Tax Ratio

Senin, 28 Januari 2019 - 07:42 WIB
Tax Ratio
Tax Ratio
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

DEBAT calon presiden dan wakil presiden putaran pertama lalu menjadi menarik saat kedua pasangan calon yang tengah berkontestasi sama-sama mengangkat isu rasio pajak (tax ratio) sebagai bahan dialog. Keduanya sama-sama menjanjikan akan mengejar tax ratio sebesar 16%.

Untuk saat ini tax ratio kita masih tertahan di angka 11,5%. Namun sudah ada peningkatan sekitar 0,8% bila dibandingkan dengan tax ratio periode sebelumnya.

Mampukah kedua pasangan calon memenuhi janji-janji politiknya, hal itu akan menjadi dialog berikutnya. Yang jelas, kita sama-sama tahu bahwa efforts untuk mendongkrak capaian tax ratio tidak bisa dikatakan cukup mudah untuk dilakukan.

Metode perhitungan tax ratio di Indonesia sendiri memiliki beberapa perbedaan mendasar bila dibandingkan dengan yang biasa dipakai di beberapa negara, yaitu hanya melihat rasio pajak yang dikumpulkan pemerintah pusat terhadap produk domestik bruto (PDB). Komponen pajak yang dihitung meliputi komponen pendapatan perpajakan (PPh, PPN, PBB P3, dan beberapa pajak lain) serta kepabeanan dan cukai (cukai, bea masuk, pajak ekspor).

Sementara itu di belahan dunia lainnya, perhitungan tax ratio sudah turut menghimpun unsur pendapatan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan beberapa jenis pajak daerah. Bahkan di Eropa kontribusi social security juga turut dihitung.

Fakta tersebut yang sering kali membuat tax ratio kita terlihat begitu rendah ketika dikomparasikan dengan beberapa negara maju atau yang selevel dengan Indonesia. Para ekonom hampir bersepakat sepenuhnya bahwa metode perbandingannya kurang apple to apple.

Ke depannya mungkin sudah saatnya ada perombakan radikal, misalnya dengan memasukkan unsur PNBP serta pajak dan retribusi daerah sebagai komponen perhitungan tax ratio. Di luar itu juga perlu diupayakan agar proses intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan eksisting bisa berjalan dengan optimal.

Standing mengenai tax ratio begitu penting karena menjadi ujung dari keseluruhan aktivitas ekonomi masyarakat. Dalam perspektif yang lain, tax ratio juga menjurus pada upaya komprehensif untuk mendorong agar seluruh aktivitas ekonomi semakin menggeliat, tidak terbatas semata-mata pada kinerja instansi pajak yang wewenangnya hanya “mengumpulkan”.

Permasalahan struktural juga perlu disisir apa saja faktor penyebabnya. Jadi butuh ada perbaikan yang menyeluruh sejak hulu hingga hilir (secara interaktif) antara subjek dan objek pajak.

Selama ini kita menghadapi beberapa tantangan struktural untuk mencukupi target tax ratio melalui skema eksisting. Di luar persoalan yang sudah diulas di muka, pertama, kita memiliki basis data yang lemah sehingga proses penyerapan potensi perpajakan belum berjalan dengan optimal.

Kelemahan itu membuat ada potensi penyelewengan pajak yang bisa dimanfaatkan oknum wajib pajak ataupun birokrat yang kurang berintegritas secara sekaligus. Di luar itu instansi pajak juga akan sulit menebak berapa jumlah wajib pajak atau besaran nominal yang semestinya diterima secara akurat.

Rentetan agenda reformasi perpajakan serta berlakunya keterbukaan informasi di era automatic exchange of information (AEoI) sudah sewajarnya mampu menyelesaikan persoalan itu. Ruang untuk berbuat curang didesain agar semakin terbatas.Ke depannya jika yang terjadi justru sebaliknya, secara sarkastik ada pertanda bahwa “penjahat” di Indonesia ternyata terkadang lebih cerdik ketimbang penegak hukumnya.
Kedua, masalah struktur perekonomian dari sisi legal formal. Catatan BPS (2018) menunjukkan bahwa hanya sekitar 43,16% tenaga kerja yang bekerja di sektor formal, sedangkan sisanya (yang jumlahnya lebih banyak) masih bertahan di sektor informal.

