Kedekatan Nasionalisme Populis dengan Agama, Ancaman untuk Suara yang Berbeda

Selasa, 02 April 2024 - 15:27 WIB
loading...
A A A
Mantan Presiden AS Donald Trump, meskipun ia tidak mendirikan gereja, ia pernah menunjukkan foto dirinya sedang memegang Alkitab pada saat yang genting, yaitu selama protes Black Lives Matter pada Juni 2020-yang menandai adanya politik agama dalam menantang para pengunjuk rasa.

Ekses-ekses itu menunjukkan bahwa para pemimpin populis hendak menggabungkan agama dan nasionalisme untuk melayani agenda politik mereka. Namun, bagi minoritas agama, simbolisme ini dapat membuat mereka merasa sebagai warga negara kedua.

Masa Depan Minoritas Agama
Di beberapa negara, aliansi antara kekuatan agama dan nasionalis populis mengancam hak-hak minoritas. Salah satu contohnya ditemukan di Malaysia, yang sejatinya memiliki keragaman etnis dan agama. Orang Melayu Muslim menjadi mayoritas, sementara komunitas Buddha, Kristen, dan Hindu hanya mencakup sepertiga dari total populasinya.

Seperti yang saya pelajari selama kunjungan saya baru-baru ini, Islam menjadi pusat perdebatan politik tentang nasionalisme di Malaysia. Misal, pada 13 Januari 2024, Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia, mengatakan bahwa warga etnis Tionghoa dan India di Malaysia tidak sepenuhnya “setia kepada negara” sehingga ia menawarkan asimilasi sebagai solusi.

Asimilasi etnis minoritas ke dalam mayoritas yang dimaksud barangkali tidak hanya sebatas bahasa dan budaya, karena konstitusi negara ini menghubungkan Islam dan identitas Melayu, yang terkenal dengan adagium: “Orang Melayu adalah muslim, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu.”

Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan. Baik pengadilan sipil maupun pengadilan syariat menolak hal tersebut dalam berbagai kasus.

Hubungan yang kuat antara agama dan nasionalisme Melayu mendorong otoritas Islam, seperti pengadilan syariat dan polisi syariat untuk memperluas pengaruh mereka. Di tahap selanjutnya, peningkatan Islamisasi pemerintah Malaysia, bagaimanapun juga, merupakan kekhawatiran bagi minoritas non-Muslim.

Sementara itu, minoritas Muslim di beberapa negara non-Muslim yang diperintah oleh kaum nasionalis populis mengkhawatirkan hak-hak mereka. Misal, di India, berdasarkan penelusuran Freedom House, pemerintah Modi menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap minoritas Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta orang. Kebijakan-kebijakan ini termasuk penghancuran properti-properti Muslim. Sampai-sampai buldoser pun menjadi simbol “Hindu-nasionalis” dan anti-Muslim di India.

Di Amerika Serikat, Trump kembali berjanji mengembalikan dan memperluas kebijakan “larangan Muslim” saat kampanyenya. Kebijakan ini merupakan perintah eksekutif yang melarang warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim tertentu untuk memasuki Amerika Serikat.

Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman banyak negara di seluruh dunia, kecenderungan untuk memajukan agenda nasionalis-religius membatasi suara-suara minoritas. Kecenderungan ini merupakan tantangan besar bagi cita-cita demokrasi dan kesetaraan warga negara di seluruh dunia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1152 seconds (0.1#10.140)