Menyambut Ramadan, Ibu-ibu di Serbia Lomba Masak Indomie
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berkumpul bersama teman atau keluarga besar sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Budaya baik itu juga menjadi tradisi menjelang bulan Ramadan. Biasanya, sebuah keluarga besar berkumpul di suatu tempat, masing-masing membawa berbagai macam makanan. Dari kue, buah-buahan, dan nasi serta lauk pauknya.
Setelah makan siang usai, biasanya dilanjutkan dengan salat zuhur. Minum kopi dan ngobrol ngalor-ngidul menanyakan kabar tiap anggota keluarga menjadi pengisi acara selanjutnya.
Pertemuan itu lantas ditutup dengan saling bersalaman dengan seluruh keluarga besar, cipika-cipiki, seraya menyampaikan permohonan maaf lahir dan batin dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.
Sayang, seiring meluasnya penyebaran virus corona, orang mendadak berhenti melakukan tradisi itu. Maklum, pemerintah sudah mewajibkan masyarakat untuk melakukan jaga jarak (social distancing). Selain itu, rumah-rumah makan, atau area publik tempat masyarakat berkumpul juga sudah stop sementara melayani pengunjung.
Tapi di era teknologi canggih tidak ada yang tak mungkin. Karantina bukan halangan. Lihat saja ibu-ibu warga negara Indonesia (WNI) di Serbia. Memanfaatkan aplikasi zoom, mereka tetap bisa bercengkerama dan bersilaturahmi. Dalam mengisi tradisi kumpul-kumpul jelang memasuki bulan puasa, mereka menggelar acara lomba masak mi instan.
Dipromotori oleh Darma Wanita KBRI Beograd, ide yang muncul saat hari Kartini 21 April, yaitu membuat lomba masak mi instan secara virtual pun segera dieksekusi. Satu hari sebelum bulan Ramadan tiba, lomba dilaksanakan. “Ide ini muncul karena kami sudah kangen dan rindu untuk bertemu sambil ngobrol, ketawa-ketawa, bertukar cerita, dan tentu sambil makan-makan,” ujar Aty Chandra, istri Duta Besar RI untuk Serbia.
Lomba yang disponsori oleh PT Indoadriatic Industry, produsen mi instan asal Indonesia di Serbia –kebetulan beberapa anggota Darma Wanita KBRI Beograd tercatat sebagai keluarga Indo Adriatic, disepakati untuk digelar saat makan siang.
Namanya lomba, tentu harus ada pemenangnya. Tapi itu bukan masalah. Pihak sponsor bersedia menyediakan hadiah untuk para pemenang.
Singkat cerita, ide ini diajukan ke KBRI agar dapat melibatkan masyarakat Indonesia di Serbia dan Montenegro. Bukan apa-apa, jika hanya melibatkan warga Indonesia di Serbia tentu kurang seru. Di negeri pecahan Yugoslavia itu, hanya tercatat 110 orang berstatus WNI. Jumlah ini sudah termasuk staf KBRI dan keluarga.
Partisipan pada acara tersebut berjumlah 43 orang, yang terdiri dari 16 peserta lomba, 3 juri, dan sisanya penonton. Seru, heboh dan yang pasti, menghibur. Bagaimana tidak? Para peserta harus mencari ide dan menyediakan bahan hanya dalam waktu kurang dari 24 jam! Lantas, waktu memasak hingga platting disediakan 25 menit saja. Yang pasti, setiap peserta melibatkan semua anggota keluarga dan memanfaatkan bahan yang ada di rumah.
Hasilnya benar-benar di luar dugaan. Tak terbayangkan, kreasi berbahan dasar mi instan dalam waktu singkat itu menghasilkan berbagai menu masakan. Ada mi sambal matah, lontong mi, pizza, mi kuah susu, mi topping black pepper, mi dokdok, hingga lasagna dan mi nanas Serbia-Indonesia. Semua disajikan bak buah tangan chef restoran hotel bintang lima,“Luar biasa,” ujar Aty, sumringah.
