Kedekatan Nasionalisme Populis dengan Agama, Ancaman untuk Suara yang Berbeda
loading...
A
A
A
Ahmet T Kuru
Profesor Ilmu Politik
Direktur Center for Islamic & Arabic Studies, Universitas San Diego State
NOVEMBER 2023 lalu, saya mengunjungi Indonesia dan mengulas buku saya yang diterjemahkan, “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Saya menerima sambutan hangat dari masyarakat Indonesia atas buku yang berisi analisis akademik mengenai krisis politik dan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh banyak masyarakat Muslim saat ini.
Sambutan hangat dan ramah dari masyarakat Indonesia mendorong saya untuk mengunjungi negara tetangganya, Malaysia, dengan tujuan serupa untuk mempromosikan buku saya yang baru diterjemahkan ke bahasa Melayu. Namun, tidak disangka, kegiatan promosi buku saya menghadapi konfrontasi yang tidak beralasan, dan itu dihadapi sejak kedatangan pertama saya di Bandara Kuala Lumpur dengan mereka yang menyebut diri sebagai polisi.
Beberapa kelompok konservatif dan Islamis di Malaysia rupanya keliru melabeli saya di media sosial sebagai “liberal”-sebuah istilah yang digunakan oleh badan federal Malaysia yang mengelola urusan Islam untuk merujuk pada mereka yang menentang Islam Sunni, agama resmi di negara itu. Acara peluncuran buku saya kemudian dibatalkan.
Meski demikian, saya tetap mengisi beberapa acara diskusi lainnya. Lalu dua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai petugas polisi datang ke acara terakhir saya dan menginterogasi penerbit saya. Saat itu saya tetap melanjutkan acara diskusi tersebut.
Saat ingin meninggalkan Malaysia, petugas yang sama kembali menginterogasi saya dan mencoba menyita paspor saya di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Saat itu, saya akan melanjutkan penerbangan ke Pakistan. Namun, saya memutuskan untuk membatalkan serangkaian diskusi yang direncanakan di Lahore dan Islamabad, dan kembali ke Amerika Serikat.
Insiden yang saya alami di Malaysia itu menjadi sorotan media setempat, namun inspektur jenderal polisi Malaysia membantah bahwa otoritasnya mengirim petugas untuk mencekal saya. Lebih jauh, aktivis hak asasi manusia (HAM) Malaysia menyerukan untuk dilakukannya investigasi yang lebih menyeluruh terhadap kasus saya.
Sebagai seorang akademisi yang mengkaji agama dan politik dalam perspektif komparatif, saya tidak melihat apa yang saya alami sebagai contoh intoleransi agama yang terisolasi di negara-negara mayoritas Muslim. Sebaliknya, kejadian ini menunjukkan sesuatu yang lebih luas.
Penelitian saya menunjukkan bahwa ada peningkatan tren global yang menentang perbedaan pendapat dan pandangan agama minoritas. Adalah suatu yang penting untuk memahami ini melalui kacamata naiknya para pemimpin populis sayap kanan dalam tampuk kekuasaan di banyak negara, seperti Turki, Rusia, Israel, dan India, termasuk di negara seperti Amerika Serikat. Semua negara tersebut baru-baru ini mengalami kombinasi dari tiga gerakan: konservatisme agama, nasionalisme, dan populisme.
Agama dan Nasionalisme: Musuh Lama, Kawan baru
Dalam sejarah Kristen dan Muslim, nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap penegakkan agama. Setelah abad ke-16, di Eropa, seperti yang dijelaskan Benedict Anderson, nasionalisme muncul melalui perluasan bahasa-bahasa daerah, gereja-gereja nasional, dan negara-bangsa yang dalam batas tertentu bersitegang dengan bangsa Latin, Vatikan, dan dinasti-dinasti yang “ditasbihkan secara ilahi”.
Demikian pula, di banyak negara mayoritas Muslim, terdapat ketegangan antara kelompok Islamis dan nasionalis. Kelompok Islamis mendorong pendidikan agama tradisional dan hukum Islam, serta mendorong identitas Islam global. Sementara itu, kaum nasionalis memodernisasi sekolah-sekolah, membuat hukum sekuler, dan menekankan identitas nasional.
Ketegangan ini terus berlanjut sepanjang abad ke-20 di Turki. Kelompok nasionalis yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk mendirikan republik sekuler pada tahun 1920-an. Ada ketegangan perjuangan serupa di Mesir antara kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin dan perwira militer nasionalis yang membangun republik di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser pada tahun 1950-an.
