Maknai Hari Bumi dengan Memulai Gaya Hidup Berkelanjutan di Perkotaan
loading...
A
A
A
Dolly Priatna
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
SEJAK tahun 1970, setiap tanggal 22 April masyarakat dunia selalu memperingati Earth Day atau Hari Bumi. Awalnya, peringatan ini diprakarsai oleh aktivis perdamaian John McConnell dan Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson. Peringatan Hari Bumi pertama pada tahun 1970 yang diikuti sekitar 20 juta peserta, dilakukan guna meningkatkan kesadaran akan isu-isu lingkungan dan mendorong tindakan untuk melindungi planet Bumi.
Empat dasawarsa kemudian, di tahun 2009, Pemerintah Indonesia secara resmi mulai memprakarsai peringatan Hari Bumi sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan alam. Keputusan ini diambil dalam rangka menyelaraskan perayaan Hari Bumi nasional dengan gerakan global untuk memperhatikan isu-isu lingkungan.
Inisiatif ini merupakan upaya kolektif dari banyak tokoh seperti Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmadja, serta para aktivis lingkungan hidup di Indonesia yang aktif memperjuangkan keberlanjutan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Peringatan Hari Bumi sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Upaya global dalam menghadapi perubahan iklim selama dekade terakhir berfokus terutama pada penanganan emisi dari negara-negara berkembang dengan emisi tinggi, yang jumlahnya meningkat secara tidak terduga, sehingga berpotensi membahayakan target mitigasi yang ada saat ini.
Komunitas internasional telah berupaya untuk meningkatkan upaya mitigasi di negara-negara yang sebelumnya terabaikan, dengan menekankan pentingnya kerja sama global dalam memerangi perubahan iklim. Negara-negara penghasil emisi terbesar seperti India, telah menerapkan langkah-langkah seperti Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim untuk meningkatkan efisiensi energi dan pembangunan berkelanjutan, yang ditunjukkan sebagai upaya nasional untuk memerangi perubahan iklim di negara tersebut.
Pada dekade terakhir, Indonesia juga telah menerapkan berbagai kebijakan untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Negara kita berfokus pada struktur pemerintahan yang terdesentralisasi, sehingga memungkinkan entitas pada level sub-nasional untuk terlibat dalam inisiatif iklim. Strategi pengurangan emisi antara lain penggunaan varietas padi rendah emisi dan perbaikan pengelolaan air dalam budidaya padi.
Pemerintah Indonesia juga memperkenalkan pajak karbon untuk mengurangi gas rumah kaca dan menargetkan emisi net-zero pada tahun 2060. Kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan sektor swasta sangat penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim melalui berbagai program seperti inisiatif Siak Hijau di Provinsi Riau.
Selain itu, Indonesia telah menerapkan kebijakan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation - Plus) untuk memerangi deforestasi dan mengurangi efek gas rumah kaca. Upaya gabungan ini menunjukkan pendekatan multi aspek yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi tantangan perubahan iklim.
Namun, dalam perjalannya tidak selalu berjalan mulus. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim. Tantangan tersebut berasal dari faktor-faktor seperti dampak deforestasi dan degradasi hutan, laju pertumbuhan industri yang kurang ramah lingkungan, serta moda transportasi berbahan bakar fosil.
Selain itu, masih tingginya ketergantungan negara kita pada sumber daya alam seperti lahan berhutan yang kaya akan karbon. Ditambah lagi dengan tingginya permintaan di sektor-sektor seperti pertanian, perluasan kota, industri, transportasi, dan perdagangan, yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi dan biaya terkait iklim.
Kecuali itu, kerentanan Indonesia terhadap bencana dan kejadian cuaca ekstrem akibat kenaikan suhu, serta tantangan sosial-politik dan kebutuhan untuk mengintegrasikan keadilan gender dalam upaya pembangunan, semakin mempersulit upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tertundanya penerapan kebijakan pajak karbon akibat faktor politik, ekonomi, dan resistensi masyarakat, juga telah menimbulkan tantangan tersendri dalam merespon perubahan iklim di Indonesia.
Selebrasi Hari Bumi yang diadakan setiap tahun sejak empat dasawarsa lalu ternyata menunjukkan dampak yang berbeda-beda terhadap perubahan perilaku manusia di perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hari Bumi pada tahun 1970, yang dipicu oleh terjadinya cuaca ekstrim, telah menyebabkan lemahnya dukungan jangka panjang terhadap lingkungan.