Lomba masak virtual ini semakin meriah lantaran pengumuman pemenangnya disampaikan bersamaan dengan acara masak virtual bersama Chef Boy Syahputra Ginting, Head of Chef, Four Points (by Sheraton Hotel, Balikpapan) pada Sau, 25 April, menjelang waktu buka puasa.
Dalam sambutan di acara penutupan lomba, Aty menyatakan, semua ini bisa terlaksana berkat rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang tertanam diantara masyarakat Indonesia di Serbia dan Montenegro. “ Dan tentunya wabah yang sedang terjadi di dunia ini membawa hikmah tersendiri khususnya bagi masing2 keluarga dan individu, yaitu kita lebih dekat dan lebih menghargai waktu bersama keluarga,’ ujarnya kepada SINDOnews.
Sejarah Islam di Serbia
Jumlah umat Islam di Serbia tergolong minoritas. Menurut sensus 2011, terdapat 228.658 Muslim di Serbia atau sekitar 3,1 per sen dari total penduduk. Namun, umat Muslim di Serbia meragukan sensus tersebut. Taksiran mereka jumlah umat Muslim mencapai tak kurang dari 700.000.
Muslim tersebar di kawasan Novi Pazar, Tutin, Sjenica, Sandzak, Presevo, Bujanovac dan Lembah Presevo. Mereka terbagi dalam empat etnis: Muslim Bosnia, Albania, Rumania dan Gorani. Islam merupakan agama terbesar ketiga di Serbia setelah Kristen Ortodoks dan Katolik.
Islam masuk ke Serbia pada zaman Turki Usmani melalui pertempuran Kosovo tahun 1389 dan 1448. Beberapa wilayah Serbia tetap dikuasai Turki selama lima abad. Namun, Turki Usmani mulai menarik diri dari Serbia secara perlahan-lahan, dimulai dengan perjanjian Karlowitz pada 1699. Hal itu dilakukan setelah Perang Balkan pada 1912-1913. Ketika itu Serbia mulai menguasai wilayah Turki Usmani di Sandzak, Kozovo dan Makedonia.
Saat dikuasai Turki Usmani, Muslim Serbia berjumlah 500 ribu orang. Tetapi setelah Turki meninggalkan wilayah itu, umat Islam semakin berkurang. Pada 1834, jumlah umat Islam hanya 12 ribu orang. Pada 1866 umat Islam hanya berjumlah lima ribu orang.
Banyak Muslim Serbia yang terusir kemudian menetap di Bosnia dan Sandzak yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Beberapa orang bermigrasi ke Anatolia, wilayah Bosnia. Itu sebabnya rakyat Bosnia Herzegovina kini mayoritas memeluk Islam.
Puasa di Beograd
Lantas bagaimana rasanya melaksanakan ibadah puasa di kota Beograd? Durasi ibadah menahan hawa nafsu di kota bersuhu rata-rata 16 derajat Celcius, lebih panjang dari Indonesia. Azan subuh berkumandang pukul 3.38 waktu setempat, waktu solat magrib jatuh pada pukul 19.39.
Biasanya, sebelum wabah covid 19 menyerang, KBRI rutin menggelar buka bersama dan salat tarawih seminggu sekali di akhir pekan. Tapi tahun lalu tidak diselenggarakan salat tarawih. Sebab, saat itu memasuki musim panas. Pada musim panas matahari tenggelam semakin malam. “Salat isya dan tarawih dilakukan di rumah masing-masing, soalnya bisa jam 12 malam baru selesai,” cerita Aty lagi.
Tahun ini buka bersama tetap digelar, namun secara virtual. Menu buka puasanya, masakan di rumah masing-masing. “Setelah itu kami bersapa ria melalui zoom.”
Di bulan Ramadan, WNI juga aktif melakukan pengajian bersama. Seperti halnya lomba masak, pembacaan ayat suci bersama juga dilakukan secara maya. “Sebenarnya ini kegiatan rutin, tapi baru intensif saat Ramadan tiba,” tutur ibu tiga anak itu.
