Kecurangan Pemilu, Banjir Jakarta, dan Kisah Dyah Suraprabawa
loading...
A
A
A
Dyah Suraprabawa atau yang dikenal Brawijaya IV, menyusun rencana "kudeta" itu dengan sangat matang. Jauh-jauh hari menggalang dukungan di lingkar dalam istana dan luar istana dengan merangkul beberapa pembesar berpengaruh untuk dijadikan koalisi, bahkan ketika Sang Raja Girishawardhana Dyah Suryawikrama masih hidup.
Maka ketika saat yang dinantikan itu tiba (Raja Girishawardhana mangkat), dengan segera Dyah Suraprabawa mengumumkan ke publik bahwa dirinyalah pengganti raja, hal yang tidak dibayangkan oleh anak-anak Sinagara sebelumnya-keputusan sepihak yang sangat memukul hati Dyah Samarawijaya. Dan wajar setelah dua tahun kemudian (1468 M) mereka akhirnya hengkang dari istana untuk menggalang kekuatan di Jinggan.
baca juga: TPD Ganjar-Mahfud DIY Terima Laporan Dugaan Kecurangan Pemilu 2024
Perlu diketahui, sebelum Dyah Suraprabawa mengumumkan dirinya sebagai pengganti raja, dalam Kakawin Pararaton dikisahkan, bahwa sepeninggal Rajasawardhana Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara tahun 1453 M, semestinya tahta kerajaan jatuh ke tangan pewarisnya yaitu Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya sebagai putra mahkota.
Namun faktanya tidak demikian. Ada jeda tiga tahun kekuasaan Majapahit lowong tanpa raja. Hal ini diduga kuat karena usia sang putra mahkota yang masih sangat muda. Samarawijaya kala itu diperkirakan masih berusia 10 tahun. Keputusan yang sangat riskan jika memaksakan penobatan dirinya menggantikan ayahandanya yang meninggal mendadak.
Alasan ini pula yang kemudian menjadi pembenaran ditunjuknya Girisha Wardhana Dyah Suryawikrama, paman dari Dyah Samarawijaya untuk naik tahta Majapahit menggantikan Sinagara. Berat rasanya bagi keluarga Sinagara menerima keputusan dari Dewan Sapta Prabhu.
Keluarga Sinagara tidak serta merta begitu saja menerima, berbagai syarat telah diajukan sebagai konsekwensi dari keputusan Dewan Sapta Prabhu. Dari berbagai syarat itu salah satunya adalah, bahwa jika nanti Girisha Wardhana Dyah Suryawikrama mangkat, maka otomatis tahta Majapahit harus diserahkan kembali ke Dyah Samarawijaya, mengingat hak waris tersebut memang semestinya miliknya.
Namun ternyata, apa yang telah diskenariokan di awal perjanjian tidak berjalan sesuai apa yang disepakati bersama. ‘Kudeta’ senyap telah dilancarkan oleh Singhawardhana Dyah Suraprabawa yang tiba-tiba mengklaim sepihak sebagai raja.
Pengambilalihan kekuasaan secara sepihak itu memicu dendam kesumat anak-anak Sinagara dan berbalik menjadi sebuah ancaman nyata bagi Sang Prabhu Suraprabawa. Keempat anak Sinagara berhasil menarik simpati rakyat Majapahit yang dianggap lebih berhak menduduki tahta kekuasaan sepeninggal ayahnya Sang Sinagara daripada pamannya Dyah Suraprabawa.
baca juga: Timnas AMIN Ungkap Penyebab Hotline Pengaduan Kecurangan Pemilu Terblokir
Maka ketika saat yang dinantikan itu tiba (Raja Girishawardhana mangkat), dengan segera Dyah Suraprabawa mengumumkan ke publik bahwa dirinyalah pengganti raja, hal yang tidak dibayangkan oleh anak-anak Sinagara sebelumnya-keputusan sepihak yang sangat memukul hati Dyah Samarawijaya. Dan wajar setelah dua tahun kemudian (1468 M) mereka akhirnya hengkang dari istana untuk menggalang kekuatan di Jinggan.
baca juga: TPD Ganjar-Mahfud DIY Terima Laporan Dugaan Kecurangan Pemilu 2024
Perlu diketahui, sebelum Dyah Suraprabawa mengumumkan dirinya sebagai pengganti raja, dalam Kakawin Pararaton dikisahkan, bahwa sepeninggal Rajasawardhana Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara tahun 1453 M, semestinya tahta kerajaan jatuh ke tangan pewarisnya yaitu Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya sebagai putra mahkota.
Namun faktanya tidak demikian. Ada jeda tiga tahun kekuasaan Majapahit lowong tanpa raja. Hal ini diduga kuat karena usia sang putra mahkota yang masih sangat muda. Samarawijaya kala itu diperkirakan masih berusia 10 tahun. Keputusan yang sangat riskan jika memaksakan penobatan dirinya menggantikan ayahandanya yang meninggal mendadak.
Alasan ini pula yang kemudian menjadi pembenaran ditunjuknya Girisha Wardhana Dyah Suryawikrama, paman dari Dyah Samarawijaya untuk naik tahta Majapahit menggantikan Sinagara. Berat rasanya bagi keluarga Sinagara menerima keputusan dari Dewan Sapta Prabhu.
Keluarga Sinagara tidak serta merta begitu saja menerima, berbagai syarat telah diajukan sebagai konsekwensi dari keputusan Dewan Sapta Prabhu. Dari berbagai syarat itu salah satunya adalah, bahwa jika nanti Girisha Wardhana Dyah Suryawikrama mangkat, maka otomatis tahta Majapahit harus diserahkan kembali ke Dyah Samarawijaya, mengingat hak waris tersebut memang semestinya miliknya.
Namun ternyata, apa yang telah diskenariokan di awal perjanjian tidak berjalan sesuai apa yang disepakati bersama. ‘Kudeta’ senyap telah dilancarkan oleh Singhawardhana Dyah Suraprabawa yang tiba-tiba mengklaim sepihak sebagai raja.
Pengambilalihan kekuasaan secara sepihak itu memicu dendam kesumat anak-anak Sinagara dan berbalik menjadi sebuah ancaman nyata bagi Sang Prabhu Suraprabawa. Keempat anak Sinagara berhasil menarik simpati rakyat Majapahit yang dianggap lebih berhak menduduki tahta kekuasaan sepeninggal ayahnya Sang Sinagara daripada pamannya Dyah Suraprabawa.
baca juga: Timnas AMIN Ungkap Penyebab Hotline Pengaduan Kecurangan Pemilu Terblokir