Serangan Fajar, Wong Cilik, dan Jawa
loading...
A
A
A
Pengertian dari martabat adalah upaya bersama penghormatan pada diri dan orang lain, dengan orang Jawa untuk menghormati semesta dengan sepatutnya. Kematian dipertaruhkan bukanlah pembelaan atas benda-benda, dalam hal ini adalah makam, tanah dan lokasi tertentu; namun sebuah kompleksitas nilai-nilai yang dijunjung atas sejarah, orang-orang yang wafat dalam kemuliaan sebagai leluhur serta ada komitmen menjaganya sampai raga terpisah kelak.
Dalam konteks ini, serangan fajar dalam melangkah di KPPS nanti dan mencoblos di bilik suara, ingatan atas falsafah ojo milik barang kang melok (Jangan tergiur barang-barang mewah), yang jika kita menimbang bukanlah hal yang mewah dengan nilai tak seberapa jumlahnya uang dan sembako yang ditawarkan, seyogyanya ditolak.
Bukankah yang mewah saja kita semestinya berhati-hati dan waspada, apalagi tak seberapa nilainya dan mengakibatkan penyesalan nantinya? Maka, frasa lain menyusul yang seterusnya adalah konsep Ojo mangro mundak kendo (jangan mudah berubah pikiran agar tidak menyesal), yang bisa dijelaskan maknanya sebagai jangan mudah tergoda dengan segala sesuatu yang tampak indah, yang membawa kehancuran dan penyesalan.
Pada akhirnya, penulis terpikat pada frasa falsafah Orang Jawa sebagai pernyataan akhir penutup sebuah Debat Capres beberapa waktu lalu, yakni tatkala Anies Rasyid Baswedan menyampaikan bahwa sura dira jaya ningrat (Keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kenikmatan), lebur dening pangastuti (kalah dengan kasih sayang dan kebaikan).
Sebuah penutup yang elok, tatkala kita gamang menghadapi persoalan kebangsaan dan bernegara yang hari demi hari mengalami fase menurun oleh angkara murka. Bagaimana pun, mengutip falsafah Orang Jawa tadi bahwa sejatinya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan. Sifat keras hati, picik, dan kemarahan bisa dikalahkan dengan sikap lembut dan sabar.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
Dalam konteks ini, serangan fajar dalam melangkah di KPPS nanti dan mencoblos di bilik suara, ingatan atas falsafah ojo milik barang kang melok (Jangan tergiur barang-barang mewah), yang jika kita menimbang bukanlah hal yang mewah dengan nilai tak seberapa jumlahnya uang dan sembako yang ditawarkan, seyogyanya ditolak.
Bukankah yang mewah saja kita semestinya berhati-hati dan waspada, apalagi tak seberapa nilainya dan mengakibatkan penyesalan nantinya? Maka, frasa lain menyusul yang seterusnya adalah konsep Ojo mangro mundak kendo (jangan mudah berubah pikiran agar tidak menyesal), yang bisa dijelaskan maknanya sebagai jangan mudah tergoda dengan segala sesuatu yang tampak indah, yang membawa kehancuran dan penyesalan.
Pada akhirnya, penulis terpikat pada frasa falsafah Orang Jawa sebagai pernyataan akhir penutup sebuah Debat Capres beberapa waktu lalu, yakni tatkala Anies Rasyid Baswedan menyampaikan bahwa sura dira jaya ningrat (Keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kenikmatan), lebur dening pangastuti (kalah dengan kasih sayang dan kebaikan).
Sebuah penutup yang elok, tatkala kita gamang menghadapi persoalan kebangsaan dan bernegara yang hari demi hari mengalami fase menurun oleh angkara murka. Bagaimana pun, mengutip falsafah Orang Jawa tadi bahwa sejatinya setiap keburukan pasti akan kalah dengan kebaikan. Sifat keras hati, picik, dan kemarahan bisa dikalahkan dengan sikap lembut dan sabar.
Lihat Juga: Teliti Langkah Cak Imin sebagai Cawapres 2024, Mahasiswa S2 Paramadina Ini Raih IPK 3,95
(abd)