Demokrasi, Pemilu, dan Bawaslu yang Bermartabat

Selasa, 05 Maret 2024 - 19:02 WIB
loading...
Demokrasi, Pemilu, dan Bawaslu yang Bermartabat
Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta. Foto/Istimewa
A A A
I Wayan Sudirta
Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP

H.L.A. HART, seorang ahli hukum ternama mendefinisikan demokrasi dalam bukunya "The Concept of Law" sebagai sebuah sistem pemerintahan di mana; 1) Kedaulatan rakyat: Rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kekuasaan ini diwujudkan melalui partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan; 2) Pemerintahan berdasarkan hukum: Pemerintah dalam sistem demokrasi terikat oleh hukum dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Hukum tersebut harus dibuat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan.

3) Persamaan hak: Semua orang memiliki hak yang sama di hadapan hukum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial lainnya; 4) Kebebasan politik: Rakyat memiliki hak untuk menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat secara bebas. Hak-hak ini penting untuk memastikan bahwa rakyat dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses demokrasi; dan 5) Pemilihan umum yang bebas dan adil: Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara bebas dan adil. Pemilihan umum yang berkala dan transparan merupakan salah satu pilar utama demokrasi.

Pemikiran Hart menjadi penting untuk menjadi variabel dalam melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 dan demokrasi di Indonesia saat ini. Capaian demokrasi di Indonesia pasca Reformasi, lebih dari dua dasawarsa dicatat dengan penilaian yang berbeda-beda dan bahkan menunjukkan kesimpulan yang bertolak belakang satu dengan yang lain. Bahkan studi-studi belakangan menunjukkan terjadi kemandekan demokratisasi di Indonesia. Studi Markus Mietzner tahun 2012, misalnya menyebut bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemandekan. Ada berbagai upaya serius untuk menahan laju Reformasi, meskipun tidak selalu berhasil; sehingga demokrasi di Indonesia seolah membeku.

Studi Markus Mietzner itu hampir sama dengan “peringatan” Jean Baechler yang berpendapat bahwa demokrasi tidak saja mengandung kebajikan, namun juga dapat terbersit adanya kecurangan (korupsi) dalam demokrasi. Tipe-tipe utama kecurangan dalam demokrasi tersebut meliputi kecurangan politis, kecurangan ideologis, dan kecurangan moral. Fareed Zakaria juga menengarai dalam demokrasi bisa saja terjadi penyimpangan yang sumbernya berasal dari dua hal, yaitu: 1) berasal dari otokrat terpilih, dan 2) berasal dari rakyatnya sendiri. Yang terakhir ini, mayoritas rakyat – terutama di negara berkembang–sering kali meruntuhkan hak-hak asasi manusia serta mengkorupsi toleransi dan keterbukaan yang ada.

Di tengah tradisi atau perspektif dalam mengukur derajat demokrasi (di Indonesia) melalui pemilu, tulisan ini mencoba memahami demokrasi di Indonesia dengan menekankan pada aspek kelembagaan penyelenggara pemilu terutama pada mekanisme pengawasan pemilu. Pengawasan pemilu menjadi instrumen norma penting dalam pemilu sebagai penegakan martabat demokrasi yang pada gilirannya mampu untuk merestrukturisasi perilaku sosial masyarakat untuk taat pada norma-norma hukum pemilu.

Bila demokrasi didefinisikan sebagai pertama, kontrol rakyat atas pemerintahan berdasarkan, kedua, kesetaraan politik maka demokrasi di Indonesia membutuhkan perangkat penilaian untuk menjaga martabat demokrasi itu dan menilai derajat kontrol dari rakyat supaya efektif dan inklusif. Dengan kata lain, dibutuhkan adanya instrumen penilaian dan pengawasan untuk melihat seberapa jauh dua prinsip demokrasi ideal itu terlembagakan dalam Pemilu 2024. Karena itu, prinsip-prinsip tersebut perlu diturunkan menjadi nilai perantara (mediating values) pelaksanaan demokrasi di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2024.

Konkretisasinya menjadi dasar untuk menilai baik atau buruknya penyelenggaraan Pemilu 2024 bagi demokrasi itu sendiri. Nilai perantara itu berupa partisipasi, otorisasi, representasi, akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas. Menurut Surbakti, pemilu berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/atau mengenai sirkulasi elite secara periodik dan tertib. Pemilu merupakan suatu pagelaran yang dilaksanakan oleh suatu negara yang mengakui dirinya adalah suatu negara yang demokratis. Dalam konsep hukum ketatanegaraan, hal ini dikenal sebagai asas kedaulatan rakyat.

Untuk menilai penyelenggaraan Pemilu 2024, nilai perantara perlu direalisasikan oleh institusi yang mampu merealisasikan nilai-nilai tersebut. Demokrasi dimulai dari serangkaian prinsip atau idealisme yang regulatif dan kemudian diikuti oleh prosedur dan tatanan institusional yang dengannya prinsip-prinsip itu direalisasikan. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis lebih lanjut aktualisasi demokrasi di Indonesia, khususnya dengan melihat penyelenggara Pemilu 2024.

Sebagai praktik, tentu saja Pemilu 2024 tidak cukup untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia. Masih ada banyak faktor lain yang berkelindan, sebagai aktor utama penyebab menurunnya kapasitas dan kapabilitas demokrasi di Indonesia, terutama sekali dalam mengembalikan martabat demokrasi kepada rakyat sebagai sang pemilik, dan institusi demokrasi sebagai “the only game in town”. Maka dari itu, diperlukan juga sebuah institusi demokrasi yang mampu menegakkan dan merealisasikan nilai-nilai perantara itu menjadi lebih actual.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2370 seconds (0.1#10.140)