Optimalisasi Pengelolaan Keuangan Haji

Rabu, 21 November 2018 - 06:07 WIB
Optimalisasi Pengelolaan...
Optimalisasi Pengelolaan Keuangan Haji
A A A
KH Cholil NafisDosen Ekonomi Syariah Pascasarjana Universitas Indonesia,

Anggota Pleno Dewan Syariah Nasional-MUI

PENDUDUK muslim di Indonesia terbesar di dunia. Bahkan melebihi seluruh penduduk muslim di Semenanjung Arab. Selain memiliki kekayaan alam melimpah, masyarakatnya dikenal sangat religius. Mereka memiliki tradisi keberagamaan (Islam) yang kental dengan corak kebudayaan khas. Ekspresi keberislaman berakulturasi dengan kebudayaan yang mewujud dalam watak khas muslim di Nusantara.

Pada saat yang sama, kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat berbanding lurus dengan meningginya spirit keberagamaan, khususnya praktik ibadah haji sebagai rukun Islam kelima. Jika dilihat dari antusiasme masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji terjadi penambahan sangat signifikan. Hal ini bisa dilihat dari lamanya daftar tunggu (waiting list) calon haji yang rerata sekitar 20 tahun. Ukuran waktu yang terhitung lama dalam penantian melaksanakan ibadah.

Di satu sisi, lamanya masa tunggu tersebut menyebabkan kesempatan setiap calon haji menjadi berkurang karena ada kemungkinan terkendala soal usia dan kesehatan karena ibadah haji memerlukan kondisi fisik prima. Namun, secara ekonomi justru menjadi potensi besar keuangan syariah di Indonesia.

Hingga April 2018, dana haji di Indonesia mencapai Rp105 triliun lebih. Terdiri dari Rp102 triliun dana setoran awal dan nilai manfaat. Sedangkan sisanya sekitar Rp3,2 triliun adalah dana abadi umat yang merupakan surplus dari penggunaan pengelolaan haji. Target ke depan, pada akhir 2018 ini, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan mengelola Rp110 triliun dan dana haji pada 2022 akan mencapai Rp150 triliun.

Dilihat dari lamanya waktu tunggu dengan sistem pembayaran selama ini jelas bahwa dana haji memiliki potensi sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa penduduk muslim Indonesia sebanyak 88% dari total 261 juta penduduk Indonesia. Berarti ada sekitar 222 juta penduduk muslim Indonesia yang berpotensi menyetor biaya awal keberangkatan haji. Jika diasumsikan ada 100 juta umat muslim menyetor biaya awal 25 juta per orang, maka dana haji akan terkumpul Rp2.500 triliun. Jumlah yang sangat besar, bahkan dana ini melebihi dari total angka APBN 2018 sebesar Rp2.220,7 triliun.

Namun faktanya, masih banyak masyarakat enggan melakukan setoran awal ongkos haji. Hal ini karena faktor antrean terlalu panjang serta masih minimnya kesadaran dini menunaikan ibadah haji dengan persiapan jangka panjang. Akibatnya, masyarakat lebih memilih jalan pragmatis dengan melaksanakan ibadah umrah berulang-ulang tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan yang membutuhkan uluran tangan.

Sebenarnya bagi yang sudah mampu untuk melaksanakan ibadah haji hukumnya wajib menyegerakan daftar berangkat haji. Memang para ulama berbeda pendapat, apakah pelaksanaan ibadah haji yang hanya sekali dalam seumur hidup wajib menyegerakan atau boleh ditunda. Namun, nomor antrean yang begitu panjang jika tidak disegerakan mendaftar dan menyetor ongkos haji bisa dipastikan tidak berkesempatan berangkat haji. Hal ini terkait dengan terbatasnya umur atau minimal akan menyulitkan saat melaksanakan ibadah haji karena kondisi tubuh yang sudah uzur dan tak prima lagi.

Pengelolaan Dana Haji

Berdasarkan keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 di Cipasung dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 122/DSN-MUI/II/2018 bahwa dana setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji merupakan milik calon jemaah secara perorangan (individu). Pengelola harus membagikan hasil investasi kepada pemilik modal.

