Tren Kuliah Online

Sabtu, 10 Maret 2018 - 09:00 WIB
Tren Kuliah Online
Tren Kuliah Online
A A A
M Taufiq Amir
Dosen dan Ketua Program Studi Manajemen Universitas Bakrie

LOMPATAN kemajuan teknologi pintar ibarat air bah yang menerjang dan membawa perubahan pada banyak aspek kehidupan manusia, termasuk kuliah di perguruan tinggi (PT). Kuliah sistem online atau dalam jaringan (daring) kini telah hadir dan membuat proses inti di PT jadi berbeda.

Kehadiran online course ini memberi peluang sekaligus juga tantangan bagi pemangku kepentingan utama PT: Kementerian Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekditi), institusi PT, dosen dan juga mahasiswa. Memahami tren kuliah online dan implikasinya akan menjadi penentu, bagaimana PT akan sukses mengarungi arus perubahan ini.

Sinyal dari MOOC
Kemajuan pesat platform Massive Open Online Course (MOOC) dalam enam tahun terakhir, merupakan sinyal penting untuk mengembangkan kuliah online di Indonesia. Tahun 2012, hanya ada 40 kampus yang menawarkan MOOC secara global, dengan sekitar 250 mata kuliah. Per Januari 2018, lembaga Class Central menyebutkan, sudah ada 800 kampus unggul dari berbagai negara, dengan 9.400-an mata kuliah yang ditawarkan.

Meski didominasi PT di Amerika, kampus-kampus di Eropa dan Australasia juga bergairah berpartisipasi. Semangat ini berhasil menggaet 78 juta peserta kuliah secara global. Mayoritas terdaftar di lima besar platform MOOC: Coursera, disusul oleh EdX, Xuetang, Future Learn, dan Udacity. Pertumbuhan bersifat eksponensial ini jelas perlu diantisipasi oleh dunia PT di Indonesia.

Kebijakan Kondusif
Otoritas pendidikan tinggi kita cukup antisipatif dengan tren kuliah online dan melahirkan kebijakan yang kondusif. Dengan masih 30% partisipasi kasar lulusan SMA yang kuliah, orientasi ini masuk akal.

Kuliah online dapat mengakselerasi peningkatan angka partisipasi ini. Lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 24/2012, dan Nomor 109/2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) di PT, penyelenggaraan kuliah online didorong.

Tahun 2016, Kemenristekdikti mengeluarkan panduan pelaksanaan lebih rinci tentang kuliah online. PJJ kini jadi agenda strategis Ditjen Kelembagaan serta Ditjen Sumber Daya Kemenristekdikti.

Lembaga yang tadinya pernah rada galak tentang “kelas jauh” ini, kini sangat rileks dengan PJJ. Di aturannya, bila <50% mata kuliah berlangsung secara PJJ (“PJJ mata kuliah”), PT tidak perlu memohon izin. Izin baru diperlukan bila PJJ >50% dari mata kuliah (“PJJ program studi”).

Beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) rupanya cukup sigap menangkap peluang ini, baik lewat skema PJJ mata kuliah maupun PJJ program studi. Sementara, potensi peserta terbesar ada pada lulusan SMA yang sudah bekerja, dan ingin melanjutkan studi (continuing learner).

Satu riset di wilayah Jabotabek menemukan, kalangan ini jumlahnya tujuh kali lebih banyak dari lulusan SMA yang ingin langsung kuliah. Merujuk pengalaman pengelola MOOC EdX, sebagian besar peserta (65%) adalah berusia >25 tahun dan usia 19-24 (28%).

Potensi pasar yang luas ini seharusnya menarik bagi PTS. Banyak PTS yang belakangan ngos-ngosan mengoperasikan kampusnya, akibat kerasnya persaingan dan kondisi keuangan yang kurang sehat. Kuliah online berpotensi meningkatkan intake mahasiswa dan pemasukan.

Perkembangan teknologi internet dan komunikasi pun akan memuluskan penyelenggaraan kuliah online. Sebagai gambaran, Google Indonesia sudah mulai membangun jaringan google station, yang memungkinkan lebih banyak lagi tempat internet gratis. Penyedia teknologi dengan layanan e-learning secara turn-key juga mulai bermunculan, sehingga kampus tidak perlu bangun fasilitas teknologi sendiri.

Tantangan
Walau peluangnya menggiurkan, tantangan penyelenggaraan kuliah online tidak kecil. Kesiapan Kemenristekdikti dalam menetapkan standardisasi proses, sistem penjaminan mutu dan sistem akreditasi tersendiri masih tanda tanya. Dalam banyak inisiatif, Kemenristekditi kerap terkesan nafsu besar tenaga kurang karena sumber daya terbatas.

Dari sisi institusi PT, tantangannya juga banyak. Mengacu ke data akreditasi, hanya 15% dari 20 ribuan program studi di 4.500-an PT yang terakreditasi A. Bahkan ada ratusan PT atau prodi yang diidentifikasi bermasalah dan konon akan ditutup pemerintah.

Tuntutan yang mendasar dari Kemeristekdikti, seperti aturan baru Standar Mutu Nasional Perguruan Tinggi, tuntutan akreditasi online, pelaporan-pelaporan rutin, sudah membuat PT dan pengurusnya “mabuk”. Bagaimana mau sempat dan mampu mengurus kuliah daring?

Di sisi lain, resistensi dosen untuk berubah memodifikasi pedagoginya pun akan tinggi. Sudah rahasia umum, dosen termasuk profesional yang sulit diajak berubah. Apalagi, dari 200 ribuan dosen Indonesia, 30% di antaranya berusia >50 tahun. Mengajak kelompok ini belajar pedagogi baru, berarti mengusik zona nyaman mereka.

Walau tantangannya besar, keberlangsungan kuliah online akan sulit dicegah. Munculnya beragam platform, penyedia teknologi, dan model kuliah baru akan terus berlangsung terus tanpa bisa direm.

Pilihan dan strategi untuk mengadopsi bagi pemangku kepentingan pun terbuka; mulai dari sekarang, atau menunggu lebih lama. Seperti kisah disrupsi di berbagai bidang, akan ada yang menikmati karena mengantisipasi, dan ada yang akan gigit jari karena tidak siap.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7388 seconds (0.1#10.140)