Kecurangan Pemilu, Banjir Jakarta, dan Kisah Dyah Suraprabawa

Minggu, 18 Februari 2024 - 04:48 WIB
loading...
Kecurangan Pemilu, Banjir Jakarta, dan Kisah Dyah Suraprabawa
Foto: Istimewa
A A A
PAGI-pagi sekali Mang Uuk, 70, meninggalkan rumahnya yang di dalamnya masih tergenang air sebatas betis orang dewasa. Di bawah rintik hujan, laki-laki tua itu bergegas menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) ternyata juga kebanjiran.

baca juga: Pakar: Kecurangan Pemilu 2024 Jangan Dianggap Normal

Semalaman hingga pagi menjelang pelaksanaan pencoblosan Pemilu 2024 , tempat tinggal Mang Uuk, di Kampung Gusti, Kelurahan Wijaya Kusuma, Jakarta Barat, diguyur hujan hingga menyebabkan banjir.Diketahui, selama ini Kampung Gusti memang salah satu kawasan di Ibu Kota yang langganan banjir.

Meski kebanjiran, Mang Uuk bersama masyarakat sekitar kediamannya tetap antusiasme merayakan Pemilu. Dengan semangat 45, mereka berbondong-bondong menuju TPS, menyumbangkan suara di hajatan rutin lima tahunan yang di dalamnya mempertaruhkan harapan besar rakyat Indonesia.

"Rumah masih berantakan karena banjir, tapi tetap harus nyoblos. Mudah-mudahan calon presiden yang saya pilih menang dan bisa memberikan kehidupan yang lebih baik," kata Mang Uuk sambil mengembuskan asap rokok yang diisapnya.

Sementara di sudut lainnya, masih di Jakarta, Erwin, 60, juga nampak terburu-buru menuju TPS 111, Jelambar Baru, Jakarta Barat. Dengan nafas tersengal, warga keturunan Tionghoa ini celingak-celinguk mencari petugas yang berjaga di TPS dekat tempat tinggalnya itu.

Di hari pemungutan suara, Erwin bersama keluarganya sengaja datang jauh-jauh dari Medan ke Jakarta, demi untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Namun karena belum mengantongi surat undangan lantaran saat pembagian undangan dirinya tengah merayakan Imlek di Medan, membuat dirinya tak jadi mencoblos. Ia pun disarankan untuk terlebih dahulu mengambil surat undangan pencoblosan kepada Ketua RT setempat.

"Sebelum Imlek saya biasa pulang ke Medan, dan ini memang sudah tradisi setiap Imlek kita kumpul bersama keluarga di kampung. Tapi tahun ini pulangnya ga bisa lama, karena kan harus balik lagi ke Jakarta untuk nyoblos," ujar Erwin yang nampak sangat senang usai mencoblos. Ia juga berharap calon Presiden pilihannya menang, dan kelak memegang teguh kepercayaan masyarakat.

baca juga: Soal Dugaan Kecurangan Pemilu 2024, Jokowi: Semua Ada Mekanismenya

Asa Erwin, Mang Uuk, dan tentunya seluruh rakyat Indonesia pastilah sama. Semua menaruh harapan besar agar Pemilu 2024 berjalan lancar, aman, damai, dan sukses memilih pemimpin nasional yang mampu membawa Negeri ini ke arah yang lebih baik. Pemimpin yang mengerti dan peduli dengan kehidupan rakyat yang dipimpinnya.

Namun harapan besar yang sudah dipertaruhkan rakyat di bilik kecil pencoblosan, sepertinya jauh panggang dari api. Ini lantaran banyaknya temuan dugaan kecurangan, sejak awal tahapan Pemilu 2024 digelar hingga hari pencoblosan, dan kini tengah berjalan proses rekapitulasi penghitungan suara.

Belum lagi seabrek masalah mulai dari kacaunya distribusi logistik pemilu, temuan surat suara yang sudah tercoblos,kinerja petugas dan lembaga penyelenggara Pemilu yang amburadul, aplikasi Sirekap KPU yang tidak sesuai harapan, hingga banyaknya kesalahan dalam proses input data hingga terjadi penggelembungan perolehan suara salah satu pasangan capres dan caleg, membuat legitimasi Pemilu kali ini tercoreng.

Ketua KPU Hasyim Asy'ari dalam rilisnya menyebutkan, per 15 Februari 2024, sudah 43% atau 358.775 TPS yang telah melaporkan perolehan suara. Dan ada 2.325 TPS yang salah input data perolehan suara, atau 0,64% dari total TPS yang ada. Dan ini masih diverifikasi oleh pihak KPU.

baca juga: Cara Melapor Kecurangan Pemilu 2024 Lewat HP, Begini Tahapannya

Legitimasi Pemilu adalah hal yang niscaya. Namun jika hasil Pemilu menjadi satu-satunya tujuan tanpa melihat proses pelaksanaan Pemilu yang fair dan adil, maka bisa dipastikan legitimasi itu sulit dicapai. Ditambah seabrek masalah bahkan praktik kecurangan yang nyata ada dan terbeber di depan mata namun diabaikan, makin membuat legitimasi Pemilu 2024 patut disangsikan.

Memang tak ada gading yang tak retak, setiap pelaksanaan Pemilu pasti tak luput dari masalah. Namun, membiarkan praktik kecurangan dan manipulasi terjadi di depan mata, ini sudah termasuk kategori pelanggaran, penghianatan atas kepercayaan yang diberikan masyarakat.

