Prospek Industri Hijau Menyongsong Indonesia Emas 2045

Selasa, 02 April 2024 - 15:07 WIB
loading...
Prospek Industri Hijau...
Muh Jusrianto, Sekretaris Jenderal PB HMI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Muh Jusrianto
Sekretaris Jenderal PB HMI
Mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad Bandung

PERKEMBANGAN industrialisasi telah mencapai fase yang kian kompleks. Gejala yang mengorbit dewasa ini hendak disertai dengan disrupsi terhadap tatanan sosial ekonomi masyarakat yang notabene merupakan landasan bagi proses akselerasi pembangunan. Kendati demikian, trayektori industrialisasi tampak masih menyisakan catatan, tidak hanya tentang kemajuan an-sich, melainkan pula destruksi pada lingkungan hidup.

Persoalan lingkungan hidup seperti deforestasi, perubahan iklim, polusi serta penipisan sumber daya alam merupakan konsekuensi logis dari industrialisasi yang cenderung mengesampingkan perhitungan ekologis dari kegiatan bisnis dan ekonomi. Besarnya orientasi pada akumulasi dan ekspansi kapital, pada akhirnya, mendiskreditkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal inilah yang selama dekade terakhir banyak ditentang.

Joseph Stiglitz, et.al., (2009), semisal, bahkan secara eksplisit menyampaikan keraguannya terhadap metode PDB sebagai tolak ukur kemajuan. Pemikiran yang mengalasi keraguan tersebut, salah satunya disebabkan adanya tendensi pengabaian ekologi di satu sisi dan memprioritaskan pertumbuhan pada sisi lainnya.

Karenanya, dalam diskursus ekonomi dan bisnis kontemporer, muncul aneka koreksi dengan mendorong variabel lingkungan sebagai faktor yang mestinya dihitung dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Jika mencermati dinamika yang muncul di sektor industri, pengarusutamaan terhadap teknologi hijau (green technology) sudah menjadi trend korporasi multinasional dalam mengambil keputusan bisnisnya.

Trend tersebut menunjukkan kalau sektor bisnis mempunyai komitmen yang positif dalam menjalankan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, pembangunan yang berorientasi pada masa depan harus mempunyai karakter dan kepedulian dengan lingkungan hidup, di mana upaya itu hendak diwujudkan melalui angkah-langkah strategis bisnis dan ekonomi.

Bangkitnya kesadaran mengenai pentingnya kelestarian lingkungan membuat isu ini semakin mendapat tempat dan relevansi untuk diadopsi dalam sebuah kebijakan, dimana secara substansial, kebijakan tersebut diletakkan ke dalam kerangka transisi energi. Faktanya, dalam Presidency G20 Indonesia, ekologi menjadi isu utama yang dibahas sembari menegaskan komitmen politik demi mendorong pengembangan industri hijau.

Indonesia sendiri memang telah menunjukkan komitmen pada industri hijau. Komitmen ini bukan hanya lip service, namun telah diterjemahkan ke dalam langkah strategis seperti menyusun Standar Industri Hijau, menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), penyelenggaraan nilai karbon berdasar Peraturan Presiden No 98/2021, dan menggelar penganugerahan Penghargaan Industri Hijau.

Setidaknya, berdasarkan data dari Kemenperin, dalam kurun waktu 2021 ada sebanyak 137 perusahaan industri, yang terdiri dari 88 industri di level lima dan 49 industri di level empat sudah mendapat penghargaan industri hijau. Sedangkan selama 2017-2021, sebanyak 44 perusahaan industri menerima sertifikat industri hijau (Kemenperin.go.id, 30/11/2021). Data tersebut merefleksikan langkah konkret sektor industri di dalam menjalankan prinsip industri hijau.

Apa Itu Industri Hijau?
Dalam dekade terakhir sistem industri berbasis lingkungan atau lebih dikenal dengan term industri hijau (green industry) menjadi fenomena yang semakin tidak terhindarkan (Handoko, et.al, 2016). Tidak sedikit perusahaan yang kini mulai menerapkan konsep green industry di dalam kegiatan bisnisnya, seperti terpotret dari data Kemenperin sebelumnya. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran sektor industri dalam melestarikan lingkungan.

