 50 SKP pertahun, menuai banyak diprotes dari anggota, sebab anggota bingung cara mencapainya. Dianggapnya semua SKP itu harus melalui kegiatan pembelajaran (seminar dan simposium). Saat itu sistem pembelajaran online, seperti webinar masih barang langka. Melalui sosialisasi yang gencar kebijakan 50 SKP per tahun akhirnya dapat diterima dan diterapkan. Porsi dari pembelajaran yang diharapkan saat itu hanya 20-30% per tahun atau 10-15 SKP per tahun. Artinya, untuk mencapai target SKP dari ranah pembelajaran per tahun, boleh jadi cukup mengikuti dua kali simposium.

Setelah jaringan internet makin meluas. Seluruh IDI Cabang pun telah berlangganan, maka 2013 dikembangkanlah P2KB Online melalui Pusat Data dan Layanan Informasi (Pusdlain) IDI. Nama programnya adalah Sistem Informasi Terintegrasi IDI (SIT-IDI) yang menggabungkan seluruh proses di lingkungan IDI, yaitu: (a) Data keanggotaan dan organisasi; (b) Data pendidikan; (c) Data praktik dan pekerjaan.

Dengan program SIT-IDI ini kemudian ditargetkan pada akhir 2015 sudah dapat dilakukan proses integrasi dengan sistem data di KKI. Dengan harapan dapat memudahkan dan mempercepat proses validasi berkas dan registrasi dan registrasi ulang. Harapan lain, program online penuh (paperless) dapat dijalankan. Alhasil, awal 2015 sudah dijalankan program validasi keanggotan dan P2KB online terbaru di website IDI www.idionline.org.

Untuk diketahui, sebelum penggunaan P2KB Online, setiap menjelang resestifikasi dan reregistrasi, IDI Cabang sibuk mengumpulkan borang P2KB anggotanya. Divalidasi kemudian dikirim ke PB IDI. Bertumpuklah kardus-kardus berkas P2KB di kantor PB IDI. SibukTim P2KB PB IDI (dibantu perwakilan perhimpunan dan kolegium) pun sibuk melakukan verifikasi dan validasi dokumen, sebelum mengajukan permohonan Serkom ke Kolegium. Selanjutnya dari kolegium Serkom diteruskan ke KKI untuk penerbitan STR.

Dalam hal ini, persoalan yang dihadapi anggota IDI, antara lain: (1) sebagian besar dokter sibuk; (2) tidak tahu caranya menggunakan teknologi baru; (3) hambatan jaringan internet. Karena itu, PB IDI kembali melakukan sosialisasi P2KB online kepada seluruh jajaran IDI dan anggota. Bagi anggota IDI yang masih tetap kesulitan dengan P2KB online, dipersilakan untuk meminta bantuan ke pengurus IDI cabang setempat.

Evalusi P2KB IDI


Setelah program P2KB IDI berlangsung selama 17 tahun (2007-2024), relatif anggota IDI dapat mengikuti tanpa kendala yang serius. Kalaupun ada yang terlambat mengurus STR di KKI tebih karena kesibukan anggota dalam keseharian sehingga lupa kalau STR-nya sudah akan berakhir. Soal ada keluhan karena pembayaran sejumlah uang saat pengurusan STR, itu penerimaan negara bukan pajak. Masuknya ke kas KKI, bukan ke kas IDI.

Penyelenggara P2KB pembelajaran pun cukup banyak. Seluruh jajaran IDI, termasuk perhimpunan dan kolegium dapat menjadi penyelenggara. Bagi lembaga/institusi di luar IDI bila ingin menjadi penyelenggara pertemuan Ilmiah sendiri maka disilahkan mengajukan akreditasi ke BP2KB IDI atau bekerja sama dengan institusi yang ada di bawah IDI. Ini artinya pintu untuk memperoleh SKP dari kegiatan pembelajaran terbuka lebar sampai di tingkat IDI cabang (kabupaten/kota).

Program P2KB dievalusi dan dibenahi setiap saat. Minimal dua kali dalam tiga tahun (Mukernas/Rakernas dan Muktamar) program P2KB dievalusi. Setiap Mukernas/Rakernas dan Muktamar P2KB ini dibahas oleh komisi tersendiri, yaitu Komisi Pendidikan Profesi dan P2KB. Hasil dari komisi ini kemudian di bawah kemudian diputuskan di dalam sidang pleno. Keputusan tertinggi ada di dalam sidang pleno muktamar.

Memang, orang yang bukan pengurus IDI apalagi bukan anggota IDI tidak akan tahu kalau sistem P2KB IDI dievaluasi diperdebatkan setiap saat oleh ahlinya. Mereka juga tidak akan pernah tahu kalau pekerjaan pengelola P2KB itu cukup berat dan sangat teknis.

