Prabowo Diminta Tidak Terjebak dalam Politik Merangkul yang Kebablasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Loyalis Presiden Joko Widodo (Jokowi) R Haidar Alwi berharap Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak terjebak dalam politik merangkul yang kebablasan. Prabowo diharapkannya tetap menyediakan ruang yang cukup untuk oposisi.
Haidar menyarankan agar oposisi tidak dilihat sebagai ancaman, tapi dari kacamata positif oposisi sebagai vitamin yang akan memperkuat pemerintahan. Haidar menuturkan, membangun bangsa tidak harus berada di dalam kekuasaan (koalisi), tapi juga bisa dari luar kekuasaan (oposisi).
“Keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda tetapi akan menimbulkan keseimbangan. Sehingga keduanya harus tetap dijaga. Adalah kesia-siaan dalam membangun atap ketika pilar dirobohkan, runtuh," ujarnya, Selasa (7/5/2024).
Dia menilai bakal semakin kebablasan jika Prabowo sampai meninggalkan para pejuang seperti relawan dan tokoh nonpartisan yang secara mandiri telah berdarah-darah pada Pilpres 2024. Dia menambakan, para relawan dan tokoh nonpartisan itu tidak mengeluh atau mengungkap kecewanya secara terbuka.
“Namun doa mereka yang ditinggal diyakini akan mampu merubah keadaan alam semesta,” tuturnya.
Oleh karena itu, Prabowo disarankan mengutamakan terlebih dahulu membagi penugasan kepada para pejuang yang memiliki kompetensi pada bidangnya masing-masing. "Jangan sampai anak di pangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan. Saya yakin Pak Prabowo sebagai pemegang hak prerogatif, pasti bisa dan tetap ingin bersama para pejuangnya," ucapnya.
Maka itu, dia mengingatkan Prabowo untuk tidak hanya mengutamakan merangkul semua pihak ke dalam koalisi. Sebab, kata dia, kekuasaan yang besar membutuhkan kontrol yang besar pula. Sehingga perlu adanya penyeimbang kekuasaan atau ruang oposisi.
“Oposisi yang baik akan memberikan manfaat untuk mengingatkan pemerintahan yang berkuasa agar tetap menjalankan pemerintahan sesuai dengan perundangan dan mengutamakan menuntaskan janji politik yang telah dan akan diajukan selama masa pemerintahan,” ujarnya.
"Waktu tersisa selama kurang lebih enam bulan sebelum pelantikan, perlu dingatkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam membentuk koalisi dan postur koalisi yang tepat sesuai tujuan di atas,” sambung Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) dan Haidar Alwi Care (HAC) itu.
Dia melihat politik merangkul yang diterapkan Prabowo membuat peluang pemerintahan tanpa oposisi semakin terbuka lebar. Terlebih, Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah mendeklarasikan diri menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo.
Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyatakan siap bergabung dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) disebut bersedia jika diajak. Menurut Haidar, satu-satunya harapan terbesar ruang oposisi kini berada di tangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Haidar berpendapat rencana pertemuan antara Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri dan ide pembentukan Presidential Club merupakan upaya untuk menaklukkan PDIP.
“Kalau akhirnya PDIP takluk, berhasil dirangkul, hampir dapat dipastikan pemerintahan Pak Prabowo tanpa oposisi, dan ini tentunya alarm bahaya untuk demokrasi kita. Bahkan lebih lanjut juga berbahaya untuk pemerintahan Pak Prabowo sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya kontrol terhadap kekuasaan,” pungkasnya.
Haidar menyarankan agar oposisi tidak dilihat sebagai ancaman, tapi dari kacamata positif oposisi sebagai vitamin yang akan memperkuat pemerintahan. Haidar menuturkan, membangun bangsa tidak harus berada di dalam kekuasaan (koalisi), tapi juga bisa dari luar kekuasaan (oposisi).
“Keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda tetapi akan menimbulkan keseimbangan. Sehingga keduanya harus tetap dijaga. Adalah kesia-siaan dalam membangun atap ketika pilar dirobohkan, runtuh," ujarnya, Selasa (7/5/2024).
Dia menilai bakal semakin kebablasan jika Prabowo sampai meninggalkan para pejuang seperti relawan dan tokoh nonpartisan yang secara mandiri telah berdarah-darah pada Pilpres 2024. Dia menambakan, para relawan dan tokoh nonpartisan itu tidak mengeluh atau mengungkap kecewanya secara terbuka.
“Namun doa mereka yang ditinggal diyakini akan mampu merubah keadaan alam semesta,” tuturnya.
Oleh karena itu, Prabowo disarankan mengutamakan terlebih dahulu membagi penugasan kepada para pejuang yang memiliki kompetensi pada bidangnya masing-masing. "Jangan sampai anak di pangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan. Saya yakin Pak Prabowo sebagai pemegang hak prerogatif, pasti bisa dan tetap ingin bersama para pejuangnya," ucapnya.
Maka itu, dia mengingatkan Prabowo untuk tidak hanya mengutamakan merangkul semua pihak ke dalam koalisi. Sebab, kata dia, kekuasaan yang besar membutuhkan kontrol yang besar pula. Sehingga perlu adanya penyeimbang kekuasaan atau ruang oposisi.
“Oposisi yang baik akan memberikan manfaat untuk mengingatkan pemerintahan yang berkuasa agar tetap menjalankan pemerintahan sesuai dengan perundangan dan mengutamakan menuntaskan janji politik yang telah dan akan diajukan selama masa pemerintahan,” ujarnya.
"Waktu tersisa selama kurang lebih enam bulan sebelum pelantikan, perlu dingatkan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam membentuk koalisi dan postur koalisi yang tepat sesuai tujuan di atas,” sambung Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) dan Haidar Alwi Care (HAC) itu.
Dia melihat politik merangkul yang diterapkan Prabowo membuat peluang pemerintahan tanpa oposisi semakin terbuka lebar. Terlebih, Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah mendeklarasikan diri menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo.
Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyatakan siap bergabung dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) disebut bersedia jika diajak. Menurut Haidar, satu-satunya harapan terbesar ruang oposisi kini berada di tangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Haidar berpendapat rencana pertemuan antara Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri dan ide pembentukan Presidential Club merupakan upaya untuk menaklukkan PDIP.
“Kalau akhirnya PDIP takluk, berhasil dirangkul, hampir dapat dipastikan pemerintahan Pak Prabowo tanpa oposisi, dan ini tentunya alarm bahaya untuk demokrasi kita. Bahkan lebih lanjut juga berbahaya untuk pemerintahan Pak Prabowo sendiri. Hal ini dikarenakan tidak adanya kontrol terhadap kekuasaan,” pungkasnya.
(rca)