Teori Konspirasi dan Relaksasi Kelelahan Massa
loading...
A
A
A
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Virus Corona adalah material yang dibiakkan secara kultural. Kehadirannya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, dilangsungkan dalam laboratorium terkontrol, bahayanya didengungkan lewat propaganda ketakutan. Dan tentu saja, ada pihak yang menyebarkannya, untuk tujuan tertentu. Narasi alternatif ini dikembangkan menandingi teori berbagai lembaga kesehatan kredibel, namun tak kunjung peroleh penangkal vius.
Narasi beredar meramaikan jagad media sosial, tak tanggung-tanggung melibatkan Profesor Tasuku Honjo, peraih Nobel dari Jepang . Menurutnya, jika virus ini alami tak akan mampu menyebar secara global. Sesuai karakternya, suhu berbeda di berbagai negara akan menghalangi penyebaran alami virus. Bagaimana ia mampu menyebar di Swiss yang dingin, namun mampu pula menyebar di gurun yang terik. Pendapatnya kian kuat, dengan tambahan, “Saya telah bekerja selama 4 tahun di laboratorium Wuhan, Cina. Saya kenal dengan para staf laboratorium, dan menelepon mereka, setelah merebaknya Corona. Tapi semua ponsel mereka mati. Sehingga dipahami, semua teknisi laboratorium itu, telah meninggal”
Dalam pusaran teori alternatif, Indonesia tak ketinggalan. Beberapa orang ternama, seperti Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Pesohor Deddy Corbuzier, drummer kelompok Superman is Dead, Jerinx, dan beberapa pihak lain turut mengajukan teori yang senada Prof Honjo. Spektrum pendapat mereka, mulai dari meragukan kealamian Covid-19 hingga menyebut wabah adalah promosi ketakutan belaka. Maka masuk dalam perangkap ketakutan, hanya membuat untung beberapa pihak.
Secara sederhana, masyarakat menyebut teori atau narasi yang berkembang dan bertentangan dengan pernyataan arus utama, sebagai teori konspirasi. T Goertzel, 1994, dalam salah satu penjelasannya di Belief in Conspiracy Theories, menyebut konspirasi adalah teori untuk peristiwa atau situasi yang mengandung persekongkolan oleh aktor jahat dan kuat, yang tak jarang bermotif politis, ketika teori lain lebih memungkinkan. Sedangkan Cambridge Dictionary menyebut, konspirasi sebagai keyakinan bahwa suatu peristiwa atau situasi, merupakan hasil dari rencana rahasia yang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa. Diurai dari strukturnya, teori konspirasi umumnya memuat penyataan yang mengandung adanya persekongkolan pihak-pihak yang punya kepentingan. Ia menunggangi memori kolektif masyarakat. Sehingga cukup mengandalkan logika dasar, teori dicerna dengan mudah. Ia mengandalkan logika dasar, tanpa perlu basis data lengkap, peralatan canggih, maupun metode yang telah teruji. Premis-premisnya sederhana. Digabung agar mudah diterima akal.
Namun, lantaran antimainstream, mengandung persekongkolan dan strukturnya sederhana tak serta merta suatu pernyataan digolongkan teori konspirasi. Ini juga gegabah. Harus dipastikan dulu validas premis penyusunnya. Maka untuk pernyataan sekelas Prof Tasuku Honjo atau ilmuwan lainnya, masyarakat yang tak punya perangkat cukup untuk menerima atau menolak, boleh memosisikannya sebagai kebolehjadian. Boleh jadi benar, boleh jadi salah. Ini disimpan, sampai ada teori lain yang membantah pernyataan Prof Honjo, maupun ilmuwan pelontar lain.
Hal yang pantas dipikirkan atas maraknya teori alternatif, yang kemudian disebut sebagai teori konspirasi, dan dikonsumsi lahap oleh masyarakat, dapat dibaca sebagai lelahnya masyarakat oleh tak kunjung diformulasikannya rumus tunggal, menghadang Covid-19. Ia hadir sebagai misteri yang melelahkan, sekaligus menakutkan. Masyarakat perlu relaksasi. Mereka mengalihkan perhatian pada teori alternatif yang mudah dicerna. Penerimaan terhadap teori alternatif, implisit juga menyatakan ketakberdayaan masyarakat. Tak berdaya akibat kuatnya persekongkolan pihak yang berkepentingan, dan konsumen teori konspirasi berharap pihak lain, termasuk pemerintah, melawan kekuatan itu.