Walakin, kekuatan agama dan nasionalis akhir-akhir sering kali menjadi sekutu politik, alih-alih saling berhadapan. Selama satu dekade, aliansi semacam ini terjalin baik di Rusia, antara Patriark Ortodoks Kirill dan Presiden Vladimir Putin. Aturan yang menghukum penghinaan agama diperluas, dan nilai-nilai Kristen Ortodoks dikembalikan ke dalam kurikulum sekolah.
Para analis mendefinisikan dukungan kuat Kirill untuk invasi Putin ke Ukraina sebagai cerminan ideologi nasionalis yang mereka anut.
Di Turki, Diyanet, otoritas utama keagamaan yang mengontrol masjid dan membayar gaji para imamnya, menjadi pilar penting dari pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, meskipun lembaga itu didirikan oleh Ataturk untuk melayani kebijakan nasionalis sekular. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan mewakili Islamisme selama satu dekade, juga berkoalisi dengan Partai Aksi Nasionalis (MHP) yang mengarusutamakan agenda nasionalis.
Di dunia Arab, ada pertikaian antara Mesir nasionalis sekuler Nasser dan negara Islam Arab Saudi pada tahun 1950-an dan 1960-an. Sekarang tidak lagi. Mesir, yang telah beralih ke Islamisme dengan konstitusi yang mengacu pada syariah sebagai sumber hukum sejak 1980, dan Arab Saudi, yang baru-baru ini menjadi dianggap makin kurang Islamis dan menjadi lebih nasionalis melalui reformasi Putra Mahkota Mohammed bin Salman, kini menjadi sekutu regional.
Era Pemimpin Populis
Apa yang menjelaskan transformasi hubungan antara agama dan nasionalisme ini? Saya meyakini bahwa populisme adalah perekat yang menyatukan keduanya. Kelompok populis sering mengklaim bahwa mereka membela “rakyat” dari para elite dan minoritas, terutama para imigran.
Belakangan, para pemimpin nasionalis populis menggunakan simbol-simbol agama untuk memobilisasi konstituen mereka. Misal, pada 2016, Putin mendirikan Katedral Ortodoks di Paris di tepi Sungai Seine, dekat Menara Eiffel.
Pada 2020, Erdogan mendeklarasikan Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Hagia Sophia pernah menjadi gereja selama lebih dari satu milenium hingga penaklukan Ottoman di Istanbul pada 1453 dan menjadi masjid selama sekitar 500 tahun hingga Ataturk menjadikannya museum.
Baru-baru ini, pada 22 Januari 2024, Perdana Menteri India Narendra Modi meresmikan kuil Hindu di Ayodhya, lokasinya di sebuah masjid yang telah dibangun pada tahun 1528 tetapi dihancurkan dengan kejam pada 1992 oleh para radikal Hindu, setelah satu abad kontroversi atas tanah tersebut.
Mantan Presiden AS Donald Trump, meskipun ia tidak mendirikan gereja, ia pernah menunjukkan foto dirinya sedang memegang Alkitab pada saat yang genting, yaitu selama protes Black Lives Matter pada Juni 2020-yang menandai adanya politik agama dalam menantang para pengunjuk rasa.
Ekses-ekses itu menunjukkan bahwa para pemimpin populis hendak menggabungkan agama dan nasionalisme untuk melayani agenda politik mereka. Namun, bagi minoritas agama, simbolisme ini dapat membuat mereka merasa sebagai warga negara kedua.
Masa Depan Minoritas Agama
Di beberapa negara, aliansi antara kekuatan agama dan nasionalis populis mengancam hak-hak minoritas. Salah satu contohnya ditemukan di Malaysia, yang sejatinya memiliki keragaman etnis dan agama. Orang Melayu Muslim menjadi mayoritas, sementara komunitas Buddha, Kristen, dan Hindu hanya mencakup sepertiga dari total populasinya.
Seperti yang saya pelajari selama kunjungan saya baru-baru ini, Islam menjadi pusat perdebatan politik tentang nasionalisme di Malaysia. Misal, pada 13 Januari 2024, Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia, mengatakan bahwa warga etnis Tionghoa dan India di Malaysia tidak sepenuhnya “setia kepada negara” sehingga ia menawarkan asimilasi sebagai solusi.
