Urgensi UU Daerah Kepulauan
loading...
A
A
A
Daerah tertinggal di Indonesia yang sebagian besar berada di Kawasan Timur memiliki IPM kategori sedang dan rendah.
Selain kesenjangan kualitas SDM, ketersediaan infrastruktur terutama moda transportasi laut yang andal dan sarana pendukung kegiatan produksi dan pengolahan hasil laut di daerah kepulauan juga sangat tidak memadai.
Semua faktor ini membuat pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah puluhan hingga ratusan pulau kurang berdaya dalam mengoptimalkan potensi daerahnya.
Sementara, formula transfer dana pusat ke daerah dalam APBN untuk tujuan pemerataan dan keadilan masih mengandung dua kelemahan mendasar. Pertama, dana transfer umum dan khusus ke daerah lebih mengutamakan jumlah penduduk dan luas daratan, dibanding luas wilayah perairan dan masalah keterbelakangan serta keterisolasian.
Meskipun sudah ada perbaikan sejak 2018 (luas wilayah laut jadi salah satu komponen dasar perhitungan), tapi belum memperhitungkan pembangunan berbasis potensi sumberdaya kelautan dan upaya untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur yang kronis di wilayah kepulauan.
Kedua, kekosongan hukum pengaturan ruang dan wewenang terutama untuk pengelolaan laut di wilayah kepulauan belum dibarengi kebijakan diskresi dan afirmasi sebagai bentuk pengakuan desentralisasi asimetris.
Dari profil Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota berciri kepulauan menunjukkan kemampuan yang rendah dalam menghimpun dana dari kegiatan mandiri daerah setempat.
Rata-rata kemampuan daerah dalam menggalang Pendapatan Asli Darah (PAD) di kabupaten/kota kepulauan dibawah 10 persen. Sebagian besar dana untuk belanja rutin dan pembangunan berasal dari dana perimbangan (DAU, DBH, DAK).
Besarnya defisit celah fiskal dalam APBD ini selain menciptakan ketergantungan yang tinggi pada pusat secara permanen, juga cenderung “mematikan” inisiatif untuk melakukan inovasi guna meningkatkan pendapatan daerah kepulauan.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, kesenjangan pembangunan dan keterbelakangan akses layanan dasar akan semakin sukar dikejar. Janji Presiden dalam Nawacita I dan II yang mengusung tekad “membangun Indonesia dari pinggiran” masih ditunggu realisasinya.
Selain kesenjangan kualitas SDM, ketersediaan infrastruktur terutama moda transportasi laut yang andal dan sarana pendukung kegiatan produksi dan pengolahan hasil laut di daerah kepulauan juga sangat tidak memadai.
Semua faktor ini membuat pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah puluhan hingga ratusan pulau kurang berdaya dalam mengoptimalkan potensi daerahnya.
Sementara, formula transfer dana pusat ke daerah dalam APBN untuk tujuan pemerataan dan keadilan masih mengandung dua kelemahan mendasar. Pertama, dana transfer umum dan khusus ke daerah lebih mengutamakan jumlah penduduk dan luas daratan, dibanding luas wilayah perairan dan masalah keterbelakangan serta keterisolasian.
Meskipun sudah ada perbaikan sejak 2018 (luas wilayah laut jadi salah satu komponen dasar perhitungan), tapi belum memperhitungkan pembangunan berbasis potensi sumberdaya kelautan dan upaya untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur yang kronis di wilayah kepulauan.
Kedua, kekosongan hukum pengaturan ruang dan wewenang terutama untuk pengelolaan laut di wilayah kepulauan belum dibarengi kebijakan diskresi dan afirmasi sebagai bentuk pengakuan desentralisasi asimetris.
Dari profil Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota berciri kepulauan menunjukkan kemampuan yang rendah dalam menghimpun dana dari kegiatan mandiri daerah setempat.
Rata-rata kemampuan daerah dalam menggalang Pendapatan Asli Darah (PAD) di kabupaten/kota kepulauan dibawah 10 persen. Sebagian besar dana untuk belanja rutin dan pembangunan berasal dari dana perimbangan (DAU, DBH, DAK).
Besarnya defisit celah fiskal dalam APBD ini selain menciptakan ketergantungan yang tinggi pada pusat secara permanen, juga cenderung “mematikan” inisiatif untuk melakukan inovasi guna meningkatkan pendapatan daerah kepulauan.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, kesenjangan pembangunan dan keterbelakangan akses layanan dasar akan semakin sukar dikejar. Janji Presiden dalam Nawacita I dan II yang mengusung tekad “membangun Indonesia dari pinggiran” masih ditunggu realisasinya.