Apa yang bahaya dari keadaan ini ? Tak bisa ditarik satu pernyataan umum. Harus diperiksa pihak yang melontarkan teori alternatif ini. Jika yang melontarkan punya kredibilitas, masyarakat akan menerima teori tersebut seraya meyakininya. Manusia adalah mahluk yang bertindak berdasar persepsinya. Oleh persepsi ini, tak heran misalnya, muncul tuntutan meminta pemerintah melakukan penanganan yang sesuai isi teori. Tapi jika yang melontarkan adalah pihak yang secara kredibilitas dianggap meragukan, tak punya kecakapan memformulasi teori, tak punya data pendukung, hal yang dinyatakannya segera menguap dalam perbantahan di masyarakat. Pernyataan spekulatif patah oleh teori yang lebih kuat. Teori konspiratif dianggap sekedar hiburan kala pandemi, alih-alih untuk menaikan trafic media sosial.
Dilemmanya, tak semua masyarakat paham soal kredibilitas pihak yang dianggap cakap membangun teori untuk menjelaskan. Ditambah lemahnya literasi konsumen pengetahuan di Indonesia, hanya membuat mereka makin terombang-ambing dalam wacana keraguan Covid-19. Ini melelahkan. Dan tak mustahil, malah menjatuhkan ke pilihan teori yang memberi kenyamanan, namun substansi pencegahannya justru diabaikan.
Tak ada pilihan lain, menghadapi ini harus dilawan dengan menyodorkan fakta yang nyata di lapangan. Pada kenyataannya, banyak orang tertular, dan itu terjadi di seluruh dunia. Bahkan yang tertular dan meninggal beruntun, para dokter maupun perawat yang berpengalaman menghadapi berbagai penyakit. Demikian juga jika disebut penyakit lain lebih berbahaya, dan bahaya Covid-19 akibat propaganda ketakutan belaka. Pada kenyataannya, aids, tbc, ebola tak menyebar seluas ini dan menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Jadi berspekulasi dengan teori yang belum terbukti benar, adalah tindakan yang berbahaya. Daripada terlibat dengan teori alternatif yang spekulatif, lebih baik patuh pada protokol pencegahan penularan. Karena resiko yang menghadang nyata
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Virus Corona adalah material yang dibiakkan secara kultural. Kehadirannya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, dilangsungkan dalam laboratorium terkontrol, bahayanya didengungkan lewat propaganda ketakutan. Dan tentu saja, ada pihak yang menyebarkannya, untuk tujuan tertentu. Narasi alternatif ini dikembangkan menandingi teori berbagai lembaga kesehatan kredibel, namun tak kunjung peroleh penangkal vius.
Narasi beredar meramaikan jagad media sosial, tak tanggung-tanggung melibatkan Profesor Tasuku Honjo, peraih Nobel dari Jepang . Menurutnya, jika virus ini alami tak akan mampu menyebar secara global. Sesuai karakternya, suhu berbeda di berbagai negara akan menghalangi penyebaran alami virus. Bagaimana ia mampu menyebar di Swiss yang dingin, namun mampu pula menyebar di gurun yang terik. Pendapatnya kian kuat, dengan tambahan, “Saya telah bekerja selama 4 tahun di laboratorium Wuhan, Cina. Saya kenal dengan para staf laboratorium, dan menelepon mereka, setelah merebaknya Corona. Tapi semua ponsel mereka mati. Sehingga dipahami, semua teknisi laboratorium itu, telah meninggal”
Dalam pusaran teori alternatif, Indonesia tak ketinggalan. Beberapa orang ternama, seperti Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Pesohor Deddy Corbuzier, drummer kelompok Superman is Dead, Jerinx, dan beberapa pihak lain turut mengajukan teori yang senada Prof Honjo. Spektrum pendapat mereka, mulai dari meragukan kealamian Covid-19 hingga menyebut wabah adalah promosi ketakutan belaka. Maka masuk dalam perangkap ketakutan, hanya membuat untung beberapa pihak.