Asimilasi etnis minoritas ke dalam mayoritas yang dimaksud barangkali tidak hanya sebatas bahasa dan budaya, karena konstitusi negara ini menghubungkan Islam dan identitas Melayu, yang terkenal dengan adagium: “Orang Melayu adalah muslim, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu.”
Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan. Baik pengadilan sipil maupun pengadilan syariat menolak hal tersebut dalam berbagai kasus.
Hubungan yang kuat antara agama dan nasionalisme Melayu mendorong otoritas Islam, seperti pengadilan syariat dan polisi syariat untuk memperluas pengaruh mereka. Di tahap selanjutnya, peningkatan Islamisasi pemerintah Malaysia, bagaimanapun juga, merupakan kekhawatiran bagi minoritas non-Muslim.
Sementara itu, minoritas Muslim di beberapa negara non-Muslim yang diperintah oleh kaum nasionalis populis mengkhawatirkan hak-hak mereka. Misal, di India, berdasarkan penelusuran Freedom House, pemerintah Modi menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap minoritas Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta orang. Kebijakan-kebijakan ini termasuk penghancuran properti-properti Muslim. Sampai-sampai buldoser pun menjadi simbol “Hindu-nasionalis” dan anti-Muslim di India.
Di Amerika Serikat, Trump kembali berjanji mengembalikan dan memperluas kebijakan “larangan Muslim” saat kampanyenya. Kebijakan ini merupakan perintah eksekutif yang melarang warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim tertentu untuk memasuki Amerika Serikat.
Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman banyak negara di seluruh dunia, kecenderungan untuk memajukan agenda nasionalis-religius membatasi suara-suara minoritas. Kecenderungan ini merupakan tantangan besar bagi cita-cita demokrasi dan kesetaraan warga negara di seluruh dunia.
Kekhawatiran ini juga bersifat personal bagi saya. Sebagai seorang Muslim Amerika, saya ingin tetap menikmati kewarganegaraan yang setara di Amerika Serikat dan mendiskusikan tentang Islam di negara-negara mayoritas Muslim tanpa dilecehkan oleh polisi.
* Artikel diterjemahkan Rahma Sekar Andini dari bahasa Inggris, disunting oleh Savran Billahi
Profesor Ilmu Politik
Direktur Center for Islamic & Arabic Studies, Universitas San Diego State
NOVEMBER 2023 lalu, saya mengunjungi Indonesia dan mengulas buku saya yang diterjemahkan, “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Saya menerima sambutan hangat dari masyarakat Indonesia atas buku yang berisi analisis akademik mengenai krisis politik dan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh banyak masyarakat Muslim saat ini.
Sambutan hangat dan ramah dari masyarakat Indonesia mendorong saya untuk mengunjungi negara tetangganya, Malaysia, dengan tujuan serupa untuk mempromosikan buku saya yang baru diterjemahkan ke bahasa Melayu. Namun, tidak disangka, kegiatan promosi buku saya menghadapi konfrontasi yang tidak beralasan, dan itu dihadapi sejak kedatangan pertama saya di Bandara Kuala Lumpur dengan mereka yang menyebut diri sebagai polisi.
Beberapa kelompok konservatif dan Islamis di Malaysia rupanya keliru melabeli saya di media sosial sebagai “liberal”-sebuah istilah yang digunakan oleh badan federal Malaysia yang mengelola urusan Islam untuk merujuk pada mereka yang menentang Islam Sunni, agama resmi di negara itu. Acara peluncuran buku saya kemudian dibatalkan.
Meski demikian, saya tetap mengisi beberapa acara diskusi lainnya. Lalu dua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai petugas polisi datang ke acara terakhir saya dan menginterogasi penerbit saya. Saat itu saya tetap melanjutkan acara diskusi tersebut.
Saat ingin meninggalkan Malaysia, petugas yang sama kembali menginterogasi saya dan mencoba menyita paspor saya di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Saat itu, saya akan melanjutkan penerbangan ke Pakistan. Namun, saya memutuskan untuk membatalkan serangkaian diskusi yang direncanakan di Lahore dan Islamabad, dan kembali ke Amerika Serikat.
Insiden yang saya alami di Malaysia itu menjadi sorotan media setempat, namun inspektur jenderal polisi Malaysia membantah bahwa otoritasnya mengirim petugas untuk mencekal saya. Lebih jauh, aktivis hak asasi manusia (HAM) Malaysia menyerukan untuk dilakukannya investigasi yang lebih menyeluruh terhadap kasus saya.
