Urgensi UU Daerah Kepulauan

Sabtu, 15 Agustus 2020 - 09:07 WIB
loading...
Urgensi UU Daerah Kepulauan
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia/Ketua umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia, Andi Fajar Asti. Foto/Istimewa
A A A
Andi Fajar Asti
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia/Ketua umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia

INDONESIA termasuk “beruntung” karena kondisi geografisnya terdiri atas belasan ribu pulau sehingga penyebaran virus Corona tidak berlangsung masif dan cepat sebagaimana negara dengan karakteristik kontinental (daratan).

Pembatasan pergerakan orang dan terapi pemulihan ekonomi mestinya dapat dikendalikan dengan protokol kesehatan ketat dan sinergi pemerintah pusat-daerah.

Dalam situasi ini, ada kabar gembira Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan (RUU DK) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020/2021.

Presiden Jokowi melalui suratnya kepada Ketua DPR RI 20 Mei 2020 (menanggapi surat Ketua DPR 31 Maret 2020 tentang penyampaian RUU DK) memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mewakili pemerintah untuk membahas RUU itu.

Tahun sidang sebelumnya (2019/2020), RUU DK sebenarnya juga sudah masuk Prolegnas Prioritas dan bahkan sudah terbentuk Pansus di DPR namun tidak berlanjut karena masa bakti anggota DPR RI 2014-2019 berakhir tahun lalu.

Kembalinya RUU ini masuk prioritas menunjukkan kesepahaman pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan pembuatan dasar hukum yang sangat ditunggu-tunggu oleh pemerintah kabupaten/kota berciri kepulauan.

Payung hukum untuk pengaturan khusus wilayah kepulauan sesungguhnya sudah diusulkan sejak lama lewat inisiatif delapan gubernur daerah kepulauan (Deklarasi Ambon 2005). Naskah akademik dan draft RUU serupa pernah dibuat dan diusulkan tahun 2012 namun mentah dan tidak berlanjut.

Ketimpangan

Hasil-hasil penelitian sejak lama telah mengkonfirmasi awetnya kesenjangan Jawa dan luar Jawa, Indonesia bagian Barat dan Timur. Ketimpangan itu sangat nyata dan ditunjukkan oleh perbedaan signifikan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan sejumlah indikator pembangunan lainnya.

Daerah tertinggal di Indonesia yang sebagian besar berada di Kawasan Timur memiliki IPM kategori sedang dan rendah.

Selain kesenjangan kualitas SDM, ketersediaan infrastruktur terutama moda transportasi laut yang andal dan sarana pendukung kegiatan produksi dan pengolahan hasil laut di daerah kepulauan juga sangat tidak memadai.

Semua faktor ini membuat pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah puluhan hingga ratusan pulau kurang berdaya dalam mengoptimalkan potensi daerahnya.

Sementara, formula transfer dana pusat ke daerah dalam APBN untuk tujuan pemerataan dan keadilan masih mengandung dua kelemahan mendasar. Pertama, dana transfer umum dan khusus ke daerah lebih mengutamakan jumlah penduduk dan luas daratan, dibanding luas wilayah perairan dan masalah keterbelakangan serta keterisolasian.

Meskipun sudah ada perbaikan sejak 2018 (luas wilayah laut jadi salah satu komponen dasar perhitungan), tapi belum memperhitungkan pembangunan berbasis potensi sumberdaya kelautan dan upaya untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur yang kronis di wilayah kepulauan.

Kedua, kekosongan hukum pengaturan ruang dan wewenang terutama untuk pengelolaan laut di wilayah kepulauan belum dibarengi kebijakan diskresi dan afirmasi sebagai bentuk pengakuan desentralisasi asimetris.

Dari profil Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota berciri kepulauan menunjukkan kemampuan yang rendah dalam menghimpun dana dari kegiatan mandiri daerah setempat.

Rata-rata kemampuan daerah dalam menggalang Pendapatan Asli Darah (PAD) di kabupaten/kota kepulauan dibawah 10 persen. Sebagian besar dana untuk belanja rutin dan pembangunan berasal dari dana perimbangan (DAU, DBH, DAK).

Besarnya defisit celah fiskal dalam APBD ini selain menciptakan ketergantungan yang tinggi pada pusat secara permanen, juga cenderung “mematikan” inisiatif untuk melakukan inovasi guna meningkatkan pendapatan daerah kepulauan.

Bila kondisi ini terus dibiarkan, kesenjangan pembangunan dan keterbelakangan akses layanan dasar akan semakin sukar dikejar. Janji Presiden dalam Nawacita I dan II yang mengusung tekad “membangun Indonesia dari pinggiran” masih ditunggu realisasinya.

Urgensi Undang-Undang

Jumlah pulau di Indonesia yang resmi tercatat dan terdaftar di United Nations Conferences on the Standardization of Geographical Names sebanyak 16.056 pulau. Panjang garis pantai 99.093 kilometer pesegi dan luas laut 5,8 juta kilometer pesegi dengan 2,7 juta kilometer pesegi merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (Badan Informasi Geospasial, 2015).

Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen rumput laut terbesar di dunia namun kenyataannya hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, bukan produk olahan bernilai tambah tinggi. Tiongkok yang tidak berkelimpahan bahan baku tersebut—sebagian mengimpor dari kita—justru dapat memproduksi lebih dari 17 industri turunan rumput laut bernilai tambah tinggi.

Pemetaan masalah tidak optimalnya pengelolaan potensi laut terutama akibat keterbatasan infrastruktur khususnya ketersediaan listrik untuk industri pengolahan, rendahnya konektivitas moda logistik pelayaran antar-pulau, wewenang dan urusan pemda amat terbatas untuk mengelola potensi kelautan, produksi terbatas pada bahan mentah, dan minimnya dukungan pendanaan.

Data dan fakta empirik berupa keterbelakangan dan ketertinggalan tersebut membutuhkan payung hukum, bukan hanya perubahan kebijakan yang bersifat temporer. Tentu tidak perlu menciptakan rezim pemerintahan khusus di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, melainkan cukup dengan mengakomodasi tiga kebutuhan penting, yaitu pengakuan atas ruang, pemberian wewenang lebih tepat di bidang pengelolaan perairan dan laut, dan dukungan pendanaan untuk membangun sektor prioritas itu.

Dalam kaitan ini, inisiasi yang telah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk menyusun RUU DK patut segera direspons. Ditinjau dari sisi filosofis, historis, sosial, ekonomi, dan empirik, urgensi UU tersebut merupakan keniscayaan sebagaimana amanat Pasal 18 A (ayat 1) dan Pasal 18 B (ayat 1) UUD 1945.

Meskipun perhatian pusat atas daerah kepulauan dengan karakteristik: terluar, terisolir, dan tertinggal terus meningkat, namun hal itu tidak cukup memastikan keberlangsungan pembangunan tanpa disertai kepastian hukum yang dijamin undang-undang.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1886 seconds (0.1#10.140)