Proses transformasi dalam 3 tahun terakhir berjalan relatif lelet dengan rata-rata per tahun hanya ada 0,3% tenaga kerja yang bermutasi dari sektor informal menjadi formal. Alhasil jumlah tenaga kerja di Indonesia yang secara agregat mencapai 124 juta jiwa, kontribusinya masih tergolong minim untuk peningkatan penerimaan pajak.

Bahkan untuk sekadar kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP) pun belum mencapai setengahnya. Per 31 Maret 2018 kemarin jumlah NPWP terdaftar baru sejumlah 38,7 juta. Jika dirasiokan dengan total tenaga kerja, hanya 31,21% tenaga kerja yang memiliki NPWP.

Ketiga, ada kontribusi atas kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) di dalam rendahnya tax ratio di Indonesia. Kenaikan PTKP yang terakhir dilakukan pemerintah medio 2016 kemarin langsung membuat tax ratio kita anjlok di angka 10,8% (2016) dan 10,7% (2017).

Memang ada niat positif dengan adanya kenaikan PTKP tersebut, yakni untuk menolong daya beli masyarakat, terutama yang berada pada level middle-low income. Akan tetapi di balik itu semua ada konsekuensi logis berupa hilangnya sebagian potensi perpajakan.

Selain itu ada diskon (pengurangan) tarif PPh final bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari semula 1% menjadi 0,5% yang berlaku per 1 Juli 2018 kemarin. Kendati demikian kebijakan ini dampaknya belum terasa negatif bagi negara karena justru pada 2018 capaian tax ratio kita berhasil ditingkatkan.

Keempat, mungkin ini alasan yang paling vital yang membuat mengapa tax ratio kita belum cukup menggembirakan. Kita berhadapan dengan persoalan kesadaran/kepatuhan pajak (tax compliance) sehingga rasio penerimaannya belum mampu dioptimalkan.

Gambaran sederhananya bisa kita lihat dari data Dirjen Pajak (DJP) pada pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) tahun 2018. Dari total 38,7 juta NPWP terdaftar, 17,7 juta di antaranya adalah jumlah wajib pajak yang harus menyampaikan SPT karena memiliki penghasilan di atas PTKP.

Namun dari jumlah tersebut hanya 10,59 juta atau sekitar 59,98% yang telah menyampaikan SPT tahun 2017 hingga batas akhir yang ditentukan, yakni per 31 Maret 2018. Banyaknya peserta yang mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dilakukan pada akhir 2016 hingga awal 2017 yang lalu juga menjadi salah satu indikasi betapa kita masih butuh extra-efforts untuk membangun kinerja perpajakan yang lebih baik.

Extra-Efforts
Ibarat pepatah klasik, banyak jalan menuju Roma. Pepatah itu juga berlaku untuk memenuhi niat baik meningkatkan kinerja perpajakan di Indonesia. Memang bukan sebuah tugas yang mudah mengingat banyaknya persoalan struktural dan kultural yang senantiasa menjadi batu penghambatnya.

Berikut ini penulis akan menyampaikan upaya-upaya perbaikan yang dapat kita lakukan sebagai jawaban atas beberapa persoalan dan isu-isu penting lainnya yang terkait dengan pajak.

Pertama, transformasi ekonomi menjadi tuntutan terkini untuk memperbaiki perekonomian secara serempak dan tersistematis. Tugas awalnya adalah dengan membangun peningkatan nilai tambah produk lokal berbasis industrialisasi.

Secara alami, memang perekonomian di negara kita sudah mengalami transisi struktural yang mengarah pada peningkatan kontribusi sektor jasa dan perdagangan. Akan tetapi rasanya masih cukup miris dengan melihat pola sekarang yang justru seperti memberikan karpet merah pada produk impor untuk berkuasa.

Alasannya karena produk kita kalah bersaing dengan produk impor, khususnya dari segi harga. Impor bahan baku dan barang penolong juga tidak kalah banyak. Di sisi lain, kontribusi industri lokal terhadap perekonomian semakin lemah karena meningkatnya transaction cost, ketergantungan terhadap impor bahan baku, dan daya saing yang terbatas.