Secara sederhana, masyarakat menyebut teori atau narasi yang berkembang dan bertentangan dengan pernyataan arus utama, sebagai teori konspirasi. T Goertzel, 1994, dalam salah satu penjelasannya di Belief in Conspiracy Theories, menyebut konspirasi adalah teori untuk peristiwa atau situasi yang mengandung persekongkolan oleh aktor jahat dan kuat, yang tak jarang bermotif politis, ketika teori lain lebih memungkinkan. Sedangkan Cambridge Dictionary menyebut, konspirasi sebagai keyakinan bahwa suatu peristiwa atau situasi, merupakan hasil dari rencana rahasia yang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa. Diurai dari strukturnya, teori konspirasi umumnya memuat penyataan yang mengandung adanya persekongkolan pihak-pihak yang punya kepentingan. Ia menunggangi memori kolektif masyarakat. Sehingga cukup mengandalkan logika dasar, teori dicerna dengan mudah. Ia mengandalkan logika dasar, tanpa perlu basis data lengkap, peralatan canggih, maupun metode yang telah teruji. Premis-premisnya sederhana. Digabung agar mudah diterima akal.
Namun, lantaran antimainstream, mengandung persekongkolan dan strukturnya sederhana tak serta merta suatu pernyataan digolongkan teori konspirasi. Ini juga gegabah. Harus dipastikan dulu validas premis penyusunnya. Maka untuk pernyataan sekelas Prof Tasuku Honjo atau ilmuwan lainnya, masyarakat yang tak punya perangkat cukup untuk menerima atau menolak, boleh memosisikannya sebagai kebolehjadian. Boleh jadi benar, boleh jadi salah. Ini disimpan, sampai ada teori lain yang membantah pernyataan Prof Honjo, maupun ilmuwan pelontar lain.
Hal yang pantas dipikirkan atas maraknya teori alternatif, yang kemudian disebut sebagai teori konspirasi, dan dikonsumsi lahap oleh masyarakat, dapat dibaca sebagai lelahnya masyarakat oleh tak kunjung diformulasikannya rumus tunggal, menghadang Covid-19. Ia hadir sebagai misteri yang melelahkan, sekaligus menakutkan. Masyarakat perlu relaksasi. Mereka mengalihkan perhatian pada teori alternatif yang mudah dicerna. Penerimaan terhadap teori alternatif, implisit juga menyatakan ketakberdayaan masyarakat. Tak berdaya akibat kuatnya persekongkolan pihak yang berkepentingan, dan konsumen teori konspirasi berharap pihak lain, termasuk pemerintah, melawan kekuatan itu.
Apa yang bahaya dari keadaan ini ? Tak bisa ditarik satu pernyataan umum. Harus diperiksa pihak yang melontarkan teori alternatif ini. Jika yang melontarkan punya kredibilitas, masyarakat akan menerima teori tersebut seraya meyakininya. Manusia adalah mahluk yang bertindak berdasar persepsinya. Oleh persepsi ini, tak heran misalnya, muncul tuntutan meminta pemerintah melakukan penanganan yang sesuai isi teori. Tapi jika yang melontarkan adalah pihak yang secara kredibilitas dianggap meragukan, tak punya kecakapan memformulasi teori, tak punya data pendukung, hal yang dinyatakannya segera menguap dalam perbantahan di masyarakat. Pernyataan spekulatif patah oleh teori yang lebih kuat. Teori konspiratif dianggap sekedar hiburan kala pandemi, alih-alih untuk menaikan trafic media sosial.
Dilemmanya, tak semua masyarakat paham soal kredibilitas pihak yang dianggap cakap membangun teori untuk menjelaskan. Ditambah lemahnya literasi konsumen pengetahuan di Indonesia, hanya membuat mereka makin terombang-ambing dalam wacana keraguan Covid-19. Ini melelahkan. Dan tak mustahil, malah menjatuhkan ke pilihan teori yang memberi kenyamanan, namun substansi pencegahannya justru diabaikan.
Tak ada pilihan lain, menghadapi ini harus dilawan dengan menyodorkan fakta yang nyata di lapangan. Pada kenyataannya, banyak orang tertular, dan itu terjadi di seluruh dunia. Bahkan yang tertular dan meninggal beruntun, para dokter maupun perawat yang berpengalaman menghadapi berbagai penyakit. Demikian juga jika disebut penyakit lain lebih berbahaya, dan bahaya Covid-19 akibat propaganda ketakutan belaka. Pada kenyataannya, aids, tbc, ebola tak menyebar seluas ini dan menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Jadi berspekulasi dengan teori yang belum terbukti benar, adalah tindakan yang berbahaya. Daripada terlibat dengan teori alternatif yang spekulatif, lebih baik patuh pada protokol pencegahan penularan. Karena resiko yang menghadang nyata
(eko)