Bahasa Politik Sang Kiai

Jum'at, 16 November 2018 - 08:15 WIB
Bahasa Politik Sang Kiai
Bahasa Politik Sang Kiai
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

PERATURAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 7 Tahun 2017 menjadwal pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) (dan pemilihan legislatif) tahun 2019 pada 14 April 2019. Dua tokoh politik mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres), yaitu Prabowo Subianto (didukung Partai Gerindra dan mitra koalisinya) dan Joko Widodo (calon petahana diusung PDIP dan mitra koalisinya).Kedua capres itu telah mempunyai cawapresnya sendiri-sendiri. Capres Prabowo Subianto dipasangkan dengan cawapres Sandiaga Salahuddin Uno, sementara capres petahana Joko Widodo disandingkan dengan KH Ma’ruf Amin. KPU telah melakukan pengundian nomor urut. Hasilnya, pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf mendapat nomor urut 01, sedang pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi memperoleh nomor urut 02. Pertarungan politik Prabowo-Jokowi merupakan tarung ulang pilpres 2014 di mana Prabowo kalah dari Jokowi.
Dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres pendamping capres Jokowi mempunyai kisah tersendiri. Semula Prof Dr Mahfud MD (mantan menteri pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) diskenariokan sebagai cawapres pendamping capres Jokowi. Menurut penuturan Mahfud di televisi di Jakarta, ia telah selesai melakukan ukur baju seragam yang akan dipakai bersama Jokowi saat melakukan pendaftaran capres-cawapres di KPU. Pengadilan Negeri Seleman, Yogyakarta, juga telah mengeluarkan surat pernyataan bahwa Mahfud tidak tersangkut perkara pidana.Pada detik-detik terakhir, capres Jokowi tidak jadi menggandeng Mahfud sebagai cawapres, tetapi mengusung KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. PBNU mengatakan, Prof Mahfud bukan “kader” NU (tidak pernah menjadi pimpinan misalnya di IPNU, GP Ansor, atau PMII). PBNU lebih sreg kalau Ma’ruf Amin menjadi cawapres pendamping Jokowi. Siapakah Ma’ruf Amin?
Prof Dr KH Ma'ruf Amin (75 tahun) lahir di Tangerang pada 11 Maret 1943. Tahun 1955, ia lulus dari Sekolah Rakyat Kresek (Tangerang). Dari 1955-1961, ia belajar di madrasah ibtidaiyah sampai aliyah di Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pada 1967 menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Chaldun Bogor. Ia berkhidmad sebagai dosen Fakultas UNNU Jakarta. Ma’ruf antara lain menempa kariernya di NU sebagai Ketua GP Ansor Jakarta (1964-1966), Ketua NU Jakarta (1966-1970), Katib Am Syuriah PBNU (1989-1994), Rois Syuriah PBNU (1994-1998), Mustasyar PBNU (1998), dan Rois Am PBNU (2015-2020). Ia mendapat amanah sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI (2001-2007), Ketua MUI (2007-2010), dan Ketua Umum MUI (2015-2020).

Ma’ruf aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebagai tokoh PPP, ia menjadi anggota DPR RI (1973-1977) dan anggota DPRD DKI Jakarta (1977-1982). Kariernya di PKB mengorbitkan dirinya antara lain menjadi anggota MPR RI (1997-1999), anggota DPR RI (1999-2004), Ketua Dewan Syuro PKB (1998), dan Mustasyar PKB (2002-2007). Selain aktivitas politik, Ma’ruf juga menggeluti kegiatan keagamaan sebagai Ketua Dewan Syariah Nasional (1996), anggota Komite Ahli Pengembangan Bank Syariah Bank Indonesia (1999), dan Ketua Harian Dewan Syariah Nasional MUI (2004-2010). Karena kepakarannya di bidang ilmu-ilmu agama dan pengaruhnya yang luas di kalangan komunitas muslim dan masyarakat pada umumnya, KH Ma’ruf dipercaya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2007-2010 dan 2010-2014).

Pada 9 Agustus 2018, capres petahana Jokowi secara resmi mengumumkan nama KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya pada pilpres 2019. Perjuangan dan pengalamannya yang banyak di NU menempatkan Ma’ruf Amin tidak diragukan lagi sebagai kader dan tokoh NU. Atas dasar inilah, PBNU “merestui” KH Ma’ruf –bukan Mahfud MD– sebagai cawapres pendamping capres Jokowi. Setelah resmi maju sebagai cawapres, KH Ma'ruf melepaskan jabatannya sebagai rais 'am PBNU.

Bahasa Politik Ma’ruf

Baru-baru ini KH Ma’ruf mencetuskan ekspresi politik yang menghentak. Ia menuding hanya orang budek, bisu, dan buta yang tidak bisa melihat prestasi Presiden Jokowi, misalnya membangun banyak infrastruktur dan ekonomi Indonesia tetap survive di tengah tekanan global. Menyitir Alquran, orang seperti itu, kata Ma’ruf, disebut shummum, bukmun, dan 'umyun.Ekspresi ini dalam Alquran sebenarnya ditujukan kepada kaum yang pura-pura masuk Islam (munafik) di Madinah yang merongrong dan memusuhi Islam dan umat Islam. Allah mengecam keras kemunafikan mereka dengan firman-Nya: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar),” (QS al-Baqarah:17-18).
Kaum munafik itu sebenarnya punya telinga, kalbu, lisan, dan mata, tetapi mereka menutup rapat pancaindra mereka untuk menerima kebenaran ajaran Allah dan mereka tidak akan kembali ke jalan yang benar. Ayat 18 Surah al-Baqarah dengan konteks dan konten kecaman keras kepada kaum munafik ini ditiru oleh KH Ma’ruf untuk menohok kubu sebelah yang tidak mau melihat prestasi Presiden Jokowi.Dalam konteks kontestasi politik menjelang pilpres, kritik tajam KH Ma’ruf tentu ditujukan ke kubu sebelah (kubu Prabowo-Sandi) yang antara lain mengritik kebijakan ekonomi Presiden Jokowi yang tidak prorakyat, terjadi ketimpangan ekonomi, harga barang-barang naik, dan hidup rakyat semakin susah. Dalam konteks inilah, ekspresi politik Ma’ruf harus dibaca.Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tidak terima dengan kritik KH Ma’ruf, Andre Rosiade (anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra) menilai bahasa politik Ma'ruf tidak memberikan kesejukan dan tidak mencerminkan sosok ulama besar.
Selain menirukan ekspresi bahasa Alquran shummum, bukmun, dan ‘umyun untuk menohok kubu sebelah, KH Ma’ruf juga meniru ungkapan bahasa Alquran dalam meneguhkan pendirian politiknya yang pro-Jokowi dengan mengatakan “lakum capreskum wa lana capresuna” (bagimu capresmu dan bagi kami capres kami). Ekspresi bahasa politik KH Ma’ruf ini ditiru dari Alquran Surah al-Kafirun ayat 6.KH Agus Solachul A’am Wahab Wahib (dzurriyah KH Wahab Hasbullah) prihatin dengan ekspresi bahasa politik KH Ma’ruf yang meniru-niru gaya bahasa Alquran itu. KH Agus menilai, ekspresi bahasa politik KH Ma’ruf Amin yang ia tiru dari Alquran itu telah “memolitisasi” ayat-ayat Alquran. Bagaimana pendapat para kiai dan ulama di Bahtsul Masail NU?
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4622 seconds (0.1#10.140)