Sementara itu di beberapa daerah, nasib pelaku usaha di sektor primer banyak yang mengeluh karena sulitnya mengakses pasar yang sehat dan kompetitif. Satu per satu pekerjaan besar kita perlu segera dituntaskan. Jangan mudah terbiasakan dengan penyelesaian-penyelesaian secara parsial.

Proses industrialisasi berbasis komponen lokal akan menjadi ikhtiar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat mengingat banyak produk primer (terutama pertanian, perkebunan, dan perikanan) yang nilai tambahnya belum digarap secara optimal. Setelahnya perlu ada upaya untuk memformalkan seluruh aktivitas ekonomi.

Pada dasarnya masih cukup banyak aktivitas ekonomi yang belum dilindungi dan dirawat dengan baik sehingga mereka belum bisa menjadi bagian penting dari pembangunan ekonomi bangsa baik dari sisi fiskal maupun struktur perekonomian. Potensi underground economy kita juga belum terdata dengan baik.

Ketika negara menunjukkan keberpihakannya, rakyat pun tidak segan untuk membantu negara mengatasi persoalan pembangunan. Alasan modal sosial dan interaksi kebijakan seperti itulah yang juga membuat kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak menjadi kurang optimal.

Kedua, aktivitas ekonomi digital (seperti e-commerce) yang masif hingga saat ini turut menjadi bagian penting dari transformasi ekonomi. Namun tampaknya pemerintah belum menyiapkan instrumen yang tepat untuk mengatur agar ekonomi digital memberikan keuntungan yang maksimal bagi perekonomian domestik, baik dari sisi struktural maupun potensi fiskal. Akibatnya banyak yang beranggapan bahwa e-commerce hanya menjadi etalase produk impor.

Persoalan regulasi dan teknis yang memadai juga membuat sektor ini belum dapat dipungut pajak secara formal. Hal ini juga membuat persaingan antara pasar digital (e-commerce) dan konvensional menjadi timpang karena perbedaan kewajiban fiskal.

Pelajaran pentingnya adalah bagaimana antisipasi institusi pajak dalam mengembangkan seluruh instrumen menyongsong perubahan kegiatan ekonomi yang sangat cepat. Dan dari sini lagi-lagi faktor SDM akan menjadi kunci.

Ketiga, aktivitas ekonomi UMKM (termasuk di sektor pertanian) yang cukup besar perlu disikapi dengan upaya memformalkan usaha mereka yang sebagian besar hingga saat ini masih berkutat sebagai sektor nonformal. Tujuannya adalah untuk pendataan dan penyusunan kerangka kebijakan agar lebih akurat, bukan semata-mata untuk kepentingan penerimaan perpajakan.

Saat basis data sudah terbangun secara optimal, pemerintah bisa mempersiapkan instrumen kebijakan pendukung sebagai upaya peningkatan kapasitas ekonomi UMKM. Ketika mereka sudah berkembang (terutama setelah ada campur tangan pemerintah), kewajiban pajak akan menjadi lebih masuk akal untuk diterapkan pada UMKM.

Dan keempat, pihak regulator (pemerintah dan Bank Indonesia/BI) perlu terus bersinergi untuk menciptakan pasar ekonomi yang semakin sehat dan bermutu. Gubernur Bank Indonesia (BI) tampaknya sangat bersemangat mendorong sektor riil agar dapat berkembang dan heterogenitas sektor-sektor ekonomi dapat didukung sehingga perekonomian kita makin beragam dan hidup.

Pemerintah dapat mengupayakan peningkatan ekonomi melalui belanja-belanja produktif seperti pembangunan SDM, infrastruktur, dan kelembagaan yang progresif. Sementara itu BI bisa memperkuat melalui kebijakan moneter seperti tingkat suku bunga kredit dan perbankan.

Pemerintah daerah juga perlu diajak untuk merencanakan target pengembangan potensi daerahnya. Di saat semakin banyak pelaku ekonomi yang tingkat pendapatan meningkat, capaian tax ratio yang diinginkan akan lebih dekat.

Kuncinya adalah bagaimana level pendapatan masyarakat dapat meningkat dan keberpihakan regulator (termasuk layanan administrasi perpajakan) menjadi sebuah proses interaksi ekonomi yang erat untuk sama-sama mencapai tujuan-tujuan ekonominya masing-masing secara optimal.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6681 seconds (0.1#10.140)