Sebagai seorang akademisi yang mengkaji agama dan politik dalam perspektif komparatif, saya tidak melihat apa yang saya alami sebagai contoh intoleransi agama yang terisolasi di negara-negara mayoritas Muslim. Sebaliknya, kejadian ini menunjukkan sesuatu yang lebih luas.
Penelitian saya menunjukkan bahwa ada peningkatan tren global yang menentang perbedaan pendapat dan pandangan agama minoritas. Adalah suatu yang penting untuk memahami ini melalui kacamata naiknya para pemimpin populis sayap kanan dalam tampuk kekuasaan di banyak negara, seperti Turki, Rusia, Israel, dan India, termasuk di negara seperti Amerika Serikat. Semua negara tersebut baru-baru ini mengalami kombinasi dari tiga gerakan: konservatisme agama, nasionalisme, dan populisme.
Agama dan Nasionalisme: Musuh Lama, Kawan baru
Dalam sejarah Kristen dan Muslim, nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap penegakkan agama. Setelah abad ke-16, di Eropa, seperti yang dijelaskan Benedict Anderson, nasionalisme muncul melalui perluasan bahasa-bahasa daerah, gereja-gereja nasional, dan negara-bangsa yang dalam batas tertentu bersitegang dengan bangsa Latin, Vatikan, dan dinasti-dinasti yang “ditasbihkan secara ilahi”.
Demikian pula, di banyak negara mayoritas Muslim, terdapat ketegangan antara kelompok Islamis dan nasionalis. Kelompok Islamis mendorong pendidikan agama tradisional dan hukum Islam, serta mendorong identitas Islam global. Sementara itu, kaum nasionalis memodernisasi sekolah-sekolah, membuat hukum sekuler, dan menekankan identitas nasional.
Ketegangan ini terus berlanjut sepanjang abad ke-20 di Turki. Kelompok nasionalis yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk mendirikan republik sekuler pada tahun 1920-an. Ada ketegangan perjuangan serupa di Mesir antara kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin dan perwira militer nasionalis yang membangun republik di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser pada tahun 1950-an.
Walakin, kekuatan agama dan nasionalis akhir-akhir sering kali menjadi sekutu politik, alih-alih saling berhadapan. Selama satu dekade, aliansi semacam ini terjalin baik di Rusia, antara Patriark Ortodoks Kirill dan Presiden Vladimir Putin. Aturan yang menghukum penghinaan agama diperluas, dan nilai-nilai Kristen Ortodoks dikembalikan ke dalam kurikulum sekolah.
Para analis mendefinisikan dukungan kuat Kirill untuk invasi Putin ke Ukraina sebagai cerminan ideologi nasionalis yang mereka anut.
Di Turki, Diyanet, otoritas utama keagamaan yang mengontrol masjid dan membayar gaji para imamnya, menjadi pilar penting dari pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, meskipun lembaga itu didirikan oleh Ataturk untuk melayani kebijakan nasionalis sekular. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan mewakili Islamisme selama satu dekade, juga berkoalisi dengan Partai Aksi Nasionalis (MHP) yang mengarusutamakan agenda nasionalis.
Di dunia Arab, ada pertikaian antara Mesir nasionalis sekuler Nasser dan negara Islam Arab Saudi pada tahun 1950-an dan 1960-an. Sekarang tidak lagi. Mesir, yang telah beralih ke Islamisme dengan konstitusi yang mengacu pada syariah sebagai sumber hukum sejak 1980, dan Arab Saudi, yang baru-baru ini menjadi dianggap makin kurang Islamis dan menjadi lebih nasionalis melalui reformasi Putra Mahkota Mohammed bin Salman, kini menjadi sekutu regional.
Era Pemimpin Populis
Apa yang menjelaskan transformasi hubungan antara agama dan nasionalisme ini? Saya meyakini bahwa populisme adalah perekat yang menyatukan keduanya. Kelompok populis sering mengklaim bahwa mereka membela “rakyat” dari para elite dan minoritas, terutama para imigran.
Belakangan, para pemimpin nasionalis populis menggunakan simbol-simbol agama untuk memobilisasi konstituen mereka. Misal, pada 2016, Putin mendirikan Katedral Ortodoks di Paris di tepi Sungai Seine, dekat Menara Eiffel.