Intrik dan Siasat Busuk Merebut Kekuasaan

Tak bisa dipungkiri, sejak dulu kala praktik kecurangan, intrik busuk, tipu muslihat, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya dalam upaya merengkuh kekuasaan, seperti sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang memang senang berbuat itu. Dengan jumawa dipertontonkan, menjadi kebanggaan bahkan dipestakan bak legacy bagi mereka yang bangga tadi.

baca juga: Cerita Dirty Vote, Film Dokumenter tentang Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Riwayat Dyah Suraprabawa yang naik tahta Majapahit pada 1466 M, salah satu yang bisa dijadikan gambaran bagaimana praktik kecurangan atau intrik busuk meraih kekuasaan dilakukan. Memang tidak pakai acara Pemilu atau perang terlebih dulu. Tapi tindakan sepihak itu sudah sangat mencederai arti dari sebuah kepercayaan.

Dyah Suraprabawa atau yang dikenal Brawijaya IV, menyusun rencana "kudeta" itu dengan sangat matang. Jauh-jauh hari menggalang dukungan di lingkar dalam istana dan luar istana dengan merangkul beberapa pembesar berpengaruh untuk dijadikan koalisi, bahkan ketika Sang Raja Girishawardhana Dyah Suryawikrama masih hidup.

Maka ketika saat yang dinantikan itu tiba (Raja Girishawardhana mangkat), dengan segera Dyah Suraprabawa mengumumkan ke publik bahwa dirinyalah pengganti raja, hal yang tidak dibayangkan oleh anak-anak Sinagara sebelumnya-keputusan sepihak yang sangat memukul hati Dyah Samarawijaya. Dan wajar setelah dua tahun kemudian (1468 M) mereka akhirnya hengkang dari istana untuk menggalang kekuatan di Jinggan.

baca juga: TPD Ganjar-Mahfud DIY Terima Laporan Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Perlu diketahui, sebelum Dyah Suraprabawa mengumumkan dirinya sebagai pengganti raja, dalam Kakawin Pararaton dikisahkan, bahwa sepeninggal Rajasawardhana Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara tahun 1453 M, semestinya tahta kerajaan jatuh ke tangan pewarisnya yaitu Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya sebagai putra mahkota.

Namun faktanya tidak demikian. Ada jeda tiga tahun kekuasaan Majapahit lowong tanpa raja. Hal ini diduga kuat karena usia sang putra mahkota yang masih sangat muda. Samarawijaya kala itu diperkirakan masih berusia 10 tahun. Keputusan yang sangat riskan jika memaksakan penobatan dirinya menggantikan ayahandanya yang meninggal mendadak.

Alasan ini pula yang kemudian menjadi pembenaran ditunjuknya Girisha Wardhana Dyah Suryawikrama, paman dari Dyah Samarawijaya untuk naik tahta Majapahit menggantikan Sinagara. Berat rasanya bagi keluarga Sinagara menerima keputusan dari Dewan Sapta Prabhu.

Keluarga Sinagara tidak serta merta begitu saja menerima, berbagai syarat telah diajukan sebagai konsekwensi dari keputusan Dewan Sapta Prabhu. Dari berbagai syarat itu salah satunya adalah, bahwa jika nanti Girisha Wardhana Dyah Suryawikrama mangkat, maka otomatis tahta Majapahit harus diserahkan kembali ke Dyah Samarawijaya, mengingat hak waris tersebut memang semestinya miliknya.

Namun ternyata, apa yang telah diskenariokan di awal perjanjian tidak berjalan sesuai apa yang disepakati bersama. ‘Kudeta’ senyap telah dilancarkan oleh Singhawardhana Dyah Suraprabawa yang tiba-tiba mengklaim sepihak sebagai raja.

Pengambilalihan kekuasaan secara sepihak itu memicu dendam kesumat anak-anak Sinagara dan berbalik menjadi sebuah ancaman nyata bagi Sang Prabhu Suraprabawa. Keempat anak Sinagara berhasil menarik simpati rakyat Majapahit yang dianggap lebih berhak menduduki tahta kekuasaan sepeninggal ayahnya Sang Sinagara daripada pamannya Dyah Suraprabawa.

baca juga: Timnas AMIN Ungkap Penyebab Hotline Pengaduan Kecurangan Pemilu Terblokir

Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya yang berkoalisi dengan Demak dan para bupati pesisir yang notabene beragama Islam memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit. Dan dengan didukung rakyat Majapahit, terjadilah "perang sipil" yang menyebabkan runtuhnya istana di Trowulan.

Pararaton menutup uraian hancurnya istana Majapahit dengan kalimat "Sirna Ilang Kertaning Bumi pada tahun saka 1400 atau tahun 1478 M. Tetapi kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya Sang Putra Mahkota yang dipertahankan mati-matian oleh para prajurit yang setia pada Raja.

Sesudah istana Majapahit runtuh pada rahun 1478, tiga orang adik Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya, mendirikan kerajaan baru di Keling (antara Mojokerto dan Kediri sekarang). Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Bhatara Keling. Adapun Sang Raja Majapahit, Dyah Suraprabawa Singawijramawardhana menurut Pararaton "mokta ring kedhaton" atau mangkat di istana.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1522 seconds (0.1#10.140)