Demokrasi, Pemilu, dan Bawaslu yang Bermartabat
loading...
A
A
A
Permasalahannya penggunaan Sirekap oleh petugas pemilu mulai dari KPPS dan PPK belum jelas betul. Begitu pula aturan mainnya. Potensi pelanggaran pun muncul ketika ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan di sistem komputer Sirekap dan formulir C-1. Permasalahan data dalam sistem Sirekap KPU juga rawan penggelembungan suara.
Melihat hal ini, KPU menjadi kurang mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari masyarakat, jika tanpa ada lembaga lainnya yang mengawasi. Lembaga negara yang mengawasi kinerja dari KPU adalah Bawaslu. Bahkan KPU dan Bawaslu mendapatkan pengawasan secara etik dari DKPP. Bawaslu sampai saat ini sudah menyatakan belum ada temuan yang dapat membatalkan hasil Pemilu 2024 (Keterangan Bawaslu 24 Februari 2024).
Sementara DKPP hanya menyelesaikan permasalahan etik yang tidak dapat berimplikasi langsung secara hukum. Dengan dinamika pemilihan yang sangat tinggi bukannya tidak mungkin berbagai kontroversi dan potensi pelanggaran pemilu dapat menciderai proses demokrasi.
Eksistensi Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memberikan penguatan kelembagaan Bawaslu, baik dari struktur dan kewenangan hingga lahir. Transformasi krusial yang dilakukan pembentuk UU terhadap Bawaslu adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses pemilu, adjudikasi. Penambahan wewenang ini membuat Bawaslu tidak lagi sekadar pemberi rekomendasi, melainkan sebagai eksekutor atau pemutus perkara.
Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses pemilu. Selanjutnya, kehadiran Bawaslu beserta jajarannya sesuai UU Pemilu, dengan kewenangan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan pelaksanaan tahapan pemilu yang jujur dan adil.
Fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga negara di bawah UU yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya pemilu, menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses pemilu. Keadilan pemilu (electoral justice) sebagai sarana dan mekanisme untuk menjamin bahwa proses pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan kecurangan.
Termasuk dalam mekanisme keadilan pemilu adalah pencegahan terjadinya sengketa pemilu melalui serangkaian kegiatan, tindak, dan rekomendasi kepada pihak terkait apakah itu KPU ataupun peserta pemilu. Yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kewenangan PSPP, dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa (mediasi dan/atau adjudikasi) sebagai akibat ditetapkannya keputusan dan/atau berita acara KPU.
Jika penegakan hukum pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan pemilu, maka sejatinya keadilan pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum pemilu. Proses yang menjamin pemilu yang jujur dan adil (free and fair election), dengan menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.
Kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif ini, selain terdapat dalam UU Pemilu, dipertegas lagi dalam Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.
Melihat hal ini, KPU menjadi kurang mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari masyarakat, jika tanpa ada lembaga lainnya yang mengawasi. Lembaga negara yang mengawasi kinerja dari KPU adalah Bawaslu. Bahkan KPU dan Bawaslu mendapatkan pengawasan secara etik dari DKPP. Bawaslu sampai saat ini sudah menyatakan belum ada temuan yang dapat membatalkan hasil Pemilu 2024 (Keterangan Bawaslu 24 Februari 2024).
Sementara DKPP hanya menyelesaikan permasalahan etik yang tidak dapat berimplikasi langsung secara hukum. Dengan dinamika pemilihan yang sangat tinggi bukannya tidak mungkin berbagai kontroversi dan potensi pelanggaran pemilu dapat menciderai proses demokrasi.
Eksistensi Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memberikan penguatan kelembagaan Bawaslu, baik dari struktur dan kewenangan hingga lahir. Transformasi krusial yang dilakukan pembentuk UU terhadap Bawaslu adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses pemilu, adjudikasi. Penambahan wewenang ini membuat Bawaslu tidak lagi sekadar pemberi rekomendasi, melainkan sebagai eksekutor atau pemutus perkara.
Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses pemilu. Selanjutnya, kehadiran Bawaslu beserta jajarannya sesuai UU Pemilu, dengan kewenangan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan pelaksanaan tahapan pemilu yang jujur dan adil.
Fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga negara di bawah UU yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya pemilu, menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses pemilu. Keadilan pemilu (electoral justice) sebagai sarana dan mekanisme untuk menjamin bahwa proses pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan kecurangan.
Termasuk dalam mekanisme keadilan pemilu adalah pencegahan terjadinya sengketa pemilu melalui serangkaian kegiatan, tindak, dan rekomendasi kepada pihak terkait apakah itu KPU ataupun peserta pemilu. Yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kewenangan PSPP, dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa (mediasi dan/atau adjudikasi) sebagai akibat ditetapkannya keputusan dan/atau berita acara KPU.
Jika penegakan hukum pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan pemilu, maka sejatinya keadilan pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum pemilu. Proses yang menjamin pemilu yang jujur dan adil (free and fair election), dengan menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.
Kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif ini, selain terdapat dalam UU Pemilu, dipertegas lagi dalam Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.