Namun, pada perayaan-perayaan Hari Bumi berikutnya seperti pemberlakuan Earth Hour juga tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku hemat energi di tingkat pengguna di perumahan dan sektor komersial. Di sisi lain, adanya perhelatan KTT G20 dan terjadinya wabah Covid-19 telah menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan dalam iklim perkotaan, dengan berkurangnya lalu lintas, perpindahan populasi, dan dampak yang diakibatkannya terhadap panas antropogenik dan suhu udara.
Untuk memaknai peringatan Hari Bumi 2024 dan mendukung inisiatif global dalam mencegah peningkatan suhu Bumi hingga 2 derajat Celcius yang tertuang dalam Perjanjian Paris, serta komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisinya yang dituliskan dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution), maka sudah saatnya gaya hidup masyarakat perkotaan berorientasi pada keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan. Langkah penting dan nyata yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat perkotaan antara lain:
1. Memilih moda transportasi rendah karbon dan berkelanjutan seperti berjalan kaki, bersepeda, menggunakan angkutan umum, atau carpooling dapat secara signifikan mengurangi emisi karbon yang terkait dengan perjalanan di perkotaan. Selain itu, mendukung inisiatif untuk meningkatkan infrastruktur transportasi umum dan mempromosikan kendaraan listrik dapat lebih memitigasi dampak lingkungan terkait transportasi.
2. Memilih opsi untuk tinggal di perumahan hemat energi, seperti apartemen atau rumah dengan sertifikasi bangunan ramah lingkungan, dapat mengurangi konsumsi energi dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Menerapkan praktik hemat energi seperti menggunakan lampu LED, memasang peralatan hemat energi, dan mengisolasi bangunan dengan benar dapat berkontribusi pada gaya hidup perkotaan yang lebih berkelanjutan.
3. Menerapkan gaya hidup minimalis dan mempraktikkan kebiasaan tanpa sampah dapat membantu mengurangi konsumsi, meminimalkan timbulan sampah, dan menurunkan jejak lingkungan dari penduduk perkotaan. Hal ini termasuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mendaur ulang dan membuat kompos sampah, serta membeli produk dengan kemasan minimal.
4. Memilih pangan yang bersumber dari lokal, musiman, dan diproduksi secara berkelanjutan dapat mengurangi dampak lingkungan dari pola makan perkotaan dengan meminimalkan emisi transportasi dan mendukung praktik pertanian regeneratif. Memilih opsi nabati dan mengurangi limbah makanan juga merupakan komponen integral dari sistem pangan perkotaan yang berkelanjutan.
5. Mendukung dan mengadvokasi pelestarian dan perluasan ruang terbuka hijau, taman, dan hutan kota dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, mengurangi “dampak pulau” panas perkotaan, serta meningkatkan kualitas udara di perkotaan. Berpartisipasi dalam inisiatif berkebun masyarakat, kampanye penanaman pohon, dan proyek reboisasi perkotaan dapat berkontribusi terhadap lingkungan perkotaan yang lebih berkelanjutan dan berketahanan.
6. Melibatkan komunitas lokal, organisasi akar rumput, dan kelompok advokasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, perencanaan kota yang berkelanjutan, dan akses yang adil terhadap sumber daya dapat mendorong perubahan positif di tingkat lokal. Berpartisipasi dalam acara aksi pembersihan lingkungan, program pendidikan lingkungan, dan kampanye advokasi dapat memberdayakan penduduk perkotaan untuk secara aktif berkontribusi terhadap pelestarian Bumi untuk generasi mendatang.
Akhirnya, dengan menerapkan gaya hidup perkotaan yang mengutamakan keberlanjutan, konservasi, dan keterlibatan masyarakat, kita sebagai individu dapat memainkan peran penting dalam upaya pelestarian Bumi. Pada Hari Bumi tahun 2024 ini, mari kita memulai komitmen bersama untuk mengambil tindakan bermakna yang berkontribusi terhadap masa depan perkotaan yang lebih berkelanjutan dan berketahanan iklim, demi terwujudnya cita-cita untuk mewariskan sebuah Bumi yang layak huni bagi generasi mendatang (DP).