Penyelenggaraan P2KB menjadi efektif bila didukung oleh: (a) Adanya kebutuhan untuk mempelajari suatu tema/topik; (b) Cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan; (c) Kesempatan untuk menerapkannya. Banyak cara untuk menempatkan kebutuhan belajar seseorang, mulai dari ujian formal sampai ke cara yang umum dalam kehidupan sehari-hari seperti penilaian atasan atau teman sekerja, audit medik, juga perenungan (refleksi) diri. Berdasarkan kebutuhan pembelajaran tersebut seorang dokter diharapkan dapat menyusun sendiri rencana pengembangan dirinya dalam bentuk “Rencana Pengembangan Diri” (RPD).

Hal penting lain dari P2KB adalah bagaimana agar kurikulum dan modul pembelajarannya dikembangkan terus-menerus. Di lingkungan IDI hal ini merupakan tugas dari masing-masing perhimpunan dan kolegium masing-masing.

Catatan Akhir


P2KB adalah salah satu wilayah otonomi profesi dokter untuk meningkatkan mutu layanan kedokteran. Karena, P2KB sering disebut kewajiban profesi atau kewajiban etik. Profesi yang tahu persis apa kebutuhan P2KB anggotanya. Profesil pula yang membuat, mengevalusi, dan mengembangkan kurikulum dan modul P2KB tersebut. Mereka tidak pernah menyontek atau memplagiat kurikulum dan modul P2KB profesi lain, apalagi milik pemerintah.

Program P2KB bukan sekadar mencukupi nilai SKP, melainkan untuk memantau apakah kelima ranahnya itu telah terpenuhi, sehingga seorang dokter dapat dinyatakan laik atau kompeten melayani masyarakat. Kompeten dalam hal: ilmu, keterampilan, dan perilaku (etik). Perilaku ini sangat penting, sehingga setiap penyelenggaraan P2KB diisyaratkan adanya penyajian etik kedokteran.

Lalu, bagaimana mengetahui bahwa dokter itu masih kompeten dan beretik? Kompeten diketahui melalui verifikasi dan validasi akhir berkas P2KB-nya oleh perhimpunan dan penerbitan Sekom sebagai garansi dari kolegium pengampu ilmu. Terkait dengan soal etik, biasanya ada pernyataan tidak bermasalah secara etik dari komite etik atau majelis kehormatan etik.

Sekalipun P2KB merupakan otonomi profesi dan kewajiban etik, namun kini penyelenggaraannya telah diambil alih kementerian kesehatan, dengan berbekal surat edaran (SE). Walau banyak ahli hukum berpendapat bahwa SE itu tidak memiliki kekuatan hukum, apalagi bila hanya SE Dirjen, tapi itu soal lain.

Kita tidak tahu persis seperti masa depan P2KB di bawah Kementerian Kesehatan. Apa menjadi lebih baik atau justru menemui kemunduran dan kerancuan. Kita juga belum tahu bagaimana Kementerian Kesehatan memperlakukan nilai SKP yang diperoleh dari sebuah kegiatan pembelajaran. Pun belum tahu bagaimana memperlakukan sertifikat yang diperoleh dari pertemuan ilmiah di luar negeri maupun di dalam negeri yang tidak memiliki SKP.

Andai menemui kemajuan tentu sangat baik, namun bila terjadi kemunduran dan kerancuan maka tentu penulis khawatir program P2KB terjebak dengan perbuatan sia-sia, seperti wanita pemintal benang yang terekam di dalam QS. An-Nahl: 92: “Janganlah kamu berbuat seperti wanita pemintal benang ini, yang setelah menenungnya ia mencerai-beraikannya kembali.”

Dalam menyelenggarakan P2KB boleh jadi kementerian kesehatan benar, sebab mereka telah melakukan sesuai SE yang diterbitkannya sendiri. Namun, benar itu tidak serta-merta dapat dikatakan bijak. Karena itu, harapan penulis agar kementerian kesehatan lebih bijak dalam menerapkan P2KB yang dibuatnya.

Bijak karena aturan dan sistem yang dibuatnya tidak justru menyulitkan para dokter yang akan melayani masyarakat. Dan juga bijak karena karena berbiaya mahal dan berbelit-belit. Dan juga sangat bijak bila kelak menemui kemuduran dan kerancuan, mereka dengan sukarela mengembalikan penyelenggaraan P2KB kepada IDI sebagai wilayah otonomi organisasi profesi.

Dan, bagi IDI yang sudah terlanjur dikesankan sebagai penyebab “Tahafut P2KB” (Kerancuan P2KB), maka hendaknya ada yang membuat risalah pembelaan, “Tahafut Al Tahafut” (Kerancuan dalam Kerancuan) untuk mengembalikan harkat dan kehormatannya. Sebagaimana risalah yang pernah dibuat Ibn Rusyd untuk membela Ibu Sina dan Al Farabi. Wallahu ‘alam bissawwab.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1720 seconds (0.1#10.140)