Demikian juga ditegaskan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji Pasal 7 Ayat 1 menyatakan bahwa setoran biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH Khusus merupakan dana titipan jemaah haji untuk penyelenggaraan ibadah haji. Karenanya, pengelolaan dana haji harus berdasarkan akad dengan pemilik dana termasuk ketentuan bagi hasilnya. Dana jamaah harus diinvestasikan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang sesuai syariah dengan prinsip kehati-hatian.

Menggunakan hasil manfaat pengelolaan dana haji milik calon jamaah haji untuk menutupi biaya jemaah haji yang sedang berangkat menunaikan ibadah haji tanpa akad yang jelas dan diketahui pemilik dana hukumnya haram. Sebab dana manfaat itu sebagian milik jemaah calon haji yang masih menunggu, sementara seluruh manfaatnya digunakan oleh jemaah yang sedang menunaikan ibadah. Artinya, sebagian biaya penyelenggaraan ibadah haji didapat dari harta orang lain tanpa akad yang jelas.

Pengelolaan dana berprinsip syariah tidak hanya memenuhi akad-akad tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional, seperti wakalah, mudharabah, atau musyarakah, namun juga perlu menyentuh tujuan syariah (maqashid syariah), yaitu kesejahteraan (falah). Artinya, target investasi dana haji tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata apalagi sampai berobsesi pada keuntungan yang melebihi suku bunga bank sentral. Akan tetapi, tujuan investasinya harus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.Investasi dana haji perlu banyak menyentuh sektor riil dengan sistem manajemen risiko yang ketat.

Jika 50% keuangan haji disalurkan pada sektor usaha kecil dan menengah, maka akan banyak membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi umat. Seperti permodalan dengan sistem pendampingan bagi usaha mikro dan kecil dengan dana sedikit saja akan mampu menggulirkan ekonomi umat. Bahkan, perlu ada alokasi investasi untuk pemberdayaan dan pengembangan aset wakaf sehingga menjadi wakaf produktif.

Menurut Data Direktorat Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2018 bahwa tanah wakaf di Indonesia seluas4.359.443.170. Meskipun mayoritas tanah wakaf diperuntukkan pada sarana ibadah, tapi masih banyak tanah wakaf produktif dan strategis yang bisa dikembangkan dengan permodalan dari dana jamaah haji. Pengembangan aset wakaf dengan investasi dana haji dapat mengembalikan fungsi wakaf yang produktif seperti pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.

Diyakini bahwa para jemaah calon haji saat melakukan setoran awal biaya penyelenggaraan haji tidak berpikir keuntungan yang akan didapat selama menunggu keberangkatan haji. Hanya saja, pengelola dana haji harus memastikan bahwa pemilik dana tidak dirugikan oleh berputarnya waktu karena turunnya nilai akibat inflasi. Penyetor dana awal haji sedari awal sudah bertekad untuk menahan dananya demi mendapat nomor antrean haji tanpa berharap keuntungan dari bagi hasil atau laba dari pengelolaan dananya.

Demi menjaga stabilitas nilai mata uang yang disimpan calon jemaah haji selama menunggu jadwal keberangkatan, alangkah baiknya dana setoran dana haji dikonversi dengan emas. Bisa dibayangkan betapa kecilnya nilai rupiah dengan kurs dolar AS dalam dua puluh tahun atau tiga puluh lima tahun ke depan. Berbeda dengan emas yang tak pernah terkena inflasi. Bahkan, alangkah baiknya saat investasi, perhitungan modal dan keuntungan dana dinilai dengan kurs emas terlebih dahulu baru kemudian dihitung keuntungannya.

Dengan model hadging emas terhadap keuangan haji kemudian diinvestasi pada sektor riil keumatan yang produktif, maka dapat meminimalisasikan kerugian calon jemaah haji dari turunnya nilai mata uang rupiah sekaligus bisa menambah tabungan jemaah haji untuk persiapan pelunasan biaya haji dan bekal haji di Tanah Suci.

Wallahu alam bishshawab.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0900 seconds (0.1#10.140)