Kepemimpinan Minus Etik

Minggu, 14 Januari 2024 - 10:07 WIB
loading...
Kepemimpinan Minus Etik
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (2012-2015). Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (2012-2015)

SUATU waktu Napoleon Bonaparte berkata, “Kalau Anda berperang jangan melihat berapa jumlah tentara musuh, tetapi lihatlah siapa jenderalnya.” Hal ini menunjukan bahwa dalam berperang kita harus mengetahui siapa pemimpin yang bakal kita hadapai. Tidak peduli siapa dan berapa jumlah pengikutnya, kalau kita sudah mengalahkan jenderanya, kalahlah seluruh pasukannya dan menjadi berubah.

Dalam kehidupan berbangsa pun demikian selalu dinantikan kehadiran pemimpin yang handal untuk menjadi agen perubahan. Pemimpin yang disamping memiliki pengetahuan luas juga memiliki keterampilan memimpin dan moral etik yang tinggi untuk membawa bangsanya kepada keberuntungan. Karenanya, ketiga modal dasar tersebut wajib melekat pada diri seorang pemimpin bangsa.

Penentu Arah Tujuan
Proses pengembangan diri, keinginan untuk terus belajar bagi seorang pemimpin sangat penting dalam suatu organisasi. John C. Maxwell berkata, “Kalau Anda ingin bertumbuh, bergaullah dengan orang-orang yang prestasinya melampaui prestasi kita dan tirulah pertumbuhan yang kita inginkan.” Sementara Oliver Wendell Holmes mengatakan, “Hal terbesar di dunia ini buka pada tempat mana kita berada, tetapi pada arah mana kita melangkah.” Dan, pemimpinlah yang menentukan hal terbesar di dunia itu, menentukan arah dan langkah sebuah organisasi.

Karena pemimpin itu merupakan penentu arah tujuan. Karena itu ia sering disebut agen perubahan atau agen pembaharu, dengan visi dan keluasan wawasan yang dimilikinya. Untuk menjadi agen perubahan pemimpin harus memili wawasan yang luas, punya visi.

Pemimpin itu mutlak harus vioner. Tahu apa yang mau diubah, punya agenda-agenda perubahan, dan punya peta jalan sehingga tahu arah tujuan ke mana perubahan itu akan dibawa.

Indonesia sebagai negara kesejahteraan sosial (social werfare state) tentu ideologi pembangunan, terutama pembangunan kesehatannya menganut social werfare state. Karena ideologi pembangunannya pun maka seluruh agenda kesehatannya pun dirancang dengan menganut ideologi social welfare state atau negara kesejahteraan sosial Indonesia.

Pun demikian agenda pembangunan kesehatan, dirancang untuk mewujudkan Indonesia Sehat Adil dan Makmur yang diridhoi Allah Swt. Semua itu membutuhkan agenda-agenda perubahan.

Di bidang kesehatan misalnya. Bila sebelumnya pemerintah membangun dengan berpradigma sakit/hilir maka saatnya berubah kepada paradigma sehat dengan memulai membenahi bagian hulu. Bila sebelumnya sering membeli alat kesehatan tanpa mengetahui masalah dan kebutuhan daerah serta tanpa tenaga terlatih untuk mengoperikan maka berubahlah, agar alat yang dibeli tidak mubazir dan menjadi “pasien” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bila selama ini orientasinya ingin membangun sebanyak mungkin rumah sakit besar Tipe A (mewah dan berteknologi) di setiap daerah maka berubahkan dengan membangun rumah sakit sesuai masalah dan kebuhan kesehatan daerah. Bila sebelumnya sering membeli obat dan alat kesehatan dari luar negeri maka mulailah memperbanyak penelitian obat dan alat kesehatan untuk kemudian memproduksi sendiri.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1419 seconds (0.1#10.140)