Soal Banjir Kritik Sitivas Akademika ke Jokowi, Pengamat: Penuh Nuansa Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan sikap sejumlah sitivas akademika yang mengeritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dimakzulkan lantaran dinilai tak beretika menuai pro dan kontra. Selain ada yang mendukung gerakan itu, namun ada pula yang menolak lantaran dinilai memiliki nuansa politik.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah merasakan gerakan kritik dari sivitas akademika sudah tak murni aspirasi. Hal itu terlihat dari pergerakan yang datang menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024 mendatang.
"Kalau saya sih masih melihatnya sudah enggak murni lagi, ada pihak-pihak yang bermain di situ, karena gerakannya kelihatannya seperti masif, tapi hanya perguruan tertentu saja," kata Trubus saat mengisi diskusi yang digelar Komando Masyarakat Arus Depan (Komrad) Pancasila bertajuk "Ramai Gerakan Civitas Akademik, Aspirasi Atau Orkestrasi?".
Menurut Trubus, para guru besar seharusnya tak perlu mengambil alih peran dari mahasiswa untuk menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah secara terbuka. Trubus menyarankan agar langsung bertemu Presiden Jokowi agar tak menimbulkan kegaduhan. Sebab rawan dipolitisasi.
"Kalau seperti ini kan kesannya mahasiswa ini enggak dianggap untuk mereka bersuara. Mungkin kalau para akademisi ini kalau memang ada bukti-bukti yang konkret tentang pelanggarannya kan gitu ya disampaikan saja langsung ke presiden dalam sebuah forum resmi. Kalau begni kan hanya tuduhan saja," kata Trubus, Jumat (9/2/2024).
Senada akademisi dari Universitas Mpu Tantular Rony Hutahaean juga menyayangkan cara kritik yang dilakukan secara terbuka ketimbang menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi.
Terlebih, menurutnya saat ini ada paslon yang turut meramaikan soal banjir kritikan akademisi ini sehingga kuat dugaan gerakan ini memang sudah tak murni aspirasi.
"Sekarang terkesan ini adalah mensomasi atau menegur pemerintah secara terbuka dan tontonkan kepada semua masyarakat. Padahal ada cara lain yang bisa dilakukan oleh para guru besar untuk mengeritik pemerintah," tuturnya.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah merasakan gerakan kritik dari sivitas akademika sudah tak murni aspirasi. Hal itu terlihat dari pergerakan yang datang menjelang hari pencoblosan 14 Februari 2024 mendatang.
"Kalau saya sih masih melihatnya sudah enggak murni lagi, ada pihak-pihak yang bermain di situ, karena gerakannya kelihatannya seperti masif, tapi hanya perguruan tertentu saja," kata Trubus saat mengisi diskusi yang digelar Komando Masyarakat Arus Depan (Komrad) Pancasila bertajuk "Ramai Gerakan Civitas Akademik, Aspirasi Atau Orkestrasi?".
Menurut Trubus, para guru besar seharusnya tak perlu mengambil alih peran dari mahasiswa untuk menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah secara terbuka. Trubus menyarankan agar langsung bertemu Presiden Jokowi agar tak menimbulkan kegaduhan. Sebab rawan dipolitisasi.
"Kalau seperti ini kan kesannya mahasiswa ini enggak dianggap untuk mereka bersuara. Mungkin kalau para akademisi ini kalau memang ada bukti-bukti yang konkret tentang pelanggarannya kan gitu ya disampaikan saja langsung ke presiden dalam sebuah forum resmi. Kalau begni kan hanya tuduhan saja," kata Trubus, Jumat (9/2/2024).
Senada akademisi dari Universitas Mpu Tantular Rony Hutahaean juga menyayangkan cara kritik yang dilakukan secara terbuka ketimbang menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi.
Terlebih, menurutnya saat ini ada paslon yang turut meramaikan soal banjir kritikan akademisi ini sehingga kuat dugaan gerakan ini memang sudah tak murni aspirasi.
"Sekarang terkesan ini adalah mensomasi atau menegur pemerintah secara terbuka dan tontonkan kepada semua masyarakat. Padahal ada cara lain yang bisa dilakukan oleh para guru besar untuk mengeritik pemerintah," tuturnya.