Prakiraan Hukum Pasca-Pemilu 2024

Selasa, 23 Januari 2024 - 08:38 WIB
loading...
Prakiraan Hukum Pasca-Pemilu 2024
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

BAGI abdi hukum teoritik, tidak penting sesungguhnya kekuasaan diemban oleh siapa pun presiden/wakil presidennya sepanjang capres / cawapres terpilih memiliki konsistensi memegang teguh keyakinan bahwa hukum adalah panglima ke arah tercapainya tujuan bernegara sebagaimana dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945 . Hal ini disebabkan pengalaman tujuh kali masa pemerintahan hasil pemilu yang telanjur dipandang jujur dan adil.

Komitmen dan konsistensi itulah yang selalu menjadi masalah dan dirasakan sebaliknya, menyakitkan bagi rakyat pemilih. Di kesempatan ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengikuti kegiatan "Paku Integritas" di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketiganya tidak henti-hentinya menggaungkan pemberantasan korupsi dan berkehendak memperkuat KPK sebagai lembaga independen.

Di dalam tujuh kali pemerintahan, janji-janji kampanye sebelumnya belum berhasil mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bahkan masih jauh dari tercapainya keadilan sosial dan tegaknya hukum, sekalipun langit akan runtuh, dan setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum. Di tengah- tengah optimisme terkadang muncul keragu-raguan seberapa jauh konsistensi janji-janji kampanye ketiga paslon dilaksanakan, jika terpilih? Atas dasar hal tersebut masih diperlukan kesiapan masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan sekalipun UUD 1945 dan Pancasila telah memagari secara memadai.

Berangkat dari keragu-raguan atas dasar pengalaman tersebut, sudah tepat kiranya road-map yang diletakkan masyarakat internasional tentang perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1966, dan pencegahan serta penindakan korupsi pada tahun 2003 serta perlakuan hukum yang sama terhadap siapa pun tanpa diskriminasi atas dasar agama, etnis, dan budaya. Namun, di dalam tujuh kali masa pemerintahan justru sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ide dasar pembentukan ICCPR 1996 -UU Nomor 12 Tahun 2005 serta peraturan perundang-undangan terkait perlindungan HAM dan peraturan perundang-undangan pencegahan/penindakan korupsi.



Contoh, pengalaman baru-baru ini, skandal di Mahkamah Konstitusti Republik Indonesia, saat pengaruh kekuasaan sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan demokratisasi khusus hak setiap orang untuk menjalankannya dengan jujur dan adil serta patuh pada Konstitusi/UUD 1945 yang telah diabaikan bahkan oleh Majelis Hakim Mahkamah itu sendiri. Namun, tetap saja cara-cara yang melanggar asas demokrasi hak hukum tersebut dipandang biasa oleh kekuasaan dan segelintir elite pimpinan parpol tetapi sesungguhnya menyakitkan perasaan kita yang memahami sadar hukum dan konstitusi.

Harapan tegaknya hukum dan konstitusi tampak sirna karena preseden buruk telah dimulai dan dipandang benar serta pantas hanya dengan pra-anggapan bahwa kekuasaan adalah hak prerogatif seorang presiden yang bersifat mutlak. Fungsi badan legislatif yang antara lain mengawasi jalannya pemerintahan tidak efektif dan berdaya menghadapi dan mencegah tirani mayoritas, tampak lumpuh, (Lame-Duck). Contoh mencolok adalah Majelis Hakim Konstitusi yang telah meloloskan permohonan uji materi mengenai batas usia capres/cawapres yang diikuti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan cara mengubah ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Contoh lain, putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bebas dari tuntutan jaksa/penuntut, dalam praktik dapat diajukan upaya hukum (kasasi), sekalipun upaya hukum terhadap putusan bebas tidak dibolehkan berdasarkan UU KUHAP, UU MA, dan UU Kekuasaan Kehakiman. Sesungguhnya jika petinggi hukum di lembaga kekuasaan kehakiman menjalankan kekuasaannya sesuai dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dipastikan kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku semakin meningkat kecuali terhadap kejahatan serius dan terorganisasi.

Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum hanya akan lahir dari tangan kekuasaan yang selain memiliki pengetahuan hukum juga memiliki keseimbangan antara rasio/nalar dan nurani yang berpegang teguh pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab. Secara teoritik, hukum yang baik dan benar selain memenuhi syarat teknis sesuai Tata Cara Pembentukan Perundang-undangan juga yang sesuai dengan pandangan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Aspek teoritik tentang definisi hukum ini harus diartikan bahwa karakter hukum bersifat dinamis mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi sejalan dengan perkembangan kebutuhan kehidupan manusia pada umumnya. Namun di dalam implementasi hukum itu sering diabaikan hal-hal yang seharusnya wajib dipertimbangkan dengan hati-hati dan jujur berpegang teguh pada kepastian hukum dan kemanfaatannya bagi kehidupan masyarakat dengan harapan terciptanya keadilan sosial.

Selain visi dan misi hukum sedemikian, juga di dalam mencapai cita hukum itu wajib diperhatikan terutama oleh kekuasaan, untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia setiap orang dimana hukum itu diberlakukan. Di dalam praktik hukum, hal ini mudah mengucapkannya akan tetapi tidak mudah mewujudkannya karena karakteristik kekuasaan (yang bersifat universal)yang tidak jarang eksesif melampaui batas-batas kesusilaan dan moralitas dan tidak jarang melanggar hukum.

Pertimbangan moralitas/kesusilaan dan pertimbangan perikemanusiaan yang adil dan beradab sering diabaikan hanya demi mencapai tujuan sang penguasa. Karakter kekuasaan sedemikian dikenal dengan sebutan Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power tends to corruot absolutely. Kekuasaan yang dijalankan mengabaikan prasyarat tersebut digolongkan ke dalam abuse of power dan misscarriage of justice yang dipastikan mengakibatkan korban-korban yang tidak berdosa.

Bagaimana seharusnya kita dan pemegang kekuasaan menjaga dan memelihara agar hukum yang dicita-citakan dapat dicapai? Membandingkan hukum dan penegakan hukum di negara lain yang menggunakan sistem hukum berbeda dengan Indonesia terdapat perbedaan mendasar terutama dalam hal kepatuhan hukum termasuk oleh aparatur hukum dan elite politik pada umumnya. Tampak dan terkesan ada perasaan malu untuk berbuat kesalahan baik dalam sistem birokrasi maupun dalam proses penegakan hukum seperti kebiasaan untuk mengundurkan diri dari kedudukan atau jabatan di birokrasi atau sebagai aparatur hukum jauh sebelum dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.



Dalam konteks ini tidak berarti bahwa implementasi hukum di sana sama sekali nir pelanggaran hukum akan tetapi dibandingkan dengan di dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan kita telah terbukti sebaliknya. Kriminalisasi dengan tujuan sandera dalam nerpolitik praktis dan politisasi hukum pidana telah terbiasa di praktikan dalam penegakan hukum di Indonesia, suatu karakteristik terburuk yang menghambat ditegakkannya hukum lurus ke atas akan tetapi ternyata selalu tajam ke bawah.

Dua faktor utama yang menentukan keberlanjutan kehidupan tegaknya hukum, yaitu hukum dan moralitas, telah terbukti sering tidak berjalan seiring bahkan bertentangan satu sama lain atau yang terparah dan membahayakan ketenteraman kehidupan masyarakat, adalah hukum atau produk peraturan perundang-undangan digunakan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan kepentingan kelompoknya atau pribadi serta keluarganya jauh di atas kepentingan masyarakat luas, bangsa, dan negara. Tarik-menarik antara kedua faktor tersebut sangat nyata terutama pada masa pemerintahan pascapemilu. Satu-satunya imbauan adalah agar paslon presiden/wakil presiden 2024 selain lahir dan tumbuh memiliki kesadaran hukum yang parpurna juga memiliki kepribadian/karakter menabukan perbuatan tercela dan (masih) memiliki “urat malu” di dalam diri mereka.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5564 seconds (0.1#10.140)