Pengajian itu dipimpin bergantian oleh seorang ustazah berstatus mahasiswi alumni sebuah pesantren di tanah air. “Kadang-kadang bergantian dengan seorang ibu yang mengajinya sudah fasih,” ujarnya.
Setelah makan siang usai, biasanya dilanjutkan dengan salat zuhur. Minum kopi dan ngobrol ngalor-ngidul menanyakan kabar tiap anggota keluarga menjadi pengisi acara selanjutnya.
Pertemuan itu lantas ditutup dengan saling bersalaman dengan seluruh keluarga besar, cipika-cipiki, seraya menyampaikan permohonan maaf lahir dan batin dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan.
Sayang, seiring meluasnya penyebaran virus corona, orang mendadak berhenti melakukan tradisi itu. Maklum, pemerintah sudah mewajibkan masyarakat untuk melakukan jaga jarak (social distancing). Selain itu, rumah-rumah makan, atau area publik tempat masyarakat berkumpul juga sudah stop sementara melayani pengunjung.
Tapi di era teknologi canggih tidak ada yang tak mungkin. Karantina bukan halangan. Lihat saja ibu-ibu warga negara Indonesia (WNI) di Serbia. Memanfaatkan aplikasi zoom, mereka tetap bisa bercengkerama dan bersilaturahmi. Dalam mengisi tradisi kumpul-kumpul jelang memasuki bulan puasa, mereka menggelar acara lomba masak mi instan.
Dipromotori oleh Darma Wanita KBRI Beograd, ide yang muncul saat hari Kartini 21 April, yaitu membuat lomba masak mi instan secara virtual pun segera dieksekusi. Satu hari sebelum bulan Ramadan tiba, lomba dilaksanakan. “Ide ini muncul karena kami sudah kangen dan rindu untuk bertemu sambil ngobrol, ketawa-ketawa, bertukar cerita, dan tentu sambil makan-makan,” ujar Aty Chandra, istri Duta Besar RI untuk Serbia.
Lomba yang disponsori oleh PT Indoadriatic Industry, produsen mi instan asal Indonesia di Serbia –kebetulan beberapa anggota Darma Wanita KBRI Beograd tercatat sebagai keluarga Indo Adriatic, disepakati untuk digelar saat makan siang.
Namanya lomba, tentu harus ada pemenangnya. Tapi itu bukan masalah. Pihak sponsor bersedia menyediakan hadiah untuk para pemenang.
Singkat cerita, ide ini diajukan ke KBRI agar dapat melibatkan masyarakat Indonesia di Serbia dan Montenegro. Bukan apa-apa, jika hanya melibatkan warga Indonesia di Serbia tentu kurang seru. Di negeri pecahan Yugoslavia itu, hanya tercatat 110 orang berstatus WNI. Jumlah ini sudah termasuk staf KBRI dan keluarga.
Partisipan pada acara tersebut berjumlah 43 orang, yang terdiri dari 16 peserta lomba, 3 juri, dan sisanya penonton. Seru, heboh dan yang pasti, menghibur. Bagaimana tidak? Para peserta harus mencari ide dan menyediakan bahan hanya dalam waktu kurang dari 24 jam! Lantas, waktu memasak hingga platting disediakan 25 menit saja. Yang pasti, setiap peserta melibatkan semua anggota keluarga dan memanfaatkan bahan yang ada di rumah.
Hasilnya benar-benar di luar dugaan. Tak terbayangkan, kreasi berbahan dasar mi instan dalam waktu singkat itu menghasilkan berbagai menu masakan. Ada mi sambal matah, lontong mi, pizza, mi kuah susu, mi topping black pepper, mi dokdok, hingga lasagna dan mi nanas Serbia-Indonesia. Semua disajikan bak buah tangan chef restoran hotel bintang lima,“Luar biasa,” ujar Aty, sumringah.
Lomba masak virtual ini semakin meriah lantaran pengumuman pemenangnya disampaikan bersamaan dengan acara masak virtual bersama Chef Boy Syahputra Ginting, Head of Chef, Four Points (by Sheraton Hotel, Balikpapan) pada Sau, 25 April, menjelang waktu buka puasa.