Pada 2020, Erdogan mendeklarasikan Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Hagia Sophia pernah menjadi gereja selama lebih dari satu milenium hingga penaklukan Ottoman di Istanbul pada 1453 dan menjadi masjid selama sekitar 500 tahun hingga Ataturk menjadikannya museum.
Baru-baru ini, pada 22 Januari 2024, Perdana Menteri India Narendra Modi meresmikan kuil Hindu di Ayodhya, lokasinya di sebuah masjid yang telah dibangun pada tahun 1528 tetapi dihancurkan dengan kejam pada 1992 oleh para radikal Hindu, setelah satu abad kontroversi atas tanah tersebut.
Mantan Presiden AS Donald Trump, meskipun ia tidak mendirikan gereja, ia pernah menunjukkan foto dirinya sedang memegang Alkitab pada saat yang genting, yaitu selama protes Black Lives Matter pada Juni 2020-yang menandai adanya politik agama dalam menantang para pengunjuk rasa.
Ekses-ekses itu menunjukkan bahwa para pemimpin populis hendak menggabungkan agama dan nasionalisme untuk melayani agenda politik mereka. Namun, bagi minoritas agama, simbolisme ini dapat membuat mereka merasa sebagai warga negara kedua.
Masa Depan Minoritas Agama
Di beberapa negara, aliansi antara kekuatan agama dan nasionalis populis mengancam hak-hak minoritas. Salah satu contohnya ditemukan di Malaysia, yang sejatinya memiliki keragaman etnis dan agama. Orang Melayu Muslim menjadi mayoritas, sementara komunitas Buddha, Kristen, dan Hindu hanya mencakup sepertiga dari total populasinya.
Seperti yang saya pelajari selama kunjungan saya baru-baru ini, Islam menjadi pusat perdebatan politik tentang nasionalisme di Malaysia. Misal, pada 13 Januari 2024, Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia, mengatakan bahwa warga etnis Tionghoa dan India di Malaysia tidak sepenuhnya “setia kepada negara” sehingga ia menawarkan asimilasi sebagai solusi.
Asimilasi etnis minoritas ke dalam mayoritas yang dimaksud barangkali tidak hanya sebatas bahasa dan budaya, karena konstitusi negara ini menghubungkan Islam dan identitas Melayu, yang terkenal dengan adagium: “Orang Melayu adalah muslim, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu.”
Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan. Baik pengadilan sipil maupun pengadilan syariat menolak hal tersebut dalam berbagai kasus.
Hubungan yang kuat antara agama dan nasionalisme Melayu mendorong otoritas Islam, seperti pengadilan syariat dan polisi syariat untuk memperluas pengaruh mereka. Di tahap selanjutnya, peningkatan Islamisasi pemerintah Malaysia, bagaimanapun juga, merupakan kekhawatiran bagi minoritas non-Muslim.
Sementara itu, minoritas Muslim di beberapa negara non-Muslim yang diperintah oleh kaum nasionalis populis mengkhawatirkan hak-hak mereka. Misal, di India, berdasarkan penelusuran Freedom House, pemerintah Modi menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap minoritas Muslim yang berjumlah sekitar 200 juta orang. Kebijakan-kebijakan ini termasuk penghancuran properti-properti Muslim. Sampai-sampai buldoser pun menjadi simbol “Hindu-nasionalis” dan anti-Muslim di India.
Di Amerika Serikat, Trump kembali berjanji mengembalikan dan memperluas kebijakan “larangan Muslim” saat kampanyenya. Kebijakan ini merupakan perintah eksekutif yang melarang warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim tertentu untuk memasuki Amerika Serikat.
Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman banyak negara di seluruh dunia, kecenderungan untuk memajukan agenda nasionalis-religius membatasi suara-suara minoritas. Kecenderungan ini merupakan tantangan besar bagi cita-cita demokrasi dan kesetaraan warga negara di seluruh dunia.
Kekhawatiran ini juga bersifat personal bagi saya. Sebagai seorang Muslim Amerika, saya ingin tetap menikmati kewarganegaraan yang setara di Amerika Serikat dan mendiskusikan tentang Islam di negara-negara mayoritas Muslim tanpa dilecehkan oleh polisi.
* Artikel diterjemahkan Rahma Sekar Andini dari bahasa Inggris, disunting oleh Savran Billahi
(poe)