Logika efisiensi dan kelestarian lingkungan yang ditandai dengan kewajiban sertifikasi standar nasional (Lihat: Permen LHK) sehubungan dengan industri hijau yang semakin mengakar dalam benak masyarakat modern menunjukan bahwa kesadaran akan industri hijau beranjak melampaui perspektif klasik terkait produktivitas, efisiensi dan efektivitas. Artinya, dalam mewujudkan green industry Indonesia telah menerapkan regulasi untuk standarisasi.

Terminologi green industry merupakan istilah yang terbilang baru. Istilah ini mulai dibicarakan pada agenda “International Conference on Green Industry in Asia”, Manila, Filipina, pada 2009, atas dasar kerjasama antara United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), United Nation Environment Programme (UNEP), United Nation Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP), dan dihadiri oleh 22 negara termasuk Indonesia (Handoko, 2020).

Dari pertemuan inilah kemudian dihasilkan sebuah dokumen bertajuk “Manila Declaration on Green Industry in Asia”, yang secara substansi dokumen ini merupakan bentuk komitmen kolektif negara-negara Asia dalam upaya menangani problem lingkungan hidup melalui efisiensi penggunaan sumber daya dan pengurangan emisi gas karbon, utamanya sektor industri. Menurut Handoko (2020) efisiensi sumber daya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse dan Recycle) sebagai inti dari cleaner production.

Prinsip tersebut merupakan pendekatan multidisipliner dari green industry, di mana upaya mewujudkan efisiensi industri serta mengurangi emisi karbon, hendak dilakukan dengan cara memadukan dua pendekatan, yakni konsep ekonomi sirkular dan cleaner production. Semakin hemat atau sedikit memanfaatkan sumber daya, maka proses yang dijalankan industri dapat dikatakan efisien. Hal ini berpijak pada prinsip penggunaan sumber daya secara minimum ditujukan untuk mencapai hasil yang optimum.

Cara pandang di atas memungkinkan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan melalui pengurangan emisi karbon lebih dimungkinkan terwujud. Secara definitif, green industry diartikan sebagai konsep industri yang mengutamakan upaya pengoptimalan sumber daya alam dalam proses produksinya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan proses pembangunan industri dengan kelestarian lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat (Permen No 51/M-IND/PER/6/2016).

Jadi green industry hendak berorientasi pada proses produksi yang ramah bagi lingkungan. Pendekatan berbasis lingkungan sejatinya menjadi cara pandang baru yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat global (Wijayaningtyas, 2019). Hal ini bermakna jika kegiatan bisnis dan ekonomi masa depan mestilah memiliki karakter ekologi yang kokoh.

Kendati secara implisit pengertian tersebut memiliki tendensi “reduksionis” dikarenakan green industry hanya difokuskan pada proses produksi yang ramah bagi lingkungan, tapi secara substansial green industry tidak hanya terkait dengan aspek produksi. Lebih dari itu, green industry memiliki cakupan yang luas baik dari sisi perencanaan, desain produk, transportasi, penggunaan produk hingga pembuangan limbah. Prinsipnya adalah aktivitas industri harus sejalan dengan lingkungan.

Cakupan yang luas dan mendalam dari green industry tentu berkaitan erat dengan semangat keberlanjutan yang inheren dari konsep ini. Keberlanjutan dalam konteks ini tidak hanya menyangkut kelestarian lingkungan semata, melainkan lebih dari itu bagaimana pembangunan membawa visi masa depan bagi generasi mendatang. Apalagi di tengah tantangan zaman yang dikenal dengan terminologi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) mengharuskan sektor industri untuk remodelisasi kegiatan bisnisnya agar dapat beradaptasi.

Realita baru yang terpampang nyata inilah yang turut menstimulasi para pelaku bisnis dan ekonomi untuk mengalihkan perhatian mereka dari pemanfaatan energi fosil ke energi baru terbarukan sebagai alternatifnya. Tujuan utama dari hal ini adalah optimalisasi dalam rangka membangun industri yang sustainable.

Peluang dan Tantangan
Green industry merupakan suatu terobosan strategis di tengah ancaman krisis iklim dan kerusakan ekologis akibat dari masifnya agenda pembangunan dan industrialisasi. Sebagai sebuah terobosan, green industry dapat ditempatkan solusi dalam mewujudkan titik ekuilibrium bagi kesejahteraan masyarakat lintas generasi. Karenanya, green industry bukan lahir dari kepentingan yang bersifat jangka pendek, melainkan membentang luas ke depan menyediakan sokongan bagi kehidupan generasi mendatang.

Industri yang berorientasi pada masa depan patut didukung. Bagaimanapun juga, sumber daya alam dan sumber daya manusia, sekalipun memiliki irisan tetap saja memiliki titik pembeda. Tidak seperti sumber daya manusia, dalam sumber daya alam ditemukan fakta kalau jenis ini memiliki keterbatasan dan tidak bisa direproduksi manakala cadangannya telah habis.

Fakta sumber daya alam memiliki keterbatasan, sementara di saat yang sama populasi manusia terus bertambah, membuat konsep green industry semakin relevan untuk ditumbuh kembangkan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Hubungan lingkungan alam dengan masa depan ekonomi manusia telah menjadi diskursus panjang para ekonom sejak berabad-abad silam.

Malthus menelaah relasi lingkungan dan masa depan ekonomi manusia lewat usahanya dalam menyelidiki konsekuensi-konsekuensi sosial dari cepatnya pertumbuhan penduduk dalam konteks keterbatasan sumberdaya lingkungan yang menghasilkan bahan pangan terhadap penduduk (Goldblatt, 2015). Ada semacam kekhawatiran jika kelak alam tidak lagi mampu menyediakan bahan pangan di tengah populasi yang terus bertambah.

Dalam konteks seperti inilah gagasan green industry patut dipertahankan dan dikembangkan lantara memiliki nilai ekonomi dan bisnis yang menjanjikan di bawah prinsip-prinsip keberlanjutan. Hal ini dikarenakan penerapan green industry berpeluang menghemat biaya pengelolaan pembuangan limbah dan mengurangi beban biaya penggunaan energi akibat proses transisi energi baru terbarukan (renewable energy).

Selain itu, green industry juga diyakini dapat mengurangi beban biaya dalam konteks kesehatan yang dihasilkan akibat dampak kerusakan lingkungan dan polusi udara. Melalui green industry, upaya untuk menciptakan inovasi yang berkelanjutan di aspek teknologi hijau atau energi baru terbarukan potensial diwujudkan.

Mewujudkan industri yang berkelanjutan memang bukanlah perkara mudah. Perlu waktu dan komitmen politik guna merealisasikannya. Di titik ini, negara perlu mengambil peranan substantif, melalui pembenahan terhadap berbagai sektor serta memperkuat kolaborasi dengan elemen-elemen terkait, sebagai langkah awal dalam melaksanakan energi hijau yang berkelanjutan. Langkah ini menjadi katalisator dalam meningkatkan perekonomian nasional dan ikut mengorbit Indonesia menuju cita-cita emas 2045.

Karena itu, tindakan-tindakan strategis tetap diperlukan untuk mewujudkan green industry yang berkelanjutan. Negara mesti menjamin kelancaran proses pergerakan kapital. Sementara di saat yang sama, pemerintah juga selayaknya mengutamakan praktik manajemen hijau dalam kegiatan ekonomi dan bisnis di berbagai tingkatan industri.

Pada akhirnya, pemerintah mesti menyiapkan stimulus berupa insentif pada pelaku bisnis dan ekonomi yang memiliki komitmen politik dalam menjaga kelestarian lingkungan. Insentif ini diharapkan dapat menarik pelaku usaha lainnya agar berpartisipasi dalam menerapkan prinsip-prinsip green industry. Sebaliknya, para pelaku usaha yang tidak memiliki komitmen politik tersebut, secara tegas harus diberikan disinsentif.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0995 seconds (0.1#10.140)