Dalam sambutan di acara penutupan lomba, Aty menyatakan, semua ini bisa terlaksana berkat rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang tertanam diantara masyarakat Indonesia di Serbia dan Montenegro. “ Dan tentunya wabah yang sedang terjadi di dunia ini membawa hikmah tersendiri khususnya bagi masing2 keluarga dan individu, yaitu kita lebih dekat dan lebih menghargai waktu bersama keluarga,’ ujarnya kepada SINDOnews.
Sejarah Islam di Serbia
Jumlah umat Islam di Serbia tergolong minoritas. Menurut sensus 2011, terdapat 228.658 Muslim di Serbia atau sekitar 3,1 per sen dari total penduduk. Namun, umat Muslim di Serbia meragukan sensus tersebut. Taksiran mereka jumlah umat Muslim mencapai tak kurang dari 700.000.
Muslim tersebar di kawasan Novi Pazar, Tutin, Sjenica, Sandzak, Presevo, Bujanovac dan Lembah Presevo. Mereka terbagi dalam empat etnis: Muslim Bosnia, Albania, Rumania dan Gorani. Islam merupakan agama terbesar ketiga di Serbia setelah Kristen Ortodoks dan Katolik.
Islam masuk ke Serbia pada zaman Turki Usmani melalui pertempuran Kosovo tahun 1389 dan 1448. Beberapa wilayah Serbia tetap dikuasai Turki selama lima abad. Namun, Turki Usmani mulai menarik diri dari Serbia secara perlahan-lahan, dimulai dengan perjanjian Karlowitz pada 1699. Hal itu dilakukan setelah Perang Balkan pada 1912-1913. Ketika itu Serbia mulai menguasai wilayah Turki Usmani di Sandzak, Kozovo dan Makedonia.
Saat dikuasai Turki Usmani, Muslim Serbia berjumlah 500 ribu orang. Tetapi setelah Turki meninggalkan wilayah itu, umat Islam semakin berkurang. Pada 1834, jumlah umat Islam hanya 12 ribu orang. Pada 1866 umat Islam hanya berjumlah lima ribu orang.
Banyak Muslim Serbia yang terusir kemudian menetap di Bosnia dan Sandzak yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. Beberapa orang bermigrasi ke Anatolia, wilayah Bosnia. Itu sebabnya rakyat Bosnia Herzegovina kini mayoritas memeluk Islam.
Puasa di Beograd
Lantas bagaimana rasanya melaksanakan ibadah puasa di kota Beograd? Durasi ibadah menahan hawa nafsu di kota bersuhu rata-rata 16 derajat Celcius, lebih panjang dari Indonesia. Azan subuh berkumandang pukul 3.38 waktu setempat, waktu solat magrib jatuh pada pukul 19.39.
Biasanya, sebelum wabah covid 19 menyerang, KBRI rutin menggelar buka bersama dan salat tarawih seminggu sekali di akhir pekan. Tapi tahun lalu tidak diselenggarakan salat tarawih. Sebab, saat itu memasuki musim panas. Pada musim panas matahari tenggelam semakin malam. “Salat isya dan tarawih dilakukan di rumah masing-masing, soalnya bisa jam 12 malam baru selesai,” cerita Aty lagi.
Tahun ini buka bersama tetap digelar, namun secara virtual. Menu buka puasanya, masakan di rumah masing-masing. “Setelah itu kami bersapa ria melalui zoom.”
Di bulan Ramadan, WNI juga aktif melakukan pengajian bersama. Seperti halnya lomba masak, pembacaan ayat suci bersama juga dilakukan secara maya. “Sebenarnya ini kegiatan rutin, tapi baru intensif saat Ramadan tiba,” tutur ibu tiga anak itu.
Pengajian itu dipimpin bergantian oleh seorang ustazah berstatus mahasiswi alumni sebuah pesantren di tanah air. “Kadang-kadang bergantian dengan seorang ibu yang mengajinya sudah fasih,” ujarnya.
(eko)