Kejahatan Pemilu, Siapa Bertanggung Jawab?
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
PERISTIWA kecurangan Pemilu 2024 terjadi secara transparan bahkan diketahui Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Pintu terdepan mengungkap kecurangan pemilu adalah penggunaan Sirekap untuk menyusun rekapitulasi hasil pemungutan suara di TPS-TPS dengan harapan hasil penghitungan suara secara nasional dapat diketahui dengan cepat dan dipastikan proses rekapitulasi menggunakan sistem teknologi digitalisasi yang modern.
Jujur diakui bahwa penghitungan suara secara manual mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) daerah-daerah sampai pada tingkat provinsi dan Ibu Kota lebih teliti dan akurat akan tetapi memerlukan waktu lama. Sistem pemilu berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 menganut penghitungan suara secara berjenjang di 38 provinsi meliputi lebih dari ratusan ribu TPS di seluruh Indonesia, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesulitan yang tinggi sampai pada hasil akhir yang menentukan siapa pemenang kontestasi baik pasangan calon presiden/wakil presiden dan siapa-siapa yang lolos masuk Senayan baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sistem berjenjang dari TPS di kecamatan sampai di provinsi yang berjumlah 38 provinsi dan sampai di KPU Pusat memerlukan tangan-tangan ahli yang terampil, jujur, dan cerdas dan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Kecanggihan sistem teknologi digital dapat juga mengakibatkan kesalahan penghitungan suara. Jika kesalahan kecil seperti angka 4 menjadi 8 atau 3 jadi 5 hal yang wajar menurut Roy Suryo, akan tetapi jika kesalahan hitung sampai ratusan atau ribuan suara tidak lagi kelalaian melainkan termasuk kesengajaan alias kecurangan yang disengaja dan dipersiapkan sejak lama.
Dalam konteks doktrin hukum pidana, langkah tindakan tersebut termasuk sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk) yang merupakan bentuk kesalahan besar (gross-dolus) dan dapat diancam dengan hukuman penjara maksimum lima tahun dan denda maksimum Rp1 miliar. Dalam konteks kriminologi, tindakan yang mengakibatkan kerugian materiil dan immaterial bagi lebih dari seratus korban sama dengan kejahatan berat dan direncanakan/dipersiapkan secara sistematis dan terstruktur dengan dampak secara masif, tidak lagi dapat digolongkan sebagai pelanggaran biasa.
Dalam konteks hukum pidana, tindakan sedemikian termasuk tindak pidana permufakatan jahat yang melibatkan sekelompok orang termasuk oknum penyelenggara panitia pemilu. Jika tindakan tersebut melibatkan aparat negara, maka telah terjadi selain tindak pidana juga penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khusus ketentuan Pasal 17 jo Pasal 18 dengan ancaman sanki pemecatan dan dipidana.
Merujuk pada doktrin hukum pidana, kriminologi, dan UU Administrasi Pemerintahan tersebut, harus ditemukan siapa yang bertanggung jawab melakukan kejahatan Pemilu 2024: siapa pelaku perencana atau actor intellectualis, siapa yang ikut serta dalam kejahatan pemilu tersebut, siapa yang menyuruh melakukan, dan siapa yang memberikan bantuan dalam kejahatan pemilu tersebut.
Seluruh norma regulasi penyelenggaraan pemilu, seketat apa pun yang terbaca menjadi sirna tidak bermakna dan memiliki efek jera yang efektif jika kemudian norma larangan dan norma sanksi, sengaja dengan maksud atau tidak, dibuat lemah, rata-rata ancaman sanksi paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp12 juta. Bahkan, masih tercantum ancaman paling lama 6 (enam) bulan dan denda Rp2 juta.
Sisi lain dari kelemahan UU Pemilu Tahun 2017 yaitu dibedakan antara pelanggaran etik, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran pidana tanpa mengkaji sungguh-sungguh makna ketiga jenis pelanggaran tersebut dari aspek penggunaan HAK RAKYAT UNTUK BERDAULAT, YAITU SATU-SATUNYA HAK RAKYAT YANG MASIH UTUH LENGKAP YANG BERBEDA DENGAN HAK RAKYAT UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN SOSIAL DAN PERSAMAAN DI MUKA SERTA PERLAKUAN YANG ADIL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI.
Selain masalah tersebut, masalah pembuktian ada tidaknya pelanggaran pemilu (tiga jenis pelanggaran) tampaknya sangat mustahil mengingat keterlibatan ASN dan Aparatur Negara lainnya yang bersifat TSM dan saksi-saksi yang diliputi ketakutan karena intimidasi dan ancaman fisik baik bagi yang bersangkutan maupun keluarganya.
Selain masalah tersebut juga proses pembuktian sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) memerlukan waktu terbatas sampai putusan, hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak memungkinkan Majelis Hakim MK dapat bertindak teliti dan jernih serta objektif memberikan penilaian benar salahnya suatu kasus pemilu.
Pembuktian kecurangan pemilu memerlukan saksi-saksi baik saksi di TPS-TPS sampai saksi-saksi Sirekap penghitungan suara TPS-TPS. Memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit sehingga jika tidak dapat dicukupi dipastikan kejahatan pemilu tidak akan dapat diungkapkan. Jika kemudian terbukti ada kecurangan, maka pihak penyelenggara, KPU secara keseluruhan dan pelaksana tugas pada khususnya bertanggung jawab atas kecurangan tersebut, tidak terkecuali.
PERISTIWA kecurangan Pemilu 2024 terjadi secara transparan bahkan diketahui Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Pintu terdepan mengungkap kecurangan pemilu adalah penggunaan Sirekap untuk menyusun rekapitulasi hasil pemungutan suara di TPS-TPS dengan harapan hasil penghitungan suara secara nasional dapat diketahui dengan cepat dan dipastikan proses rekapitulasi menggunakan sistem teknologi digitalisasi yang modern.
Jujur diakui bahwa penghitungan suara secara manual mulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) daerah-daerah sampai pada tingkat provinsi dan Ibu Kota lebih teliti dan akurat akan tetapi memerlukan waktu lama. Sistem pemilu berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 menganut penghitungan suara secara berjenjang di 38 provinsi meliputi lebih dari ratusan ribu TPS di seluruh Indonesia, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesulitan yang tinggi sampai pada hasil akhir yang menentukan siapa pemenang kontestasi baik pasangan calon presiden/wakil presiden dan siapa-siapa yang lolos masuk Senayan baik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sistem berjenjang dari TPS di kecamatan sampai di provinsi yang berjumlah 38 provinsi dan sampai di KPU Pusat memerlukan tangan-tangan ahli yang terampil, jujur, dan cerdas dan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Kecanggihan sistem teknologi digital dapat juga mengakibatkan kesalahan penghitungan suara. Jika kesalahan kecil seperti angka 4 menjadi 8 atau 3 jadi 5 hal yang wajar menurut Roy Suryo, akan tetapi jika kesalahan hitung sampai ratusan atau ribuan suara tidak lagi kelalaian melainkan termasuk kesengajaan alias kecurangan yang disengaja dan dipersiapkan sejak lama.
Dalam konteks doktrin hukum pidana, langkah tindakan tersebut termasuk sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk) yang merupakan bentuk kesalahan besar (gross-dolus) dan dapat diancam dengan hukuman penjara maksimum lima tahun dan denda maksimum Rp1 miliar. Dalam konteks kriminologi, tindakan yang mengakibatkan kerugian materiil dan immaterial bagi lebih dari seratus korban sama dengan kejahatan berat dan direncanakan/dipersiapkan secara sistematis dan terstruktur dengan dampak secara masif, tidak lagi dapat digolongkan sebagai pelanggaran biasa.
Dalam konteks hukum pidana, tindakan sedemikian termasuk tindak pidana permufakatan jahat yang melibatkan sekelompok orang termasuk oknum penyelenggara panitia pemilu. Jika tindakan tersebut melibatkan aparat negara, maka telah terjadi selain tindak pidana juga penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khusus ketentuan Pasal 17 jo Pasal 18 dengan ancaman sanki pemecatan dan dipidana.
Merujuk pada doktrin hukum pidana, kriminologi, dan UU Administrasi Pemerintahan tersebut, harus ditemukan siapa yang bertanggung jawab melakukan kejahatan Pemilu 2024: siapa pelaku perencana atau actor intellectualis, siapa yang ikut serta dalam kejahatan pemilu tersebut, siapa yang menyuruh melakukan, dan siapa yang memberikan bantuan dalam kejahatan pemilu tersebut.
Seluruh norma regulasi penyelenggaraan pemilu, seketat apa pun yang terbaca menjadi sirna tidak bermakna dan memiliki efek jera yang efektif jika kemudian norma larangan dan norma sanksi, sengaja dengan maksud atau tidak, dibuat lemah, rata-rata ancaman sanksi paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp12 juta. Bahkan, masih tercantum ancaman paling lama 6 (enam) bulan dan denda Rp2 juta.
Sisi lain dari kelemahan UU Pemilu Tahun 2017 yaitu dibedakan antara pelanggaran etik, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran pidana tanpa mengkaji sungguh-sungguh makna ketiga jenis pelanggaran tersebut dari aspek penggunaan HAK RAKYAT UNTUK BERDAULAT, YAITU SATU-SATUNYA HAK RAKYAT YANG MASIH UTUH LENGKAP YANG BERBEDA DENGAN HAK RAKYAT UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN SOSIAL DAN PERSAMAAN DI MUKA SERTA PERLAKUAN YANG ADIL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI.
Selain masalah tersebut, masalah pembuktian ada tidaknya pelanggaran pemilu (tiga jenis pelanggaran) tampaknya sangat mustahil mengingat keterlibatan ASN dan Aparatur Negara lainnya yang bersifat TSM dan saksi-saksi yang diliputi ketakutan karena intimidasi dan ancaman fisik baik bagi yang bersangkutan maupun keluarganya.
Selain masalah tersebut juga proses pembuktian sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) memerlukan waktu terbatas sampai putusan, hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak memungkinkan Majelis Hakim MK dapat bertindak teliti dan jernih serta objektif memberikan penilaian benar salahnya suatu kasus pemilu.
Pembuktian kecurangan pemilu memerlukan saksi-saksi baik saksi di TPS-TPS sampai saksi-saksi Sirekap penghitungan suara TPS-TPS. Memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit sehingga jika tidak dapat dicukupi dipastikan kejahatan pemilu tidak akan dapat diungkapkan. Jika kemudian terbukti ada kecurangan, maka pihak penyelenggara, KPU secara keseluruhan dan pelaksana tugas pada khususnya bertanggung jawab atas kecurangan tersebut, tidak terkecuali.
(zik)