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
SEJAK tahun 1970, setiap tanggal 22 April masyarakat dunia selalu memperingati Earth Day atau Hari Bumi. Awalnya, peringatan ini diprakarsai oleh aktivis perdamaian John McConnell dan Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson. Peringatan Hari Bumi pertama pada tahun 1970 yang diikuti sekitar 20 juta peserta, dilakukan guna meningkatkan kesadaran akan isu-isu lingkungan dan mendorong tindakan untuk melindungi planet Bumi.
Empat dasawarsa kemudian, di tahun 2009, Pemerintah Indonesia secara resmi mulai memprakarsai peringatan Hari Bumi sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan alam. Keputusan ini diambil dalam rangka menyelaraskan perayaan Hari Bumi nasional dengan gerakan global untuk memperhatikan isu-isu lingkungan.
Inisiatif ini merupakan upaya kolektif dari banyak tokoh seperti Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmadja, serta para aktivis lingkungan hidup di Indonesia yang aktif memperjuangkan keberlanjutan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Peringatan Hari Bumi sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Upaya global dalam menghadapi perubahan iklim selama dekade terakhir berfokus terutama pada penanganan emisi dari negara-negara berkembang dengan emisi tinggi, yang jumlahnya meningkat secara tidak terduga, sehingga berpotensi membahayakan target mitigasi yang ada saat ini.
Komunitas internasional telah berupaya untuk meningkatkan upaya mitigasi di negara-negara yang sebelumnya terabaikan, dengan menekankan pentingnya kerja sama global dalam memerangi perubahan iklim. Negara-negara penghasil emisi terbesar seperti India, telah menerapkan langkah-langkah seperti Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim untuk meningkatkan efisiensi energi dan pembangunan berkelanjutan, yang ditunjukkan sebagai upaya nasional untuk memerangi perubahan iklim di negara tersebut.
Pada dekade terakhir, Indonesia juga telah menerapkan berbagai kebijakan untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Negara kita berfokus pada struktur pemerintahan yang terdesentralisasi, sehingga memungkinkan entitas pada level sub-nasional untuk terlibat dalam inisiatif iklim. Strategi pengurangan emisi antara lain penggunaan varietas padi rendah emisi dan perbaikan pengelolaan air dalam budidaya padi.
Pemerintah Indonesia juga memperkenalkan pajak karbon untuk mengurangi gas rumah kaca dan menargetkan emisi net-zero pada tahun 2060. Kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan sektor swasta sangat penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim melalui berbagai program seperti inisiatif Siak Hijau di Provinsi Riau.
Selain itu, Indonesia telah menerapkan kebijakan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation - Plus) untuk memerangi deforestasi dan mengurangi efek gas rumah kaca. Upaya gabungan ini menunjukkan pendekatan multi aspek yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi tantangan perubahan iklim.
Namun, dalam perjalannya tidak selalu berjalan mulus. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim. Tantangan tersebut berasal dari faktor-faktor seperti dampak deforestasi dan degradasi hutan, laju pertumbuhan industri yang kurang ramah lingkungan, serta moda transportasi berbahan bakar fosil.
Selain itu, masih tingginya ketergantungan negara kita pada sumber daya alam seperti lahan berhutan yang kaya akan karbon. Ditambah lagi dengan tingginya permintaan di sektor-sektor seperti pertanian, perluasan kota, industri, transportasi, dan perdagangan, yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi dan biaya terkait iklim.
Kecuali itu, kerentanan Indonesia terhadap bencana dan kejadian cuaca ekstrem akibat kenaikan suhu, serta tantangan sosial-politik dan kebutuhan untuk mengintegrasikan keadilan gender dalam upaya pembangunan, semakin mempersulit upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tertundanya penerapan kebijakan pajak karbon akibat faktor politik, ekonomi, dan resistensi masyarakat, juga telah menimbulkan tantangan tersendri dalam merespon perubahan iklim di Indonesia.
Selebrasi Hari Bumi yang diadakan setiap tahun sejak empat dasawarsa lalu ternyata menunjukkan dampak yang berbeda-beda terhadap perubahan perilaku manusia di perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hari Bumi pada tahun 1970, yang dipicu oleh terjadinya cuaca ekstrim, telah menyebabkan lemahnya dukungan jangka panjang terhadap lingkungan.
