Flight Information Region
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
SEBAGAI orang awam, dalam bingkai nasionalisme, saya tertegun. Ternyata ada masalah serius tentang kedaulatan negara atas ruang udara. Viral di berbagai media, Indonesia dan Singapura telah menyepakati penyesuaian pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna (Selasa, 25/1/2022). Selanjutnya, Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, atau Airnav Indonesia, akan melayani FIR di atas wilayah itu.
Sebelumnya pelayanan FIR atas wilayah itu ditangani oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura selama 76 tahun. Selama kurun waktu itu berbagai masalah sering terjadi. Contoh, pesawat asing dapat masuk wilayah RI tanpa flight clearance, karena diberikan izin melintas oleh otoritas penerbangan setempat, dalam hal ini FIR Singapura. Masalah paling parah, Singapura telah menetapkan sepihak kawasan danger area di wilayah kedaulatan RI, yang berarti juga melarang pesawat-pesawat terbang Indonesia melintas di rumahnya sendiri (Chappy Hakim, 26/1/2022).
Diharapkan, kesepakatan tersebut, nantinya, menjadi tonggak pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan. Paling tidak, dua pasal berikut menjadi implementatif. Pada Pasal 5 tersurat: "Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia."Pasal 458 berbunyi: "Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak undang-undang ini berlaku.”
Sebagai bangsa berdaulat atas negerinya, kiranya kesepakatan itu dapat dimaknai sebagai kemajuan. Karenanya layak diapresiasi. Walau demikian, terselip pertanyaan, mengapa FIR wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna selama 76 tahun berada di tangan negara Singapura?
Jawabannya, karena sumber daya manusia (SDM) Indonesia lemah. Di dalam Paris Convenion for the Regulation of Aerial Navigation 1919 diakui adanya kedaulatan penuh negara di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya. Pengaturan ini sama dengan pengaturan ruang udara sebagaimana diatur dalam dalil hukum Romawi “cujust est solum est usque ad coelum”, artinya, “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.” Namun, perihal FIR suatu negara, bisa saja dikelola oleh negara lain, bila negara yang bersangkutan tidak mampu mengelolanya.
Penetapan kaveling-kaveling pelayanan navigasi udara sudah terbentuk pada 1945. Pelayanan ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna oleh Singapura mulai berlangsung pada 1946. Dasarnya, Konvensi ICAO di Dublin, Irlandia. Walaupun saat itu Singapura masih merupakan koloni Inggris, tetapi suatu fakta bahwa Singapura oleh dunia dipandang mumpuni dari aspek peralatan dan SDM. Sebaliknya, Indonesia baru saja merdeka. Berkecamuknya berbagai persoalan internal menjadikan SDM lemah. Bahkan, terpaksa absen dalam pertemuan di Dublin tersebut.
Penyebab lainnya diduga karena keengganan. Ada anggapan bahwa Singapura adalah investor terbesar di Indonesia yang membantu kondisi keuangan negara. Atau sebab lain lagi, yakni ada agenda tertentu yang sedang berproses dalam perjalanan proyek-proyek berkaitan dengan kewenangan otoritas penerbangan Singapura di wilayah kedaulatan Indonesia (Chappy Hakim, 26/1/2022).
Pertanyaan berikutnya, apakah sekarang SDM Indonesia bidang FIR sudah baik? Menurut Hikmahanto Juwana (26/1/2022), Indonesia mesti hati-hati. Mengapa? Karena perjanjian tersebut belum dibuka ke publik secara utuh. Masih sulit diketahui isi dan detail kebenarannya. Terkait masalah transparansi itu, beberapa hal dipertanyakan.
Pertama, Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Bila benar demikian, artinya batas ketinggian ini memungkinkan Bandara Changi tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan. Walaupun konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan, pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura. Mengapa tidak dikendalikan Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta?
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
SEBAGAI orang awam, dalam bingkai nasionalisme, saya tertegun. Ternyata ada masalah serius tentang kedaulatan negara atas ruang udara. Viral di berbagai media, Indonesia dan Singapura telah menyepakati penyesuaian pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna (Selasa, 25/1/2022). Selanjutnya, Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia, atau Airnav Indonesia, akan melayani FIR di atas wilayah itu.
Sebelumnya pelayanan FIR atas wilayah itu ditangani oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura selama 76 tahun. Selama kurun waktu itu berbagai masalah sering terjadi. Contoh, pesawat asing dapat masuk wilayah RI tanpa flight clearance, karena diberikan izin melintas oleh otoritas penerbangan setempat, dalam hal ini FIR Singapura. Masalah paling parah, Singapura telah menetapkan sepihak kawasan danger area di wilayah kedaulatan RI, yang berarti juga melarang pesawat-pesawat terbang Indonesia melintas di rumahnya sendiri (Chappy Hakim, 26/1/2022).
Diharapkan, kesepakatan tersebut, nantinya, menjadi tonggak pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan. Paling tidak, dua pasal berikut menjadi implementatif. Pada Pasal 5 tersurat: "Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia."Pasal 458 berbunyi: "Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 tahun sejak undang-undang ini berlaku.”
Sebagai bangsa berdaulat atas negerinya, kiranya kesepakatan itu dapat dimaknai sebagai kemajuan. Karenanya layak diapresiasi. Walau demikian, terselip pertanyaan, mengapa FIR wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna selama 76 tahun berada di tangan negara Singapura?
Jawabannya, karena sumber daya manusia (SDM) Indonesia lemah. Di dalam Paris Convenion for the Regulation of Aerial Navigation 1919 diakui adanya kedaulatan penuh negara di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya. Pengaturan ini sama dengan pengaturan ruang udara sebagaimana diatur dalam dalil hukum Romawi “cujust est solum est usque ad coelum”, artinya, “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.” Namun, perihal FIR suatu negara, bisa saja dikelola oleh negara lain, bila negara yang bersangkutan tidak mampu mengelolanya.
Penetapan kaveling-kaveling pelayanan navigasi udara sudah terbentuk pada 1945. Pelayanan ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna oleh Singapura mulai berlangsung pada 1946. Dasarnya, Konvensi ICAO di Dublin, Irlandia. Walaupun saat itu Singapura masih merupakan koloni Inggris, tetapi suatu fakta bahwa Singapura oleh dunia dipandang mumpuni dari aspek peralatan dan SDM. Sebaliknya, Indonesia baru saja merdeka. Berkecamuknya berbagai persoalan internal menjadikan SDM lemah. Bahkan, terpaksa absen dalam pertemuan di Dublin tersebut.
Penyebab lainnya diduga karena keengganan. Ada anggapan bahwa Singapura adalah investor terbesar di Indonesia yang membantu kondisi keuangan negara. Atau sebab lain lagi, yakni ada agenda tertentu yang sedang berproses dalam perjalanan proyek-proyek berkaitan dengan kewenangan otoritas penerbangan Singapura di wilayah kedaulatan Indonesia (Chappy Hakim, 26/1/2022).
Pertanyaan berikutnya, apakah sekarang SDM Indonesia bidang FIR sudah baik? Menurut Hikmahanto Juwana (26/1/2022), Indonesia mesti hati-hati. Mengapa? Karena perjanjian tersebut belum dibuka ke publik secara utuh. Masih sulit diketahui isi dan detail kebenarannya. Terkait masalah transparansi itu, beberapa hal dipertanyakan.
Pertama, Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Bila benar demikian, artinya batas ketinggian ini memungkinkan Bandara Changi tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan. Walaupun konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan, pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura. Mengapa tidak dikendalikan Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta?