Gratifikasi dalam Perspektif Legal Pluralism

Rabu, 17 Oktober 2018 - 08:28 WIB
Gratifikasi dalam Perspektif “Legal Pluralism”
Gratifikasi dalam Perspektif Legal Pluralism
A A A
Suteki
Guru Besar Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Undip (2015-2019), serta sebagai Direktur Eksekutif Satjipto Rahardjo Institute (SRI).

PADA zaman kerajaan-kerajaan dahulu gratifikasi bukanlah suatu pelanggaran hukum. Praktik memberi hadiah ataupun upeti kepada raja atau pejabat serta bentuk pemberian lainnya merupakan bagian dari tradisi yang lazim dipraktikkan dan dianggap sebagai bagian dari tata krama sosial.

Bahkan, dalam dunia pewayangan, pemahaman yang masih hidup dalam masyarakat kita ada yang disebut dengan istilah asok glondhong pengareng-ngareng peni peni rojo peni guru bakal guru dadi. Memberi hadiah atau upeti kepada raja adalah hal biasa saja, bukanlah suatu perbuatan terlarang. Tapi, pemahaman tentang gratifikasi kini menjadi lain ketika dimasukkan ke dalam bingkai aturan hukum positif yang bercorak normatif legalistis karena praktik-praktik seperti itu bertabrakan dengan aturan-aturan hukum yang melarang, bahkan dapat memidanakan pemberi dan penerima.

Khususnya ketika yang terlibat di dalamnya adalah aparatur atau pejabat penyelenggara negara, sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU 20/2001 jo UU 31/1999 itu mengategorikan 33 jenis tindakan korupsi yang dapat dibagi dalam tujuh kelompok, yaitu: (1) korupsi yang merugikan keuangan negara; (2) yang terkait dengan suap-menyuap; (3) penggelapan dalam jabatan; (4) pemerasan; (5) perbuatan curang; (6) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan (7) yang berkaitan dengan gratifikasi.

Secara kasatmata bisa kita lihat bahwa di satu sisi adanya norma hukum seperti di atas bertujuan menciptakan sistem, termasuk aparatur penyelenggaraan Negara, yang bersih dan berintegritas agar berwibawa. Di lain sisi, norma hukum tersebut diberlakukan di dalam masyarakat yang masih belum siap menerima kenyataan bahwa haknya untuk tetap menegakkan tata krama memberi-menerima itu kini harus dibatasi.

Oleh sebab itu, maka diperlukan legal communication secara masif dan intensif untuk menyadarkan masyarakat tentang rambu-rambu yang mesti ditaati agar dalam berinteraksi dengan aparatur atau pejabat penyelenggara negara tidak terjebak pada jerat-jerat hukum yang bisa menyengsarakan. Legal communication yang saya maksudkan tidaklah cukup hanya dengan memasukkan suatu aturan hukum ke dalam lembaran negara atau mengumumkannya sepintas lalu di media massa. Legal communication itu perlu menjadi bagian dari legal education secara masif kepada masyarakat agar ketaatan hukum akan didasari oleh kesadaran tentang manfaat serta pentingnya berhukum secara benar.

Kita mesti sampai ke suatu level ketika orang menaati hukum karena merasa bangga bahwa mereka sedang menjalankan aturan yang mereka sendiri ciptakan melalui wakil-wakilnya di lembaga-lembaga legislatif. Karena itu, ketika seseorang akan memberikan gratifikasi kepada seorang pejabat penyelenggara negara, misalnya, hati nuraninya akan menegurnya untuk tidak melakukan hal itu, sebab praktik demikian akan mencoreng kebanggaannya itu.

Untuk sampai ke level yang ideal seperti itu diperlukan upaya besar dari semua pihak untuk menempatkan hukum ke dalam bingkai lebih besar dari sekadar aturan-aturan yang kaku dan tekstual-normatif. Bingkai besar itu dinamakan bingkai pluralisme hukum (legal pluralism) di mana hukum hanyalah satu bagian dari berbagai norma yang hidup dalam masyarakat.

Legal pluralism itu adalah sebuah pendekatan yang baru di dalam hukum. Sebenarnya sebagaimana dikatakan Werner Menski dalam bukunya Comparative Law in Gobal Context, ada empat pendekatan dalam memahami hukum, yaitu pendekatan normatif filosofis, normatif legalistis, sosio-legal, dan legal pluralism approach.

Dalam legal pluralism approach ada tiga wilayah hukum yang harus diperhatikan oleh para penegak hukum, yaitu satu, legal-state atau hukum negara yang sifatnya itu sangat positivistik. Kedua, adalah aspek masyarakat atau sosio-legal. Di samping itu ada aspek legal positifistik, tapi sudah mulai menengok pada realita sosial (social facts), bahkan mungkin juga habits, customary law, termasuk di situ ada living law. Jadi, sudah mulai menengok ke aspek-aspek sosial dari bekerjanya hukum itu.

Werner Menski menyebut ada pertimbangan hukum lain yang disebut dengan natural law yang di dalamnya terdiri dari tiga hal, yaitu moral, ethics, dan religion. Ketika kita mencoba untuk menautkan ketiga wilayah hukum ini, maka keadilan yang ingin dicapai itu bukan semata-mata procedural law or procedural justice, tetapi lebih ke substantive justiceyang juga disebut perfect justice.

Bisakah hal seperti ini diterapkan di Indonesia? Karena hal ini merupakan teori dan berbasis pada pengalaman, saya yakin bisa, selama ada kemauan para penegak hukum untuk mencoba menautkan ketiga wilayah hukum tersebut.Sayangnya, sebagian dari kita, khususnya para penegak hukum, masih terjerembab dan terpaku dalam legal positivism approach. Mestinya bisa dipakai sarana-sarana lain untuk melakukan penyelesaian sebuah perkara, tetapi yang dipakai masih saja legal positivism.

Dari perspektif hukum progresif, yang bisa dilihat sebagai turunan dari legal pluralism, fokus kita mestinya bagaimana menyelesaikan suatu perkara dengan Restorative Justice System (RJS). Sudah ada Resolusi PBB Tahun 2000 tentang The Basic Principles of the Use of Restorative Justice in Criminal Matters.

Dalam kasus tindak pidana pun bisa dilakukan RJS. Prinsip utama dari RJS adalah voluntary principle. Karena itu, polisi, KPK, dan jaksa tidak akan terkesan seolah ingin menghancurkan karier seseorang, meskipun dalam kasus-kasus kriminal, termasuk korupsi.Pendekatan RJS inilah, yang menurut hemat saya, paling ideal untuk diterapkan di dalam masyarakat di negara demokratis karena perlindungan terhadap hak-hak asasi dan martabat manusia sangat perlu dijunjung tinggi.

Penegak hukum sebetulnya bisa menerapkan Restorative Justice System sebagai penyeimbang dari Criminal Justice System yang selama ini cenderung hanya melihat pemberlakuan hukum secara sempit dari sudut pandang legal-positivistik semata.Pemberlakuan pendekatan legal-positivistik cenderung tidak mampu mengobati social malady yang bernama korupsi itu. Kita bisa bertanya, misalnya: Apakah KPK itu dikatakan berhasil apabila jumlah buruan dan tangkapannya semakin banyak, ataukah semakin sedikit?

Analoginya, apakah seorang dokter yang bertugas di suatu daerah, misalnya, dinilai berhasil ketika semakin banyak penduduk menderita berbagai macam penyakit ataukah ketika semakin sedikit orang sakit ditemukan di daerah itu?

Orang awam akan mengkatakan bahwa apabila jumlah buruan dan tangkapan KPK semakin banyak, maka itu berarti lembaga ini tidak ditakuti, bahkan tidak dianggap sehingga orang tak gentar melakukan korupsi! Sebaliknya, maukah kita menggunakan cara pandang yang baru bahwa apabila legal communication dan legal education diintensifkan secara masif, maka masyarakat akan secara sadar menghindarkan dirinya dari praktik pelanggaran hukum?

Upaya preventif secara masif belum tampak dalam dunia penegakan hukum di negeri kita. Padahal itulah pendekatan yang lebih manusiawi dan lebih mendidik untuk menghapus praktik korupsi dalam masyarakat. Misalnya saja tentang mantan Ketua DPD Irman Gusman yang kasusnya mengundang kontroversi dalam masyarakat. Khususnya bila kasus ini ditinjau dari perspektif legal pluralism seperti diuraikan di atas, di mana ada norma-norma lain yang mestinya dipertimbangkan selain pendekatan legal-positivistik bersifat tekstual-normatif belaka.

Tanpa berniat ‘mengadili’ putusan pengadilan tipikor yang sudah menjatuhkan hukuman empat tahun enam bulan, ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak politiknya selama tiga tahun sejak masa hukumannya berakhir itu, sebagian masyarakat menilai bahwa hukuman itu bagaikan menebah lalat dengan godam.

Kita tak bisa juga serta-merta menyalahkan mereka yang berpendapat demikian karena dari perspektif sosio-legal, tidak tampak adanya mens rea Irman Gusman dalam kasus itu, atau setidaknya, keputusan pengadilan tentang adanya mens rea dalam kasus ini kurang meyakinkan, jika dilihat dari aspek sosiologi hukum.

Mestinya kita berhukum itu tidak hanya menggunakan legal positivism atau legal-state; tetapi kita mencoba menilai persoalan ini juga dari rekam jejaknya, juga marwahnya, pertimbangan sosiologisnya, sampai pada aspek moral, ethics, and religion. Semua ini mesti dipertimbangkan. Pendekatan seperti inilah yang disebut legal pluralism approach.

Secara sosiologis yang terjadi sekarang adalah seolah-olah penegakan hukum dilakukan tanpa rasa; hanya mengandalkan rule and logic. Padahal rasa itu penting untuk dihadirkan. Penegakan hukum tanpa pertimbangan norma-norma lain akan cenderung menghakimi sebelum penghakiman pengadilan dijatuhkan. Misalnya, apakah perlu bagi KPK mengumumkan bahwa ia telah berhasil melakukan OTT terhadap seseorang? Apabila tujuannya adalah menangkap seorang tersangka, apakah orang itu harus dipermalukan juga di depan umum, padahal ada prinsip presumption of innocence yang mestinya ditegakkan oleh penegak hukum?

Saya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Tapi, apakah boleh penegakan hukum dilakukan dengan cara melanggar prinsip presumption of innocence seperti itu yang mengundang trial by the press sehingga terjadi double punishment karena mempermalukan seseorang sebelum ia dibuktikan bersalah di pengadilan?

Di sinilah penegakan hukum itu tetap membutuhkan kearifan. Sebab dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009, UU tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat.

Perlu ditumbuhkan pemahaman bahwa berhukum itu tujuannya untuk membahagiakan manusia. Karena itu, harus mengedukasi bahwa berhukum itu tidak menyakitkan, kecuali yang diajak untuk berbahagia itu tak mau, maka terpaksa harus bersakit-sakitan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6743 seconds (0.1#10.140)