Namun, pada perayaan-perayaan Hari Bumi berikutnya seperti pemberlakuan Earth Hour juga tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku hemat energi di tingkat pengguna di perumahan dan sektor komersial. Di sisi lain, adanya perhelatan KTT G20 dan terjadinya wabah Covid-19 telah menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan dalam iklim perkotaan, dengan berkurangnya lalu lintas, perpindahan populasi, dan dampak yang diakibatkannya terhadap panas antropogenik dan suhu udara.
Untuk memaknai peringatan Hari Bumi 2024 dan mendukung inisiatif global dalam mencegah peningkatan suhu Bumi hingga 2 derajat Celcius yang tertuang dalam Perjanjian Paris, serta komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisinya yang dituliskan dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution), maka sudah saatnya gaya hidup masyarakat perkotaan berorientasi pada keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan. Langkah penting dan nyata yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat perkotaan antara lain:
1. Memilih moda transportasi rendah karbon dan berkelanjutan seperti berjalan kaki, bersepeda, menggunakan angkutan umum, atau carpooling dapat secara signifikan mengurangi emisi karbon yang terkait dengan perjalanan di perkotaan. Selain itu, mendukung inisiatif untuk meningkatkan infrastruktur transportasi umum dan mempromosikan kendaraan listrik dapat lebih memitigasi dampak lingkungan terkait transportasi.
2. Memilih opsi untuk tinggal di perumahan hemat energi, seperti apartemen atau rumah dengan sertifikasi bangunan ramah lingkungan, dapat mengurangi konsumsi energi dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Menerapkan praktik hemat energi seperti menggunakan lampu LED, memasang peralatan hemat energi, dan mengisolasi bangunan dengan benar dapat berkontribusi pada gaya hidup perkotaan yang lebih berkelanjutan.
3. Menerapkan gaya hidup minimalis dan mempraktikkan kebiasaan tanpa sampah dapat membantu mengurangi konsumsi, meminimalkan timbulan sampah, dan menurunkan jejak lingkungan dari penduduk perkotaan. Hal ini termasuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mendaur ulang dan membuat kompos sampah, serta membeli produk dengan kemasan minimal.
4. Memilih pangan yang bersumber dari lokal, musiman, dan diproduksi secara berkelanjutan dapat mengurangi dampak lingkungan dari pola makan perkotaan dengan meminimalkan emisi transportasi dan mendukung praktik pertanian regeneratif. Memilih opsi nabati dan mengurangi limbah makanan juga merupakan komponen integral dari sistem pangan perkotaan yang berkelanjutan.
5. Mendukung dan mengadvokasi pelestarian dan perluasan ruang terbuka hijau, taman, dan hutan kota dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, mengurangi “dampak pulau” panas perkotaan, serta meningkatkan kualitas udara di perkotaan. Berpartisipasi dalam inisiatif berkebun masyarakat, kampanye penanaman pohon, dan proyek reboisasi perkotaan dapat berkontribusi terhadap lingkungan perkotaan yang lebih berkelanjutan dan berketahanan.
6. Melibatkan komunitas lokal, organisasi akar rumput, dan kelompok advokasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, perencanaan kota yang berkelanjutan, dan akses yang adil terhadap sumber daya dapat mendorong perubahan positif di tingkat lokal. Berpartisipasi dalam acara aksi pembersihan lingkungan, program pendidikan lingkungan, dan kampanye advokasi dapat memberdayakan penduduk perkotaan untuk secara aktif berkontribusi terhadap pelestarian Bumi untuk generasi mendatang.
Akhirnya, dengan menerapkan gaya hidup perkotaan yang mengutamakan keberlanjutan, konservasi, dan keterlibatan masyarakat, kita sebagai individu dapat memainkan peran penting dalam upaya pelestarian Bumi. Pada Hari Bumi tahun 2024 ini, mari kita memulai komitmen bersama untuk mengambil tindakan bermakna yang berkontribusi terhadap masa depan perkotaan yang lebih berkelanjutan dan berketahanan iklim, demi terwujudnya cita-cita untuk mewariskan sebuah Bumi yang layak huni bagi generasi mendatang (DP).
(maf)