Kursi Pimpinan MPR untuk PKB Jadi Polemik

Kamis, 22 Maret 2018 - 12:28 WIB
Kursi Pimpinan MPR untuk PKB Jadi Polemik
Kursi Pimpinan MPR untuk PKB Jadi Polemik
A A A
JAKARTA - Penambahan kursi pimpinan MPR untuk Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi polemik dalam rapat gabungan pimpinan MPR dengan pimpinan fraksi dan pimpinan kelompok DPD. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meminta MPR melakukan kajian bersama para ahli hukum atas tafsir pasal yang jadi landasan hukum pemberian kursi untuk PKB.

Dalam pandangan Fraksi PPP, penambahan tiga kursi pimpinan MPR yang diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), kursi pimpinan yang dialokasikan untuk Fraksi PKB rawan bermasalah dari sisi hukum. Meski pada akhirnya rapat gabungan menyepakati penambahan tiga pimpinan MPR, yakni untuk PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan PKB, PPP tetap mengajukan keberatan dan tidak bertanggung jawab atas pemberian kursi pimpinan kepada PKB.

"Sikap ini kami sampaikan, enggak ada niat sedikit pun atau enggak suka dengan keputusan ini atau tidak suka dengan orang yang akan menjabat. Ini untuk menjaga semangat kebersamaan MPR agar tetap patuh pada aturan," kata Ketua Fraksi PPP di MPR Arwani Thomafi dalam rapat gabungan di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Arwani menjelaskan, Pasal 427 A UU MD3 menyatakan, penambahan kursi wakil ketua MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR dalam pemilihan umum tahun 2014 urutan ke-1, ke-3, serta ke-6. Dalam sistem kepemiluan, kata dia, frasa "perolehan suara" dalam pasal tersebut tidak bisa diartikan sebagai "perolehan kursi".

Sementara dalam perolehan suara Pemilu 2014, partai yang meraih suara tertinggi atau urutan pertama adalah PDI Perjuangan, sebesar 18,95%, kemudian urutan ketiga Partai Gerindra 11,81%, dan urutan keenam Partai Amanat Nasional (PAN) sebesar 7,59%. Menurut Arwani, jika dilihat dari segi perolehan kursi terbanyak, PKB memang menempati posisi keenam. Namun, menurut dia, yang tertera dalam UU MD3 di dasarkan pada perolehan suara terbanyak. Dengan demikian, lanjut dia, jatah satu kursi wakil ketua MPR tidak bisa diberikan kepada PKB.

"Teman-teman yang pernah terlibat dalam Pansus RUU Pemilu paham benar suara dan kursi itu berbeda, bukan hal yang sama, terutama dalam konteks UU Pemilu. Ada suara terbanyak dan ada kursi terbanyak," ujarnya.

Sementara itu Ketua Fraksi PKB di MPR Jazilul Fawaid mengungkapkan, perdebatan mengenai apa yang diprotes PPP sudah selesai dalam pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam revisi UU MD3. Dan kesepakatan hingga disahkannya revisi UU MD3 adalah satu paket dengan penambahan tiga pimpinan MPR yang masing-masing dialokasikan untuk PDI Perjuangan, Partai Gerindra, dan PKB. Bahkan dalam pembahasan di Baleg DPR telah disepakati juga bahwa tafsir "perolehan suara di DPR" diartikan sebagai "perolehan kursi".

"Jadi itu sudah selesai. Di sini bukan forumnya lagi untuk menafsirkan. Dalam rapat di Baleg sudah disepakati posisi keenam adalah PKB karena suara bisa ditafsirkan kursi," tegasnya.

Ketua MPR Zulkifli Hasan yang memimpin rapat gabungan akhirnya tetap mengambil keputusan bahwa penambahan tiga pimpinan MPR tetap dilakukan yang salah satunya untuk Fraksi PKB di MPR. Terlebih, sembilan fraksi yang lain telah sepakat dan tidak mengajukan keberatan. Adapun untuk agenda pelantikan, rapat gabungan memutuskan dilakukan pada Senin (26/3/2018) pekan depan.

"Karena sembilan fraksi sudah sepakat kursi buat PKB, jadi kita tetapkan di paripurna kemudian dilantik. Pendapat PPP tetap kita hormati. Hari senin kita paripurna pukul 10.00 WIB agar persiapan lebih bagus," kata Zulkifli.

Adapun untuk nama-nama yang akan dilantik sebagai pimpinan MPR adalah Ahmad Basarah dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Muzani dari Partai Gerindra, dan Abdul Muhaimin Iskandar dari Fraksi PKB. Selain ketiga pimpinan MPR yang akan dilantik, Fraksi Partai Golkar juga mengajukan rotasi di posisi wakil ketua MPR yang saat ini dijabat Mahyudin untuk digantikan oleh Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto.

Namun, usulan dari Fraksi Partai Golkar juga menjadi polemik di lingkup internal karena ternyata Mahyudin enggan mundur. Mahyudin bahkan akan melawan jika Ketua Umum Partai Golkar tetap pada keputusan untuk mendongkel posisinya di pimpinan MPR. Mahyudin berpegang pada aturan di Pasal 17 UU MD3 yang menyatakan bahwa Pimpinan MPR hanya bisa diganti karena tiga hal, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan. Sementara klausul "diberhentikan" terjadi apabila ada dua syarat terpenuhi, yakni diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD dan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8441 seconds (0.1#10.140)